Lady Macbeth (2017) Movie Review

by - Agustus 27, 2017



Saat obsesi menjadi sangat liar, gila dan sinting. Maka lahirlah sesuatu yang disebut dengan pendangkalan moral secara ekstrim yang tidak lagi menukil keselarasan otak dan hati nurani. Lady Macbeth diadaptasi dari karya novel Nikolai Leskov berjudul Lady Macbeth of Mtsensk menjadi bahan studi saat pernikahan karena keterpaksaan berubah menjadi hasrat mencari pemuasan nafsu dari sekedar perselingkuhan yang kotor, rekayasa kebohongan, hingga berakhir dengan rentetan pembunuhan yang terbilang sangat keji dan kejam. William Oldroyd selaku sutradara debutan menyiapkan amunisi yang terbilang cantik namun didalamnya punya segudang konteks cerita yang terbilang berani untuk menawarkan sebuah drama paling abusive tahun ini.


Seperti judulnya film ini sedikit banyak terinspirasi dari salah satu tokoh karya penulis klasik dan terkenal William Shakespeare, istri dari Macbeth yaitu Lady Macbeth. Diceritakan pada tahun 1865 di Rural England, Katherine (Florence Pugh) terpaksa menikah dengan seorang pria yang umurnya dua kali lipat darinya, Alexander (Paul Hilton), lantaran ia dibeli oleh seorang kaya raya tua bernama Boris (Christopher Fairbank) untuk dinikahkan kepada anak tunggalnya tersebut. Meratapi ketidakbahagiaan dalam otorisasi, home prisoner hingga suami yang tak mau menyentuhnya sedikitpun. Hingga suatu hari Alexander dan ayahnya pergi untuk sementara waktu meninggalkan Katherine dirumah sendirian bersama seorang budak negro Handmaiden-nya yang setia, Anna (Naomi Ackie) dan pertemuannya dengan seorang pekerja baru dari perkebunan suaminya, Sebastian (Cosmo Jarvis) mulai membuat ia terpikat dalam kebebasannya untuk memulai hubungan terlarang hingga perselingkuhan rahasia menjadi bibit konspirasi yang mengotori pernikahannya sendiri.


Pernikahan dalam isu yang mengkaitkan perbudakan ras kulit hitam menjadi tandem yang seolah memiliki makna yang sama. Pernikahan seperti kiasan perbudakan dalam hak dan moral yang barang tentu dialami kaum wanita. Meski tampak bukan berasal dari penderitaan dan siksaan lahiriah, tapi dalam mimik ekspresi Katherine terpancar raut depresi, rasa dingin, hingga ketidaktenangan dalam hatinya. Hingga pertemuan yang sebetulnya sangat ganjil dengan Alexander, hingga menyambut perkosaan yang diterimanya diawal dengan tangan terbuka, hasrat yang menggebu-gebu dan tak terbendung itu seolah menciptakan kegilaan dan ketidakwarasan Katherine. Ini pun diikuti akting dari artis newcomer British, Florence Pugh yang cukup tampil anggun dan polite berubah menjadi psikopat yang diperbudak oleh hawa nafsu dan rasa cinta yang buta. Dan tidak itu saja, sedikit senyum menyeringainya berkali-kali mencuri perhatian dan wajah innocent-nya cukup membuat saya berpikir, what's wrong with her!?


Melihat dari setting yang dipakai dalam film ini memang tidak bisa dipungkiri, kebebasan dan kesintingan yang dilakukan Katherine tidak terikat azas hukum. Segala yang dilakukannya, pembunuhan hingga kekejaman hanya demi bisa berduaan dan memuaskan nafsu bersama dengan Alexander membuat obsesi yang ia lakukan terbilang sudah kelewat batas. Bahkan ketika menjelang akhir pun film yang naskahnya ditulis oleh screenwriter debutan Alice Birch, secara mengejutkan menjadi sequence yang menohok dan sudah keluar dari nilai budi pekerti manusia, ketika iblis tercipta dari obsesi ekstrim dan sinting yang tidak lagi melihat dirinya sebagai manusia normal, sudah mencapai ke ranah psikopat yang berpikiran tidak stabil. Lady Macbeth seperti karya Shakespeare yang terdahulu memang sama-sama mengangkat ideologi dari niat busuk, hasrat manusiawi, hingga akhirnya dihantui rasa "bersalah" dan juga "tak bersalah" akibat kejahatan dan pembunuhan yang dilakukan yang justru berimbas kepada pertanyaan soal loyalitas dan pengorbanan dalam sebuah hubungan kotor di akhir cerita.


Meski terbilang cerita yang disampaikan Oldroyd berani dalam mengeksekusi cerita yang merupakan karya perdananya, film ini juga tetap punya rasa arthouse yang cantik, klasik dan elegant. Dengan nuansa slavery, dekorasi antik, hamparan perkebunan dengan segala penghuni rumah yang ada, mengingatkan saya dengan film "12 Years A Slave" dan "Django Unchained" hingga busana korset dan gaun Victorian berwarna ocean blue yang hampir setiap kali dipakai oleh Katherine membuat ia terlihat cantik dengan riasannya yang sangat natural. Ditembak dengan gaya film take long shot, pun semakin menegaskan dalam bentuk ketenangan, erotisme nakal, dan kekejian menjabarkan cerita yang disturbing namun mampu disampul cantik melalui style artsy yang melankolis dan elegant.

Saya sebetulnya tidak ingin merekomendasikan film ini bagi yang tidak ingin mengumpat atau mengelus dada dengan perilaku sakit jiwa seorang wanita cantik dengan wajah tanpa dosa yang berhasil diperankan dengan sangat terrifying oleh artis muda Florence Pugh. Obsesi, hasutan, amoral, hingga indikator radikal yang menyelimuti kesintingan, perkosaan, perbudakan dan pembunuhan keji, ini seperti film-film klasik daring yang jarang ditemui saat ini, bahkan sentuhan scoring yang hanya terdiri dari 3 aransemen yang dipakai dalam film namun tetap membentuk kisahnya secara menggetarkan dalam ketenangan. Sebuah revolting movie yang memang dibentuk dengan hantaran yang panas dan dingin, meski saat film berubah haluan di pertengahan cerita membuat saya sedikit terseok-seok untuk beradaptasi dengan ranah cerita yang seolah baru, tapi saya rasa ini tetap menjadi film yang menjanjikan untuk ditonton.

You May Also Like

0 Comments