Dreadout (2019) Movie Review

by - Januari 12, 2019



Sebagai penikmat gamenya, film Dreadout adalah film yang mengecewakan. Ditangan Kimo Stamboel sutradara yang sudah lama dikenal berduet dengan Timo Tjahjanto, mencoba untuk menyamai kesuksesan rekannya yang kemarin menyuguhkan action-thriller The Night Comes for Us. Sebetulnya jika saya sedikit meraba-raba film Kimo yang dulu, saya memang belum terlalu suka dengan gaya penyutradaraannya. Setup dalam penyampaian dan cerita Kimo sejak dulu terasa kurang dan amburadul. Tengoklah Headshot yang sebetulnya action scene tak perlu saya ragukan namun begitu melihat cerita amat berantakan yang ternyata ini pun tetap saja menular pada film Dreadout.

Keluar dari plot asli gamenya, dengan latar lebih sempit yang awalnya sebuah kota mati dirubah menjadi apartemen tua dan tertinggal. Kimo sebetulnya tetap setia dengan berbagai element khas Dreadout, terutama flash kamera ajaib dari handphone yang dipakai sang tokoh utama Linda (Caitlin Halderman) sebagai senjata mematikan pengusir setan. Bercerita gang remaja SMA yang mencoba mencari latar video live horror yang dipakai untuk mendapat follower di sebuah aplikasi sosial media. Mendapatkan sebuah ide untuk mengambil latar sebuah gedung tua yang dikenal angker namun memiliki akses terbatas dan terlarang, Linda yang diketahui mengenal penjaga gedung tersebut meminta bantuannya untuk mendapatkan izin untuk bisa masuk kesana. Tapi, seketika kesenangan mereka menjadi malapetaka saat sebuah portal misterius menyeret mereka masuk ke dunia lain yang mengerikan.

Okelah jika mengatakan bahwa penceritaan Dreadout terkesan amburadul meski saya sendiri pun tidak ambil pusing ketika plot ceritanya pun diluar kisah aslinya. Mengadaptasi game memang kerap mengecewakan walau kali ini mencoba membuktikannya lewat film lokal, Dreadout pun tetap saja menjadi sekumpulan adaptasi game gagal lainnya. Garapan Kimo bisa dibilang sangat serius dan ambisius, teknik CGI dan pengambilan gambar pun bisa dibilang oke punya. Melihat setan terbang berbaju kebaya merah sebagai musuh utama mampu meneror dengan wajah bengisnya, adegan demi adegan yang terasa penuh kekacauan dan sentuhan aksi khas Mo Brothers. Tapi, sekali lagi, Kimo adalah ahli pembuat kekacauan, sangking kacaunya cerita yang ia buat pun terasa ikut kacau balau.

Adegan-adegannya terasa buruk dan clumsy, hingga terkadang bukannya menjerit ketakutan justru yang hadir lebih banyak jerit tawa. Sedari awal pun saya sering melihat adegan-adegan yang tidak penting, walau saya mengerti Kimo melakukannya agar dapat membangun watak dan karakter yang berbeda pada tiap tokoh. Alih-alih bagus, justru para pemerannya seringkali bertingkah konyol dan menggelikan, hanya karena Kimo berusaha menampilkan subjek karakter yang berbeda-beda, dan tentu saja berbeda-beda dalam menampilkan kekonyolannya. Ceritanya pun terkesan mondar-mandir, repetitif, sampai kadang sulit membayangkan bahwa apakah Kimo sedang membuat film komedi atau horror, karena sedikitpun tak ada kesan horror yang didapat walau Kimo berani meniadakan jump scare agar filmnya murni menggarap horror atmosfer yang berkualitas. Menghadirkan ciri khas Dreadout dengan kamera flash sebagai senjata Linda pun sedari awal terlihat penuh resiko, perlawanan dari serangan hantu menggunakan teknik unik ini ternyata memang merugikan, apalagi ketika Kimo gagal memberi sentuhan ciri khas game ke dalam film malah membuat filmnya kontan, tambah aneh. Dari segi narasi pun dialog-dialognya terkesan kasar, rancu, hingga saya sempat kebingungan tentang apa yang sedang mereka katakan dan lakukan karena beberapa dialog saling berebutan bagai kucing saya dirumah ribut mengeong menunggu diberi makan, meminimalisir dialog dengan sekedar memanfaatkan umpatan 'sunda' dan kalimat pendek penuh teriakan histeris.

You May Also Like

0 Comments