The Battleship Island (2017) Movie Review

by - Desember 11, 2018



The Battleship Island mungkin bisa menjadi salah satu tontonan yang bagus untuk melihat betapa sejarah kelam penderitaan rakyat Korea akibat kolonialisme Jepang sangatlah kejam dan tak manusiawi. Seingat saya baru dua film Korea yang pernah saya tonton bersangkutan dengan tragedi ini, judulnya The Last Princess (2016), namun sayang film ini terlampau melodrama dan terkesan mirip soap opera ketimbang film biopik yang serius. Sedangkan yang paling bagus menurut saya adalah The Age of Shadow, namun juga film ini hanya kisah fiksi semata. Ryoo Seung-wan sutradara sekaligus penulis naskah membawa kita menyelami perspektif cerita melalui perjuangan masyarakat tanpa kelas, tentu saja tanpa embel-embel patriotisme tentara. Bahkan termasuk Lee Gang-ok (Hwang Jung-min) dan anaknya So-hee (Kim Su-an), keluarga yang bisa dibilang mencari nafkah dengan menjadi seniman musik, dijebak (atau terjebak?) menjadi buruh tambang di pulau battleship Island (Hasima Island). Selain keduanya, ada anggota mafia bernama Choi Chil-sung (So Ji-seob) dan seorang wanita Mallyon (Lee Jung-hyun), sepasang kekasih yang bisa dibilang hubungan mereka benci-cinta dalam pertemuan tak terduga. Song Joong-Ki (Park Mu-young) seorang tentara yang diam-diam masuk ke Hashima. Selain dari mereka masih terdapat lagi karakter-karakter lainnya, meski tidak sedominan mereka, bisa dilihat dari poster yang terpampang mewakili wajah 400 orang Korea yang terisolasi di Hashima.

Tentu saja film ini mengangkat tema tentang realita kekejaman para tentara Jepang di Hashima, termasuk perbudakan dan penyiksaan terhadap kaum pria yang dijanjikan upah sebagai pekerja tambang, sedangkan kaum wanita dijadikan pelacur di rumah bordir bagi para tentara Jepang. The Battleship Island termasuk film dengan biaya produksi termahal yaitu US$21 million (Rp276 miliar), itu bisa dilihat bagaimana film ini akan dipenuhi berbagai visual effect yang megah dan epic. Bukan cuman visual efek, tapi bagaimana Ryoo Seung-wan memenuhi segala plot cerita dengan paket full-action, dari sekedar perkelahian di tempat mandi umum yang kotor dan licin, ledakan pipa gas dalam tambang yang penuh semburan api dan ledakan, hingga klimaks yang dramatis dan megah. Tidak heran film ini bisa dikatakan sebagai film yang sangat ambisius mencoba untuk menyaingi pasar blockbuster hollywood Amerika Serikat.

Tetapi The Battleship Island adalah film yang sebetulnya punya narasi cerita yang lemah. Tentu saja ini bisa dilihat bagaimana Ryoo mencoba membagi sekuens cerita dimana fokus cerita terbagi-bagi dengan linimasa yang kompleks dan berdiri sendiri. Melompat-lompati cerita sepertinya bukan keahlian Ryoo menangani set piece sebesar ini, dengan banyak karakter, banyak tempat dan banyak cerita. Ruang cerita tersebut menjadi sesak dan sempit, sehingga narasi yang disampaikan menjadi kabur dan seringkali tak jelas. Seperti kemunculan Song Joong-Ki yang tiba-tiba, Mallyon yang sama sekali tidak diceritakan asal-usul dan masalah yang dihadapinya di Hashima. Motif Choi Chil-sung yang seorang anggota mafia kok bisa-bisanya terjun menjadi buruh tambang. Semua latar cerita film ini terasa dibuat random, bahkan sekedar menceritakan asal-usul Hashima sebagai posisi tempat mencari nafkah para pekerja atau memang para pekerja paksa yang dijebak sama seperti yang dialami Lee Gang-ok? Bencinya saya memang tidak terlalu mengikuti fakta sejarah Hashima, tapi bukan berarti film ini memperlemah narasinya sendiri. The Battleship Island memang menjanjikan cerita yang emosional, menegangkan dan dramatis, seperti bagaimana sekuens hubungan ayah dan anak yang rentan terpisah, sepasang kekasih dalam pertemuan romantis di tempat yang salah, konflik internal, dan muatan politik keji beberapa karakternya membuat film ini sama sekali tidak monoton dan kita pun turut terikat dengan berbagai karakternya, bahkan beberapa elemen komedi sempat memancing tawa meski bungkusan adegan seringkali begitu intens, penuh kekerasan dan ledakan, lantaran terdapat sosok Lee Gang-ok, pria oportunis dan selengean yang sebetulnya tokoh sentris yang lemah dan tidak berdaya, tapi cukup memiliki akal dan upaya untuk tetap bertahan hidup dan melindungi anaknya. Tapi, tetap saja sih saya tidak menyukai narasi ceritanya yang lemah yang tidak bisa ditutup-tutupi di beberapa babak, membingungkan dan terkesan random.

You May Also Like

0 Comments