• Home
  • About
  • Contact
    • Category
    • Category
    • Category
  • Shop
  • Advertise
facebook twitter instagram pinterest bloglovin Email

Movillaz



Sejarah kelam penjajahan di masa lalu memang tidak bisa dilupakan oleh setiap negara manapun, termasuk Korea. Dibarengi gemuruh filmmaker Korea kerap unjuk taring agar bisa bersaing sebagai film blockbluster ala Asia. Titik inilah yang membuat seringnya mereka mengambil premis yang melatarbelakangi peperangan antara Korea dan Jepang, dimana Jepang sendiri memang sudah dikenal atas kebengisan dan kekejamannya di masa penjajahan terhadap Korea yang tak mampu dilupakan selamanya. Sebelum The Battle: Roar to Victory banyak film yang sudah membahas hal serupa, sejauh yang saya ingat yaitu 'Age of Shadow' dan 'Battleship Island'. Dan istimewanya di negaranya sendiri, film ini adalah film terlaris yang menyedot penonton sebanyak 1 juta dalam 4 hari penayangan. Yang bisa dikatakan film ambisius dari sutradara Won Shin-yeon ini mungkin berusaha mampu berkata banyak melalui filmnya.

Kita mendapatkan seorang tokoh utama Hwang Hae-Cheol (Yu Hae-Jin) seorang milisi kemerdekaan Korea bersama rekannya Jang-Ha (Ryoo Joon-Yeol) yang berjuang melawan para elite tentara Jepang yang dipimpin oleh Jiro Yasukawa (Kazuki Kitamura) si pembunuh harimau berkumis Pak Raden di Manchuria, China (1920). Tak lepas dari tentara Jepang sebagai penjahatnya yang super-duper kejam, kita akan melihat banyaknya adegan brutal dan bengis di film ini. Dari banyaknya adegan kepala terpenggal berserakan, hingga seorang bocah mati tertembak saat ia mencoba kabur membawa tali layangan, sementara gilanya para tentara asyik menyaksikannya sambil tertawa sebagai hiburan. Film ini memang hampir begitu banyak adegan eksploitatif yang kemungkinan besar bakal membuatmu banyak mengeluskan dada.

Sepanjang film berjalan ia akan dipenuhi dengan sederet aksi tanpa henti, dari aksi tembak-tembakan, kejar-kejaran, sumput-sumputan, dan tentu saja ia bukan sekedar aksi tanpa otak, tapi lebih ke alur yang lebih taktis, walau tidak sampai terkesan cerdas, rumit atau apapun dengan gagasan super simple tapi alurnya enak diikuti. Walau dalam beberapa adegan terkesan repetitif, tapi Shin-yeon mengurainya dengan elemen-elemen yang tampak baru dalam sajian film perang seperti senjata golok/parang yang digunakan Hae-Cheol untuk membantai para tentara Jepang dengan hebatnya. Walau kadang tingkahnya overreacted menurut saya, selalu maju sendirian ditengah senjata api yang ditodong tepat dihadapannya, well, saya dapat memaklumi karena meski begitu aksinya terlihat sangat keren dan brutal bagaikan saya sedang menyaksikan Iko Uwais di film The Raid. Tokoh lain pun tidak sekedar menjadi peramai semata, Jang-Ha yang bisa dikatakan second-leader hadir dengan kemampuan menembaknya, walau tak semenonjol Hae-Cheol, tapi ia punya kegesitan dan akal yang lumayan dibalik muka cemberutnya yang menyebalkan.

Tapi, saya sedikit agak kecewa dengan beberapa pengenalan karakternya yang terlampau seadanya, menimbulkan banyak tanda tanya dan sesaknya tokoh yang terus bermunculan sampai akhir membuat saya tidak peduli lagi dengan mereka. Seperti Hae-Cheol dan Jang-Ha yang ternyata punya ikatan masa lalu yang sama, membuat penasaran tapi nyatanya malah membingungkan. Sementara Jang-Ha yang sedikit banyak terlihat masa lalu dan hubungan bersama kakak perempuannya, malah lebih banyak mengambil porsi cerita. Yang lebih banyak ditekankan pada film ini justru pada interaksi para tokohnya, diwaktu luang kita dihadirkan nuansa jenaka dan santai para pejuang milisi, hal menarik lainnya juga datang pada Hae-Cheol yang seringkali tampak memberi semangat dari sebagai dialognya yang membuat kita terhenyak dengan kata-katanya soal patriotisme, kenapa kita berperang, dan bagaimana mereka ada disini meski latar belakang para milisi bukanlah prajurit murni. Sementara Ma Byeong-Ku (Jo Woo-Jin) menjadi sidekick Hae-Cheol yang penampilanya cukup menarik dengan syal birunya, dan sedikit ada bumbu romansa Choon-Hee (Lee Jae-In) sisa penduduk desa yang dibantai dan Yukio (Kotaro Daigo) yang rada-rada mirip Dilan sebagai tawanan tentara Jepang yang berumur masih sangat muda, tapi sayang di penghujung cerita mereka pun agak menggantung. Boss villain, Jiro yang diperankan cukup baik oleh Kitamura yang diawal cukup bengis menumbal harimau tanpa ampun pun tidak terlalu kentara dalam bagian aksinya, kecuali Park Ji-Hwan yang berperan sebagai tentara berpangkat Shigeru Arayoshi yang lebih banyak memberi penonton rasa penasaran, "Ini orang kok ga mati-mati!?"

Jika berbicara segi teknis dan sinematografi, film ini juaranya. Saya menonton ini seperti tidak percaya ini bukan film fantasi, tapi ia menyajikan landscape dan panorama keindahan dari setiap gambar yang ia sajikan, pergerakan dari gambar ke gambar dengan nuansa aksi dan perang yang memuntahkan peluru, meriam dan darah. Tapi, dari sana ia memperlihatkan bentang rumput hijau, ilalang, hutan, bukitan-bukitan bahkan ketika menyusuri lereng-lereng dari atas layaknya film Peter Jackson, LOTR yang dikombinasikan dengan 'Saving Private Ryan.'nya Steven Spielberg. Tidak berlebihan, karena penyajiannya memang sebaik itu, apalagi mungkin film ini tampak berputar-putar di satu tempat, tapi ia digarap dengan memunculkan berbagai panorama perspektif yang baru dari tiap scene yang ada.

Saya tidak mengatakan The Battle: Roar to Victory sebuah mahakarya yang besar, ia punya kekurangan terutama pada alur belakang: pengenalan tokoh dan alur depan: semerawutnya tokoh baru yang terus-menerus bermunculan yang kadangkala kita heran mereka ini siapa-siapa, apalagi bagi yang buta sejarah Korea. Yang paling menghibur tentu saja aksi 'movie walkthrough' disepanjang film yang akan memperlihatkan aksi kejar-kejaran antara milisi Korea dan tentara Jepang tanpa henti. Walau rada-rada repetitif tapi sekian banyak ia memberikan letusan-letusan kebrutalan dan kegilaan yang lumayan memancing emosi dan sensasi, sehingga alurnya tetap enak diikuti.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments


Kita sering dengar orang-orang yang menikah itu ngga selamanya bahagia, ada yang cerai dalam hitungan tahun atau mungkin bisa jadi seumur jagung, padahal pada masa pacaran itu tampaknya indah, peluk-mesra, bahagia apalagi beberapa dari mereka mungkin sudah menjalin hubungan begitu lama. Menjalin kisah hidup bersama orang lain (berumah tangga) itu faktanya ngga seromantis itu. Ibarat pernikahan itu urusannya orang dewasa, jika belum siap secara emosional, maka lebih baik introspeksi diri dulu sampai keduanya lebih dewasa, membuang ego masing-masing, saling pengertian, mengatur emosi, meskipun secara materi dan cinta mungkin sudah bukan masalah lagi. Oke, saya ga sedang memberi nasehat buat figur-figur jomblo, pacaran, PDKT ataupun yang baru sudah menikah. Tapi, inilah pesan dasar yang ingin disampaikan dalam film berjudul Twivortiare yang diadaptasi melalui novel karangan Ika Natassha berjudul sama.

Saya sebetulnya tidak mengekspetasikan apa-apa terhadap film ini, tapi setelah menontonnya, this turns out to be a romantic movie that doesn't really sell the cliché love fantasy experience. Disutradarai oleh Benni Setiawan dan ditulis naskah oleh Alim Sudio, Twivortiare menceritakan kisah metropop dua insan yang dipertemukan tidak sengaja dalam sebuah acara pesta. Beno (Reza Rahardian) adalah seorang dokter rumah sakit yang akan segera bercerai dengan istrinya Alex (Raihaanun) yang berprofesi sebagai banker. Dan dikisahkan mereka berdua hanya menikah selama 2 Tahun, bercerai, lalu mencoba menikah kembali untuk kedua kalinya. Menikah kembali?! ya kamu ga salah dengar, menikahi orang yang sama, dan saya rasa buat mereka menikah itu kok gampang banget ya. 😂 Tapi, begitulah, memang keduanya punya status sosial (orang tajir), timbulnya masalah sudah pasti bukan berasal dari materi, apalagi soal tampang dan fisik keduanya sudah oke. Yang jadi perhatian adalah sampai batas mana kemampuan mereka beradaptasi satu sama lain.

Berasal dari sebuah novel fiksi dari serangkaian cuitan rekayasa di twitter, yang saya suka dari film ini adalah pesan yang disampaikan sangat kuat. Beno dan Alex ini ibarat dua orang yang mewakili segelintir mereka tentang susahnya berjuang demi suatu hubungan yang layak, saya memahami keduanya dengan sangat detil dari masalah, latar belakang dan sifat yang kadang ego mereka yang sangat tinggi. Diawali dengan pertengkaran berujung perceraian, lalu sendirian, kesepian tapi karena hate-but-love mereka remarry. Beno adalah tipe orang yang sebetulnya a good person dan workaholic, sedangkan Alex pun kurang lebih punya sifat yang sama, tapi yang membuat mereka berbeda pun banyak, mereka kadang sering bertengkar hanya karena masalah sepele, seperti Alex yang sering terlambat dan lupa, selalu gampang emosional, berucap cerai berulang kali, dan kabur dari rumah pergi ke apartemennya, Beno pun seperti itu, terlampau sibuk dengan pekerjaannya, kurang punya quality time, yang kadang suka berucap ketus dan kurang berkomunikasi dengan Alex.

Pernikahan pertama memang tidak terlalu kentara diceritakan pada babak awal yang muncul secara singkat yang nantinya akan jadi perpanjangan dari pernikahan kedua mereka, lalu melompat langsung ke babak kedua paska perceraian, dan babak ketiga pernikahan ulang yang paling mendominasi alur cerita. Di babak kedua, kita melihat proses dimana keduanya telah berpisah menyimpan benci tapi saling rindu, pada tahap ini entah kenapa proses kisahnya agak membosankan, saya memahami orang jatuh cinta, ketika berpisah pasti sulit untuk move on, tapi bagaimana caranya, atau dalam situasi apa yang membuat mereka kok bisa ingin bersatu kembali setelah beberapa tahun berpisah, saya berpikir mungkin ya ini karena masalah kuatnya cinta diantara mereka, tapi ini bagai memaksa cinta yang sudah redup dipaksa kembali bersinar. Ditambah penyuntingannya amat sangat berantakan dan kasar, dimana Benni berusaha mencampur momen masa lalu, sehingga kita bisa melihat sekelibat seberapa besar hubungan mereka di masa itu, tapi ini terlalu kacau untuk dipahami dan akhirnya menggagalkan saya pada tahap alasan kuat mengapa mereka mencoba lagi. Saya tahu ada momen dimana Beno yang ingin memulai hubungan itu kembali, alasan yang sama pun timbul dari benak Alex yang notabene paling memperlihatkan rasa paling menyesalnya ia pernah membiarkan Beno menyentuh tangannya dan berkenalan dengannya. Tapi, Saya tidak tahu apa sangking bucin-nya mereka, jadi mau tak mau mereka menikah lagi segampang itu hanya karena alasan cinta? Hey, dude, mereka sudah resmi berpisah, bahkan untuk menikah lagi disaat melihat mereka bertengkar, membenci seperti kucing-anjing, saya butuh alasan yang lebih kuat dari sekedar "cinta".

Bahkan ada situasi dimana muncul Denny, orang ketiga yang kerap menaruh bunga diatas meja Alex, mencintanya sebagaimana ia ingin segera melamar dirinya. Tapi, sekali lagi entah mengapa, kemunculannya hanya sebegitu doank, ia muncul, mendekati, melamar, lalu menghilang. Ia bagaikan sesuatu yang muncul dengan balutan konflik baru tapi terlalu tanggung, dia sama sekali tidak memberi impact dan akhirnya tiada konflik apapun kecuali sedikit obrolan didalam mobil sebagai konklusinya, Denny jadi sekedar Denny di kehidupan Alex, dan bukan sebuah perspektif baru Alex buat emosinya. Malah satu-satunya yang sedikit mempengaruhi adalah temannya Wina (Anggika Bolsterli) yang selalu menjadi teman (BFF) curhat Alex selama ini. Saya tahu dia cuman teman curhat yang sangat scooby-doo, tapi malah ia yang paling konsisten dalam membangunkan Alex untuk memahami dirinya sendiri.

Sekali lagi cinta, cinta yang membuat mereka lagi-lagi bersama. Tapi, situasi tetap saja tidak berubah, mereka masih mempertengkarkan hal yang sama, sifat yang sama, ego yang sama, dan pernikahan yang ujung-ujungnya tidak ada perubahan sama sekali. Babak ketiga adalah yang paling menarik, tahap ini saya melihat potensi dari naskah Alim Sudio, karena dari setiap dialog antara Beno dan Alex begitu hidup dan terasa lebih ada ruang buat mereka membentuk chemistry. Saya melihat setiap usaha dari cara mereka untuk saling melengkapi dan mencoba bertahan dalam ruang paling menyakitkan terasa emosional, ada keluarga, teman dan orang-orang yang membantu mereka, tapi tentu saja yang bisa menolong mereka adalah diri mereka sendiri. bahkan tidak sedikit gangguan-gangguan lain dari luar atmosfer hubungan mereka, termasuk Adrian, seseorang yang kemunculannya cukup mendendang goyangkan hati dan pikiran Alex. Pria menarik, karismatik, dan yang paling saya suka aktingnya disini, sehingga saya pikir Adrian akan menjadi sesuatu yang berbeda, tapi sekali lagi, ia hadir hanya sekedar hadir dalam ruang hidup Alex, yang lagi-lagi tidak berdampak apa-apa sama seperti Denny, lempem.

Twivortiare, sebetulnya mencoba menarik semua potensi didalamnya, film yang selama 3 Tahun digarap ini, tapi berakhir kurang maksimal, ia bahkan punya komedi, tidak sampai konyol namun tetap lucu untuk menghangatkan suasana yang kadang berada dalam situasi sulit dan semerawut (walau kadang ada beberapa cringe). Disisi lain pun terkait karakter dan cerita yang sedikit banyak sudah saya sampaikan, beberapa terasa generik dan serba tanggung, seolah film ini ragu untuk mengeksekusi berbagai hal yang jikalau ia berani mengambil resiko, pasti akan terasa lebih berbeda. Satu-satunya kesan yang saya dapat adalah chemistry Reza dan Raihaanun, ia punya ikatan emosional dari caranya mereka bertengkar, tapi seolah cinta mereka memang tidak terasa bohongan, cara mereka menatap satu sama lain, cara mereka bertahan dalam keegoisan dan sifat kekanak-kanakkan, dan bahkan saya bisa mempercayai bahwa tidak ada yang benar dan salah, mereka hanya kurang saling memahami, menyebalkan tapi dapat dimaklumi dan tentu saja saya jadi sadar memahami pasangan itu tidak semudah yang dikatakan. Pesan moral yang disampaikan soal pernikahan dan hidup berumah tangga itu tersampaikan dengan sangat sempurna. Saya pikir, tidak ada cerita yang sekuat itu menyampaikan isu soal ini, dimana semua terasa relatable untuk dipelajari jika ia pun memuat cerita yang seharusnya lebih baik dari ini.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments


Coba kamu pikir kalau film kayak 'Crazy Rich Asian' jadi sebrutal dan sesadis film-film thriller macem Don't Breathe, eh bukan hanya Don't Breathe saja tapi lebih gilanya lagi film ini bukan cuman teror hide and seek penuh keseriusan tapi juga diselimuti unsur komedi tolol didalamnya. Tapi, apa sih yang tidak bisa dilakukan di zaman sekarang mencampur unsur-unsur tersebut dan membuatnya menjadi nyata (baca: Really Crazy Rich!) oleh duo sutradara Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett, dan ditulis naskahnya oleh Guy Busick dan Ryan Murphy. Sejujurnya saya nggak mengikuti beberapa film-film mereka kecuali dua sutradara ini pernah collab dalam film horor 'V/H/S'. Tapi, tentu saja film ini adalah sebuah kejutan menarik tahun ini.

Plot film ini seputar Grace (Samara Weaving) yang segera menggelar pernikahan dengan pria yang berasal dari keluarga kaya raya, Alex (Mark O'Brien). Hingar bingar dan kebahagiaan menyelimuti wajah berbinar Grace, bersamaan musik bethoveen melantun mengiringinya kepelaminan. Tapi, siapa sangka petuah menjadi malapetaka Grace ketika ia tidak menyadari kisah horor di rumah itu alias keluarga yang malah membuatnya harus menjadi korban dalam permainan keji, kotor dan kelewat jahat dari para anggota keluarga Alex disana.

Nuansa vintage dengan kesan golding mengisi hampir tiap sudut rumah, seolah terasa bernuansa elegant dan classic. Dalam rumah mewah itu kita akan dikenalkan begitu banyak karakter, terutama pada keluarga besar Alex tentu saja, dan sisanya adalah para 'pelayan'. Grace sebagai pusat cerita satu-satunya yang berusaha survive, berusaha bersembunyi, berlari dan yah mungkin kita akan hafal film-film bertajuk serupa. Tapi, saya pikir sang sutradara sadar jika ia terus membawa cerita linear yang basi akan membuat kisah hide and seek dapat gampang ditebak, jadi sekelibat kita mungkin akan mengira bahwa sampai akhir filmnya ya tentang kucing-kucingan di dalam rumah. Tapi, makin kesini kita makin merasa kalau setiap karakter yang ada bertindak unpredictable, mereka punya peran dalam merubah dinamika cerita. Dan inilah bagian menariknya, contohnya Daniel (Adam Brody) saudara Alex yang ternyata tindakannya diluar perkiraan kita.

Inilah yang membuat Ready or Not jadi sedikit istimewa, ini bukan tentang Grace semata, dibalik motif dan asal-usul keluarga Alex yang punya muatan sektarian. Ada sedikit humanitas dan kemasuk akalan yang hampir saja di awal cerita saya sering takut kalau nantinya para karakter sebanyak ini hanya bertindak mengikuti cerita dan berakhir menjadi tokoh kosong belaka. Bahkan bibi Helene (Nicky Guadagni) bukan pajangan seram mirip tokoh Disney, Ursula. Mereka semua hampir memiliki peran dan sifat bahkan tidak sedikit ada unsur tentang ikatan keluarga dan cinta. Satu sama lain pun punya karakteristik berbeda dan gampang diingat, dan yang paling bisa diingat adalah tingkah tolol dan kocak mereka. Komedinya dibuat cerdas nan tolol, unsur gory-nya yang serius pun lumayan membuat penonton di bioskop pun menunduk sangking ngilunya. Dan dua hal yang berseberangan ini sukses disajikan tanpa saling mendistorsi satu sama lain.

Tapi tentu saja, semua itu mungkin tak sempurna tanpa leading actress Samara Weaving, si Margot Robbie KW yang berperan sangat ciamik. Berperan sebagai Grace, sesosok wanita yang awalnya terlihat biasa, tak merasa aneh dan khawatir dengan keluarga barunya, kecuali rasa cemas normal dari tak diterimanya ia dikeluarga Alex yang berbeda latar dan status sosial, identitas barunya sebagai istri, dan tentu saja raut kebahagiaan yang memancar dari wajah khas wanita baru menikah. Lalu, dibalik 180 derajat ketika kenyataan melewati ekspetasinya. Wajahnya bercampur aduk dari kebingungan, kehancuran dan ketakutan setengah mati, bahkan di akhir pun saya meyukai transformasi aktingnya berubah-ubah mengikuti perjalanan satu malamnya yang penuh darah. Satu lagi, musik yang mengiringi pergerakan-pergerakan gambar Grace mendukung kegilaan suasana hatinya. (Dimana lagi ada wanita yang sedang merasakan kegilaan dihadapannya, malah disuguhi musik beat gitar listrik!)

Tapi, Ready or Not dipersiapkan bukan tanpa celah, ia punya kekurangan kecil tapi mencolok. Kita tahu bahwa ia punya sederet karakter unik yang berbeda yang sebetulnya punya ceritanya sendiri-sendiri. Namun sayang sangking menariknya mereka, diantaranya malah ada yang menggantung, beberapa coba diceritakan ditengah-tengah secara menarik tapi kemudian tak ada jawaban di akhir yang membuat kita sedikit melongo. Dan ini bukan satu orang, bahkan beberapa seolah punya latar belakang menarik, tapi malah jadi setumpuk script asal tempel untuk mengisi dialog mereka. Saya suka motifnya, meski saya rasa sektarian atau pemuja setan kayaknya sudah sering dipraktekan oleh para sineas masa kini, tapi Ready or Not adalah cicipan rasa yang lumayan baru untuk genre serupa, terutama bagian komedinya yang pintar memancing tawa ditengah deras kecemasan penonton melihat nasib Grace. Satu lagi, dialognya pun cukup badass, karena rasanya baru kali ini ada film horror-thrilling yang kontras dan kaya akan jumlah umpatan kasar.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


Sebagai penikmat gamenya, film Dreadout adalah film yang mengecewakan. Ditangan Kimo Stamboel sutradara yang sudah lama dikenal berduet dengan Timo Tjahjanto, mencoba untuk menyamai kesuksesan rekannya yang kemarin menyuguhkan action-thriller The Night Comes for Us. Sebetulnya jika saya sedikit meraba-raba film Kimo yang dulu, saya memang belum terlalu suka dengan gaya penyutradaraannya. Setup dalam penyampaian dan cerita Kimo sejak dulu terasa kurang dan amburadul. Tengoklah Headshot yang sebetulnya action scene tak perlu saya ragukan namun begitu melihat cerita amat berantakan yang ternyata ini pun tetap saja menular pada film Dreadout.

Keluar dari plot asli gamenya, dengan latar lebih sempit yang awalnya sebuah kota mati dirubah menjadi apartemen tua dan tertinggal. Kimo sebetulnya tetap setia dengan berbagai element khas Dreadout, terutama flash kamera ajaib dari handphone yang dipakai sang tokoh utama Linda (Caitlin Halderman) sebagai senjata mematikan pengusir setan. Bercerita gang remaja SMA yang mencoba mencari latar video live horror yang dipakai untuk mendapat follower di sebuah aplikasi sosial media. Mendapatkan sebuah ide untuk mengambil latar sebuah gedung tua yang dikenal angker namun memiliki akses terbatas dan terlarang, Linda yang diketahui mengenal penjaga gedung tersebut meminta bantuannya untuk mendapatkan izin untuk bisa masuk kesana. Tapi, seketika kesenangan mereka menjadi malapetaka saat sebuah portal misterius menyeret mereka masuk ke dunia lain yang mengerikan.

Okelah jika mengatakan bahwa penceritaan Dreadout terkesan amburadul meski saya sendiri pun tidak ambil pusing ketika plot ceritanya pun diluar kisah aslinya. Mengadaptasi game memang kerap mengecewakan walau kali ini mencoba membuktikannya lewat film lokal, Dreadout pun tetap saja menjadi sekumpulan adaptasi game gagal lainnya. Garapan Kimo bisa dibilang sangat serius dan ambisius, teknik CGI dan pengambilan gambar pun bisa dibilang oke punya. Melihat setan terbang berbaju kebaya merah sebagai musuh utama mampu meneror dengan wajah bengisnya, adegan demi adegan yang terasa penuh kekacauan dan sentuhan aksi khas Mo Brothers. Tapi, sekali lagi, Kimo adalah ahli pembuat kekacauan, sangking kacaunya cerita yang ia buat pun terasa ikut kacau balau.

Adegan-adegannya terasa buruk dan clumsy, hingga terkadang bukannya menjerit ketakutan justru yang hadir lebih banyak jerit tawa. Sedari awal pun saya sering melihat adegan-adegan yang tidak penting, walau saya mengerti Kimo melakukannya agar dapat membangun watak dan karakter yang berbeda pada tiap tokoh. Alih-alih bagus, justru para pemerannya seringkali bertingkah konyol dan menggelikan, hanya karena Kimo berusaha menampilkan subjek karakter yang berbeda-beda, dan tentu saja berbeda-beda dalam menampilkan kekonyolannya. Ceritanya pun terkesan mondar-mandir, repetitif, sampai kadang sulit membayangkan bahwa apakah Kimo sedang membuat film komedi atau horror, karena sedikitpun tak ada kesan horror yang didapat walau Kimo berani meniadakan jump scare agar filmnya murni menggarap horror atmosfer yang berkualitas. Menghadirkan ciri khas Dreadout dengan kamera flash sebagai senjata Linda pun sedari awal terlihat penuh resiko, perlawanan dari serangan hantu menggunakan teknik unik ini ternyata memang merugikan, apalagi ketika Kimo gagal memberi sentuhan ciri khas game ke dalam film malah membuat filmnya kontan, tambah aneh. Dari segi narasi pun dialog-dialognya terkesan kasar, rancu, hingga saya sempat kebingungan tentang apa yang sedang mereka katakan dan lakukan karena beberapa dialog saling berebutan bagai kucing saya dirumah ribut mengeong menunggu diberi makan, meminimalisir dialog dengan sekedar memanfaatkan umpatan 'sunda' dan kalimat pendek penuh teriakan histeris.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


10 Tahun berlalu sejak pertama kali Michael Bay memperkenalkan Transformers pertamanya, 10 Tahun pula Transformers kerap mendapat cibiran karena kualitas filmnya yang buruk. Tapi, ada satu hal yang malah membuat saya rindu dengan filmnya yang berisik dan kacau setelah menonton film BumbleBee. Sesuatu yang sepertinya telah melekat dan menjadi nyawa tapi kemudian hilang, hal yang saya tunggu-tunggu pada klimaks dalam skala gila-gilaan dari visual effect-nya Bay. Aneh memang, tapi itulah yang dicari kala mencari hiburan tak berotak di film Transformers untuk sesaat melakukan relaksasi mata, ditangan sutradara yang berbeda tentu saja ada beberapa hal yang terasa berubah kala BumbleBee ditangan Travis Knight filmnya bukan lagi atau tidak sama lagi dengan yang saya rasakan sebelumnya.

Buruk? Tentu saya pastikan tidak ada yang buruk di film ini. Ditangan Travis dan penulis naskahnya Christina Hodson, Bumblebee berubah menjadi sajian film bernyawa dan memiliki "hati" didalamnya. Sebagai sebuah reboot, Bumblebee adalah perombakan besar-besaran, dalam artian dari segi narasi, plot cerita dan karakter yang terkesan lebih manusiawi. Cerita utamanya adalah hubungan persahabatan seorang gadis bernama Charlie Watson (Hailee Steinfeld) dengan Bumblebee. Masing-masing keduanya punya kerumitan masalah kehidupan, Charlie adalah gadis penyendiri dan pemurung yang belum bisa move on dari kematian ayahnya, sedangkan Bumblebee dalam situasi genting saat perang Cybertron berkecamuk dan atas perintah Optimus Prime, ia dengan terpaksa datang ke bumi dan bersembunyi dari kejaran Decepticons. Namun naas, sesaat ia tiba, Bumblebee disergap oleh para militer Amerika yang dikomandoi Agen Burns (John Cena) dan pula diserang oleh seorang Decepticon yang diam-diam membuntutinya sehingga ia mengalami kerusakan dan kehilangan ingatan. Dalam kemelut tersebut, dikemudian hari Charlie menemukan Bumblebee tengah menjadi mobil rongsokan dan membawanya kerumah, mengetahui bahwa ia seorang alien Charlie mencoba bersahabat dan melindungi Bee dari dunia luar yang mungkin mengancamnya.

Saya mengenal Travis Knight lewat karya film animasinya Kubo and the Two Strings. Dan sejujurnya saya kurang terlalu suka dengan film tersebut meski para kritikus memujinya bahkan rottentomatoes memberi tomat segar 98%. Dan ternyata sama seperti Bumblebee, ia memang film yang luar biasa tapi sebetulnya ia terlihat sedikit payah. Tentu, saya tak meragukan dinamika cerita, perasaan, emosi dan kecerdasaan Travis membangun keseluruhan cerita menjadi satu irama yang terkoneksi. Tapi, tentu seharusnya Bumblebee bukan sebuah film yang dipenuhi drama melankolis, ia tak seimbang dengan iramanya membangun drama dan aksi. Justru terperangkap karena terlalu ber"hati" dengan keinginan membangun skala emosi yang lebih besar, sehingga kehilangan kesenangan saat melihat Autobots dan Decepticon meledak-ledak dan berjumpalitan. Apa karena ekspetasi atau mungkin pengaruh film sebelumnya, yang pasti hiburan terbesar Transformers adalah kehancuran, ledakan dan kebisingan yang terasa sedikit sunyi di film ini. Meski hanya satu hal yang hilang yaitu tak ada kota yang hancur dalam skala besar, meski beberapa paruh saya tetap terhibur dengan sekuens-sekuensnya yang terbangun dengan berbagai momentum yang cukup rapi.

Terlepas dari itu semua, Bumblebee memang memberikan apa yang disebut kualitas. Cerita persahabatannya bagai film E.T. the Extra-Terrestrial, tidak kekanak-kanakan tapi juga dewasa dalam melingkupi persoalan kedewasaan, kerelaan dan intimasi hubungan keluarga. Sesuatu yang membuat kisah hidup Charlie jauh lebih relevan dan berkarakter ketimbang Sam Witwicky yang berisik dan overacting. Beberapa kali saya terharu, tergetar dan tersenyum dengan kisah keduanya. Ditubuh robotnya pun Bumblebee layaknya bocah polos yang tingkahnya memancing tawa, tapi juga membuat kita sensitif terhadap tuturnya yang manusiawi dan bernyawa. Hal terkeren dalam film ini pun tak luput dari villain yang hadir, stoknya mungkin terbatas pada tiga tokoh saja. Satu dari kalangan manusia bernama Burns diperankan oleh John Cena, salah satu akting terbaik dalam karirnya. Dan dua dari kalangan decepticon, Shatter dan Dropkick, villain berwatak jahat tapi juga tampil sebagai mesin berotak tanpa harus melabeli diri mereka sebagai megalomania yang terkubur oleh motif ambisi yang terbatas layaknya Megatron. Dengan tampilan yang berlatar generasi Y tahun 80-an, musik berlantun khas semacam Take On Me milik "Aha" menjadi ciri khas yang membuat Bumblebee menjadi sajian yang terasa khas dan menarik.
Share
Tweet
Pin
Share
1 Comments


Dalam kurun waktu 2 dekade kita sudah mengenal 3 karakter Spider-Man modern yang diperankan oleh Tobey Maguire, Andrew Garfield dan Tom Holland. Ketiga-tiganya memiliki plot cerita yang hampir sama, entah kisah percintaan, pekerjaan, intelektual, tragedi paman Ben, dan segala yang sudah terasa familiar dengan karakter bernama Peter Parker. Nah, mungkin ide untuk membuat film Spider-Man out of the box dari kisah-kisah yang saya rasa lama-lama bakal jadi klise, tim studio Marvel beserta Sony Pictures berusaha untuk keluar dari kebiasaan lama. Maka tetap mengambil asal-usul adaptasi komiknya, Miles Morales (Shameik Moore) menjelma menjadi sosok the new Spider-Man. Tentu saja Spider-Man yang lebih muda dan segar, ayah dan ibu yang masih hidup, tanpa kisah cinta, dan berkulit hitam.

Miles Morales adalah remaja belasan tahun yang hidup bersama kedua orang tuanya. Miles memiliki seorang Ayah yang tidak ia sukai bernama Jefferson Davis (Brian Tyree Henry), seorang polisi yang keras dan kerap mengatur kehidupan pribadinya. Miles pun memiliki seorang paman yang ia cintai dan dekat dengannya, Uncle Aaron (Mahershala Ali) yang justru menjadi ayah keduanya. Miles sebetulnya hidup di kota yang sama dengan Peter Parker, dan mungkin diperkirakan 20 Tahun setelah kejadian-kejadian yang kita kenal sebelumnya, telah menikah dan hidup bahagia bersama Mary Jane. Beberapa plot cerita pastinya tidak akan saya jelaskan secara rinci, yang pasti disaat yang sama ketika Miles tergigit laba-laba misterius, seorang penjahat mencoba mengacaukan dimensi, sehingga beberapa Spider-Man di dimensi/universe lain tertarik ke dalam dunia tempat Miles tinggal, dan tugasnya sekarang adalah membawa pulang kembali para Spider-Man dan menyelamatkan kota dari kekacauan.

Melalui sebentuk animasi Spider-Man: Into the Spider-Verse adalah film penuh kekacauan, kerumitan dan keanehan. Baik karakter, cerita maupun visual animasinya sendiri. Berbagai macam karakter Spider-Man bermunculan, actually dari Spider-Man berperut buncit dan paling menyedihan, Spider-Man Noir, Spider-Woman, dan Spider-Man paling aneh dan konyol mirip tokoh kartun Looney Tunes, Porky Pig. Segala hingar bingar cerita yang konyol, melewati batas imajinasi dan pikiran liarnya, sentuhan ini tentunya didapat dari naskah dan ide Phil Lord dan Rodney Rothman, terutama Lord yang notabene membuat Spider-Verse layaknya The Lego Movie. Dibelakangnya pula terdapat tiga sutradara serangkai yang memang sudah pernah menangani animasi lain Bob Persichetti, Peter Ramsey dan Rodney Rothman.

Untuk animasi visualnya sebetulnya sedikit non-konvensional, lihat saja efek ledakannya yang menyerupai gelembung sabun, beberapa desain karakternya yang nyeleneh dan kadang ambigu untuk dibawa ke realita kehidupan Miles. Tapi, tentu saja kita dapat memaklumi bahwa kita dapat beranggapan film ini serupa animasi The Lego Batman Movie (2017), jangan pernah bertanya tentang logika dan keabsurdannya, tapi kita menyadari bahwa ini adalah film animasi, dimana kebanyakan memang tak memerlukan pemahaman tersebut. Selama film masih membuat tertawa, menyentuh hati dan masih related dengan kejadian-kejadiannya, Spider-Verse memiliki hal tersebut. Dalam keseruan efek animasi yang tajam dan mengikat, yang paling saya suka adalah perpaduan animasi dan lagunya yang terasa klop, salah satunya lagu "Sunflower" yang dinyanyikan Post Malone dan Swae Lee terasa renyah berapa kalipun di putar dan dinyanyikan oleh Miles sendiri, bahkan saat filmnya selesai. Dan faktanya saya sudah sering mendengar lagu ini sebelum filmnya dirilis, bener-bener adem dan renyah didengar.

Dari segi cerita, selain humor khas Phil Lord, film ini tetap mengeksplorasi ruang perasaan dan hati dalam ceritanya yang penuh ironi. Berbarengan dengan pendekatan kisah familiar seperti romansa hubungan Peter dan Mary, sedikit cuplikan kereta Spider-Man 2-nya Sam Raimi yang paling memorable, berbagai pop-culture yang memperkaya dunia Spider-Man. Memang film ini tidak hanya menghibur, tapi memang benar-benar film tentang Spider-Verse yang kadang terasa seperti nostalgia. Berbagai villain pun muncul disini, dari Doctor Octopus, Scorpion, Green Goblin, dan Kingpin. meski tidak terlalu banyak dimunculkan karena memungkinkan membebani cerita. Mengatakan Spider-Man: Into the Spider-Verse adalah film terbaiknya Spider-Man? Melihat kekayaan dan motivasi film ini dibuat sebagai bentuk penghormatan dan cinta pada karakternya yang paling ikonik, tentu saja tanpa ragu saya mengatakan filmnya benar-benar keren, bernuansa, eksploratif, kaya, unik dan menyentuh.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


Jika dipikir-pikir Aquman tak ayal seperti film action fantasy konvensional yang terikat dengan kisahnya yang standard dengen element visual bawah laut yang megah layaknya Percy Jackson. Disutradarai oleh James Wan yang lebih dikenal menangani film-film horror semacam Saw dan The Conjuring, lalu merambah ke action theme yang telah mensukseskan salah satu franchise besar Furious 7. Kini DC Comics mempercayai Wan untuk menangani salah satu karakternya yang populer, Aquaman aka Arthur (Jason Momoa). Meski saya sebut Aquaman ini film dengan kisah standard dan konvensional, tapi bukan juga deretan film buruk DC dalam universe yang coba dibangun. Ia memang menyajikan spirit petualangan penuh aksi memukau dan visual dunia bawah laut dan kota atlantis yang megah.

Diawali dengan kisah pertemuan orang tua Arthur, ibunya Atlanna (Nicole Kidman) seorang putri Atlantis yang berusaha kabur dari pernikahan orang tuanya dan Tom Curry (Temuera Morrison) penjaga mercusuar yang tak sengaja melihatnya dan mencoba menolongnya di tepi pantai. Pertemuan mereka menjadi benih cinta dan melahirkan seorang anak bernama Arthur. Ketika dewasa Arthur hanya tinggal bersama ayahnya saat ibunya Atlanna harus kembali ke Atlantis saat ia kecil dan tak pernah melihatnya lagi. Di lain pihak, Atlantis kini dikuasai oleh adik tiri Arthur (ibu yang sama tapi ayah berbeda) bernama King Orm (Patrick Wilson) yang berniat melawan manusia dipermukaan karena dianggap sebagai sebuah ancaman bagi dunia bawah laut. Mera (Amber Heard), anak dari King Nereus (Dolph Lundgren) sekutu sekaligus tunangan King Orm berupaya mencegah niat buruk Orm dengan membujuk Arthur merebut kembali tahta Atlantis dari tangannya. Agar upaya Arthur dan Mera berhasil mereka harus mencari trisula Atlan yang digunakan raja pertama Atlantis agar ia bisa menantang Orm dan merebut takhta.

Beberapa tahun terakhir mungkin beberapa orang kompak bahwa salah satu film DC Comics yang selamat dari banjir kritikan pedas adalah Wonder Woman. Film Wonder Woman memang tipikal film dengan cerita yang sebetulnya sangat sederhana, tapi saya menyukai filmnya karena punya spirit feminisme dan kemanusiaan yang kuat dalam balutan kisah mitologi. Dan menyangkut beberapa element termasuk komedi dan naskah pun cukup berhasil. James Wan dipercayai merangkul Aquaman sepertinya ingin membawa film dengan tampilan keren dengan atraksi visual dan aksi. Dan bukan cuman itu, Wan beserta tim penulis naskah David Leslie Johnson-McGoldrick dan Will Beall menyuntikkan setiap element agar filmnya tidak hanya renyah dimata tetapi renyah pula dihati. Wan mencoba memasukkan semuanya kedalam film seperti tak luput membawa isu lingkungan alam dan pula sentuhan emosional tentang cinta dan keluarga. Tapi, dalam eksekusi hanya sedikit yang bisa terasa, selebihnya hanya cerita linear dan biasa tentang petualangan mencari trisula, perebutan takhta kekuasaan layaknya Black Phanter, klimaks perang layaknya LOTR versi bawah laut dan berbagai suntikan aksi dan cerita yang sebetulnya jika ditilik tampak familiar. Dan kesan familiar inilah yang mungkin menyebabkan kisahnya sendiri terjebak oleh naskah yang enggan keluar dari kebiasaan.

Ada hal yang saya suka dan tidak suka di film ini. Terutama imbas villain yang lagi-lagi seperti kebanyakan villain superhero lainnya, yaitu sifat megalomania yang tidak memiliki kompleksitas dan kurang berkesan. Komedinya pun terasa hit & miss, dan beberapa malah terdengar seperti dialog biasa. Hal-hal yang saya suka tentu masih ada, ditangan Wan aksinya tetap memancing adrenalin, bumbu Furious 7 masih terasa melekat dengan aksi yang kebanyakan memang penuh chase scences, pertama adegan yang sudah ditampilkan dalam trailernya yang berdurasi panjang (promosi trailer yang terlalu berlebihan dan sia-sia) dan kedua kejar-kejaran dengan The Trench, salah satu best scene menurut saya. Aksi dan visual berpadu dalam gaya sinematik khas film action fantasy yang menyenangkan. Tapi, memang meski bermain di ranah visual, terkadang Wan kurang menyajikannya secara lebih berwarna dan indah, beberapa tone kadang malah terasa gelap, kaku dan kurang bernuansa dimana sebenarnya banyak yang bisa di eksplorasi dalam tatanan visual laut dan kota Atlantis yang seringkali diceritakan sebagai kota legenda paling indah. Hal yang cukup saya suka adalah kostumnya, beberapa kostum berat dan nyeleneh tapi membuat filmnya tampil agak berbeda, seperti kostum yang dipakai oleh para tentara Atlantis yang kesannya mirip kostum di game Halo, pakaian ketat dan blinking dipakai Mera dan Arthur yang awalnya kelihatan aneh tapi saya pikir kostumnya bagus dan tidak terlalu berlebihan. Dan ada Willem Dafoe disini berperan sebagai penasehat raja Atlantis yang loyal bernama Vulko, entah kenapa di film ini dandanannya tidak segarang film-film lainnya dan tampak lucu dengan gaya rambutnya yang klimis itu.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


Diangkat dari novel karangan Darcey Bell berjudul sama, film ini menceritakan seorang single parent, soccermom sekaligus vlogger bernama Stephanie (Anna Kendrick) yang secara tak sengaja berkenalan dengan Emily (Blake Lively), ibu dari teman anaknya saat sama-sama sedang menjemput anak mereka di sekolah. Karena pertemuan tersebut keduanya kemudian menjalin hubungan pertemanan dan sering mengobrol di rumah Emily dari hal-hal biasa sampai ke masalah pribadi. Suatu hari Emily meminta pertolongan sederhana pada Stephanie agar bisa menjemput anaknya disekolah, sementara ia pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Tapi, setelah esoknya Stephanie tidak lagi mendapatkan kabar dari temannya dan menyadari bahwa Emily telah menghilang tanpa kabar dan sebab yang jelas. Sehubungan hilangnya Emily secara misterius meninggalkan satu anak dan suaminya Sean Townsend (Henry Golding), Stephanie yang merasa sebagai satu-satunya teman mencoba membantu menyelidiki kasus misteri hilangnya Emily.

A Simple Favor pada dasarnya adalah film bertema misteri wanita hilang (gone girl). Film ini disutradarai oleh Paul Feig yang terkenal melalui filmnya Bridemaids dan Spy, kebetulan keduanya memang film favorit saya. Feig juga dibantu oleh penulis naskah Jessica Sharzer. A Simple Favor adalah tentang dua wanita yang hidup di dunia yang berbeda, keterikatan keduanya pun bisa dibilang kebetulan dan motifnya urgensi semata. Stephanie sebagai figur ibu rumah tangga yang mandiri, seperti kebanyakan ibu-ibu lain ia baik hati, hangat dan juga cerdas. Sedangkan Emily wanita yang terlihat memiliki segalanya, cantik, fashionable, rumah mewah, karir modeling, memiliki anak dan suami yang tampan, seolah dimata Stephanie sendiri, Emily adalah figur wanita sempurna dan memiliki segalanya. Tapi, dibalik itu Emily memiliki masalah rumah tangga, sifatnya agak jelek, misterius dan selalu tampak menyembunyikan sesuatu.

Secara sinopsis, sebetulnya film A Simple Favor beresiko membuat ceritanya seolah gampang ditebak dan predictable. Inti cerita film ini menyuruh kita menebak-nebak apakah Emily benar-benar hilang ataukah hanyalah skenario semata? Simply, ide cerita tidak berfokus pada kisah "gone girl" semata karena dalam sinopsis dan trailernya sendiri sudah berniat membocorkan hal tersebut, sedangkan menurut saya Feig hanya membuat motif cerita untuk drama "womanation" (istilah keren yang saya karang sendiri untuk menyebut cerita kaum para wanita) dengan bumbu komedi gelap didalamnya, atau mungkin semacam film-film noir yang melatarbelakangi masalah ambiguitas moral dan motif seksual. Ditangan Feig meski beberapa adegan misterinya terasa medioker, film ini tetap menjadi sajian yang terasa manipulatif, cerdas dan twisted dalam beberapa segmentasi kisahnya.

Dan yang paling utama adalah akting kedua pemeran utamanya, Anna Kendrick dan Blake Lively. Anna tetap berakting sebagai wanita unyu-unyu, menyenangkan dan innocent tapi juga memadukan tipikal emak-emak muda yang super kepo dan rempong. Sedangkan Lively, tetap menjadi sosok wanita yang elegan dan anggun sesuai karakternya yang biasa ia perankan, tapi disini terasa lebih kompleks seolah nuansanya terasa lebih gelap, sensual, little crazy dan intimidated. Entah apa jadinya jika saya berada di situasi bersama dua wanita cantik ini (d*mn! jangan mikir yang ngga-nggak ah! 😂), maksud saya seperti yang dirasakan Henry Golding yang berperan sebagai suami Emily yang merasakan dua dimensi hubungan cinta dan kedekatan personal berbeda diantara keduanya. Golding sendiri sudah kita kenal melalui aktingnya di film Crazy Rich Asians, dan aktingnya disini pun luar biasa dimana ia mampu mengimbangi chemistry dua artis lainnya tanpa harus menjadi tempelan semata, yang harus diakui ia adalah pria asia yang buat saya sangat karismatik, berwajah tampan dan juga cool. Di sisi lain saya menyukai penggalian latar belakang karakternya yang kuat, sehingga setiap karakter bukanlah peran-peran kosong tanpa identitas, setiap tokohnya punya dimensi yang kuat dan masa lalu yang tak terduga dan menarik disimak, sehingga baik Emily, Stephanie dan Sean dalam situasi manapun mampu terjalin chemistry dan emosi yang kuat karena kita mengenal siapa mereka melalui masa lalunya.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments


The Battleship Island mungkin bisa menjadi salah satu tontonan yang bagus untuk melihat betapa sejarah kelam penderitaan rakyat Korea akibat kolonialisme Jepang sangatlah kejam dan tak manusiawi. Seingat saya baru dua film Korea yang pernah saya tonton bersangkutan dengan tragedi ini, judulnya The Last Princess (2016), namun sayang film ini terlampau melodrama dan terkesan mirip soap opera ketimbang film biopik yang serius. Sedangkan yang paling bagus menurut saya adalah The Age of Shadow, namun juga film ini hanya kisah fiksi semata. Ryoo Seung-wan sutradara sekaligus penulis naskah membawa kita menyelami perspektif cerita melalui perjuangan masyarakat tanpa kelas, tentu saja tanpa embel-embel patriotisme tentara. Bahkan termasuk Lee Gang-ok (Hwang Jung-min) dan anaknya So-hee (Kim Su-an), keluarga yang bisa dibilang mencari nafkah dengan menjadi seniman musik, dijebak (atau terjebak?) menjadi buruh tambang di pulau battleship Island (Hasima Island). Selain keduanya, ada anggota mafia bernama Choi Chil-sung (So Ji-seob) dan seorang wanita Mallyon (Lee Jung-hyun), sepasang kekasih yang bisa dibilang hubungan mereka benci-cinta dalam pertemuan tak terduga. Song Joong-Ki (Park Mu-young) seorang tentara yang diam-diam masuk ke Hashima. Selain dari mereka masih terdapat lagi karakter-karakter lainnya, meski tidak sedominan mereka, bisa dilihat dari poster yang terpampang mewakili wajah 400 orang Korea yang terisolasi di Hashima.

Tentu saja film ini mengangkat tema tentang realita kekejaman para tentara Jepang di Hashima, termasuk perbudakan dan penyiksaan terhadap kaum pria yang dijanjikan upah sebagai pekerja tambang, sedangkan kaum wanita dijadikan pelacur di rumah bordir bagi para tentara Jepang. The Battleship Island termasuk film dengan biaya produksi termahal yaitu US$21 million (Rp276 miliar), itu bisa dilihat bagaimana film ini akan dipenuhi berbagai visual effect yang megah dan epic. Bukan cuman visual efek, tapi bagaimana Ryoo Seung-wan memenuhi segala plot cerita dengan paket full-action, dari sekedar perkelahian di tempat mandi umum yang kotor dan licin, ledakan pipa gas dalam tambang yang penuh semburan api dan ledakan, hingga klimaks yang dramatis dan megah. Tidak heran film ini bisa dikatakan sebagai film yang sangat ambisius mencoba untuk menyaingi pasar blockbuster hollywood Amerika Serikat.

Tetapi The Battleship Island adalah film yang sebetulnya punya narasi cerita yang lemah. Tentu saja ini bisa dilihat bagaimana Ryoo mencoba membagi sekuens cerita dimana fokus cerita terbagi-bagi dengan linimasa yang kompleks dan berdiri sendiri. Melompat-lompati cerita sepertinya bukan keahlian Ryoo menangani set piece sebesar ini, dengan banyak karakter, banyak tempat dan banyak cerita. Ruang cerita tersebut menjadi sesak dan sempit, sehingga narasi yang disampaikan menjadi kabur dan seringkali tak jelas. Seperti kemunculan Song Joong-Ki yang tiba-tiba, Mallyon yang sama sekali tidak diceritakan asal-usul dan masalah yang dihadapinya di Hashima. Motif Choi Chil-sung yang seorang anggota mafia kok bisa-bisanya terjun menjadi buruh tambang. Semua latar cerita film ini terasa dibuat random, bahkan sekedar menceritakan asal-usul Hashima sebagai posisi tempat mencari nafkah para pekerja atau memang para pekerja paksa yang dijebak sama seperti yang dialami Lee Gang-ok? Bencinya saya memang tidak terlalu mengikuti fakta sejarah Hashima, tapi bukan berarti film ini memperlemah narasinya sendiri. The Battleship Island memang menjanjikan cerita yang emosional, menegangkan dan dramatis, seperti bagaimana sekuens hubungan ayah dan anak yang rentan terpisah, sepasang kekasih dalam pertemuan romantis di tempat yang salah, konflik internal, dan muatan politik keji beberapa karakternya membuat film ini sama sekali tidak monoton dan kita pun turut terikat dengan berbagai karakternya, bahkan beberapa elemen komedi sempat memancing tawa meski bungkusan adegan seringkali begitu intens, penuh kekerasan dan ledakan, lantaran terdapat sosok Lee Gang-ok, pria oportunis dan selengean yang sebetulnya tokoh sentris yang lemah dan tidak berdaya, tapi cukup memiliki akal dan upaya untuk tetap bertahan hidup dan melindungi anaknya. Tapi, tetap saja sih saya tidak menyukai narasi ceritanya yang lemah yang tidak bisa ditutup-tutupi di beberapa babak, membingungkan dan terkesan random.
Share
Tweet
Pin
Share
No Comments
Older Posts

About me

About Me

Mulai gemar menonton banyak genre film sejak 2011, dan menulis blog film sejak 2013. Ini adalah blog ke-2 setelah lemonvie resmi non-aktif

Search

Follow Us

  • facebook
  • twitter
  • instagram
  • Google+
  • pinterest
  • youtube

RATING

  • Average
  • Bad
  • Delicious
  • Fair
  • Good

recent posts

Popular Posts

  • Lady Macbeth (2017) Movie Review
  • Apakah Anime Naruto (Mengecewakan/Memuaskan?)
  • My Cousin Rachel (2017) Movie Review
  • Bumblebee (2018) Movie Review
  • Dreadout (2019) Movie Review

Sponsor

Arsip Blog

Translate

Created with by ThemeXpose | Distributed by Blogger Templates