The Battle: Roar to Victory (2019) Movie Review

by - September 10, 2019



Sejarah kelam penjajahan di masa lalu memang tidak bisa dilupakan oleh setiap negara manapun, termasuk Korea. Dibarengi gemuruh filmmaker Korea kerap unjuk taring agar bisa bersaing sebagai film blockbluster ala Asia. Titik inilah yang membuat seringnya mereka mengambil premis yang melatarbelakangi peperangan antara Korea dan Jepang, dimana Jepang sendiri memang sudah dikenal atas kebengisan dan kekejamannya di masa penjajahan terhadap Korea yang tak mampu dilupakan selamanya. Sebelum The Battle: Roar to Victory banyak film yang sudah membahas hal serupa, sejauh yang saya ingat yaitu 'Age of Shadow' dan 'Battleship Island'. Dan istimewanya di negaranya sendiri, film ini adalah film terlaris yang menyedot penonton sebanyak 1 juta dalam 4 hari penayangan. Yang bisa dikatakan film ambisius dari sutradara Won Shin-yeon ini mungkin berusaha mampu berkata banyak melalui filmnya.

Kita mendapatkan seorang tokoh utama Hwang Hae-Cheol (Yu Hae-Jin) seorang milisi kemerdekaan Korea bersama rekannya Jang-Ha (Ryoo Joon-Yeol) yang berjuang melawan para elite tentara Jepang yang dipimpin oleh Jiro Yasukawa (Kazuki Kitamura) si pembunuh harimau berkumis Pak Raden di Manchuria, China (1920). Tak lepas dari tentara Jepang sebagai penjahatnya yang super-duper kejam, kita akan melihat banyaknya adegan brutal dan bengis di film ini. Dari banyaknya adegan kepala terpenggal berserakan, hingga seorang bocah mati tertembak saat ia mencoba kabur membawa tali layangan, sementara gilanya para tentara asyik menyaksikannya sambil tertawa sebagai hiburan. Film ini memang hampir begitu banyak adegan eksploitatif yang kemungkinan besar bakal membuatmu banyak mengeluskan dada.

Sepanjang film berjalan ia akan dipenuhi dengan sederet aksi tanpa henti, dari aksi tembak-tembakan, kejar-kejaran, sumput-sumputan, dan tentu saja ia bukan sekedar aksi tanpa otak, tapi lebih ke alur yang lebih taktis, walau tidak sampai terkesan cerdas, rumit atau apapun dengan gagasan super simple tapi alurnya enak diikuti. Walau dalam beberapa adegan terkesan repetitif, tapi Shin-yeon mengurainya dengan elemen-elemen yang tampak baru dalam sajian film perang seperti senjata golok/parang yang digunakan Hae-Cheol untuk membantai para tentara Jepang dengan hebatnya. Walau kadang tingkahnya overreacted menurut saya, selalu maju sendirian ditengah senjata api yang ditodong tepat dihadapannya, well, saya dapat memaklumi karena meski begitu aksinya terlihat sangat keren dan brutal bagaikan saya sedang menyaksikan Iko Uwais di film The Raid. Tokoh lain pun tidak sekedar menjadi peramai semata, Jang-Ha yang bisa dikatakan second-leader hadir dengan kemampuan menembaknya, walau tak semenonjol Hae-Cheol, tapi ia punya kegesitan dan akal yang lumayan dibalik muka cemberutnya yang menyebalkan.

Tapi, saya sedikit agak kecewa dengan beberapa pengenalan karakternya yang terlampau seadanya, menimbulkan banyak tanda tanya dan sesaknya tokoh yang terus bermunculan sampai akhir membuat saya tidak peduli lagi dengan mereka. Seperti Hae-Cheol dan Jang-Ha yang ternyata punya ikatan masa lalu yang sama, membuat penasaran tapi nyatanya malah membingungkan. Sementara Jang-Ha yang sedikit banyak terlihat masa lalu dan hubungan bersama kakak perempuannya, malah lebih banyak mengambil porsi cerita. Yang lebih banyak ditekankan pada film ini justru pada interaksi para tokohnya, diwaktu luang kita dihadirkan nuansa jenaka dan santai para pejuang milisi, hal menarik lainnya juga datang pada Hae-Cheol yang seringkali tampak memberi semangat dari sebagai dialognya yang membuat kita terhenyak dengan kata-katanya soal patriotisme, kenapa kita berperang, dan bagaimana mereka ada disini meski latar belakang para milisi bukanlah prajurit murni. Sementara Ma Byeong-Ku (Jo Woo-Jin) menjadi sidekick Hae-Cheol yang penampilanya cukup menarik dengan syal birunya, dan sedikit ada bumbu romansa Choon-Hee (Lee Jae-In) sisa penduduk desa yang dibantai dan Yukio (Kotaro Daigo) yang rada-rada mirip Dilan sebagai tawanan tentara Jepang yang berumur masih sangat muda, tapi sayang di penghujung cerita mereka pun agak menggantung. Boss villain, Jiro yang diperankan cukup baik oleh Kitamura yang diawal cukup bengis menumbal harimau tanpa ampun pun tidak terlalu kentara dalam bagian aksinya, kecuali Park Ji-Hwan yang berperan sebagai tentara berpangkat Shigeru Arayoshi yang lebih banyak memberi penonton rasa penasaran, "Ini orang kok ga mati-mati!?"

Jika berbicara segi teknis dan sinematografi, film ini juaranya. Saya menonton ini seperti tidak percaya ini bukan film fantasi, tapi ia menyajikan landscape dan panorama keindahan dari setiap gambar yang ia sajikan, pergerakan dari gambar ke gambar dengan nuansa aksi dan perang yang memuntahkan peluru, meriam dan darah. Tapi, dari sana ia memperlihatkan bentang rumput hijau, ilalang, hutan, bukitan-bukitan bahkan ketika menyusuri lereng-lereng dari atas layaknya film Peter Jackson, LOTR yang dikombinasikan dengan 'Saving Private Ryan.'nya Steven Spielberg. Tidak berlebihan, karena penyajiannya memang sebaik itu, apalagi mungkin film ini tampak berputar-putar di satu tempat, tapi ia digarap dengan memunculkan berbagai panorama perspektif yang baru dari tiap scene yang ada.

Saya tidak mengatakan The Battle: Roar to Victory sebuah mahakarya yang besar, ia punya kekurangan terutama pada alur belakang: pengenalan tokoh dan alur depan: semerawutnya tokoh baru yang terus-menerus bermunculan yang kadangkala kita heran mereka ini siapa-siapa, apalagi bagi yang buta sejarah Korea. Yang paling menghibur tentu saja aksi 'movie walkthrough' disepanjang film yang akan memperlihatkan aksi kejar-kejaran antara milisi Korea dan tentara Jepang tanpa henti. Walau rada-rada repetitif tapi sekian banyak ia memberikan letusan-letusan kebrutalan dan kegilaan yang lumayan memancing emosi dan sensasi, sehingga alurnya tetap enak diikuti.

You May Also Like

1 Comments