Twivortiare (2019) Movie Review

by - September 05, 2019



Kita sering dengar orang-orang yang menikah itu ngga selamanya bahagia, ada yang cerai dalam hitungan tahun atau mungkin bisa jadi seumur jagung, padahal pada masa pacaran itu tampaknya indah, peluk-mesra, bahagia apalagi beberapa dari mereka mungkin sudah menjalin hubungan begitu lama. Menjalin kisah hidup bersama orang lain (berumah tangga) itu faktanya ngga seromantis itu. Ibarat pernikahan itu urusannya orang dewasa, jika belum siap secara emosional, maka lebih baik introspeksi diri dulu sampai keduanya lebih dewasa, membuang ego masing-masing, saling pengertian, mengatur emosi, meskipun secara materi dan cinta mungkin sudah bukan masalah lagi. Oke, saya ga sedang memberi nasehat buat figur-figur jomblo, pacaran, PDKT ataupun yang baru sudah menikah. Tapi, inilah pesan dasar yang ingin disampaikan dalam film berjudul Twivortiare yang diadaptasi melalui novel karangan Ika Natassha berjudul sama.

Saya sebetulnya tidak mengekspetasikan apa-apa terhadap film ini, tapi setelah menontonnya, this turns out to be a romantic movie that doesn't really sell the cliché love fantasy experience. Disutradarai oleh Benni Setiawan dan ditulis naskah oleh Alim Sudio, Twivortiare menceritakan kisah metropop dua insan yang dipertemukan tidak sengaja dalam sebuah acara pesta. Beno (Reza Rahardian) adalah seorang dokter rumah sakit yang akan segera bercerai dengan istrinya Alex (Raihaanun) yang berprofesi sebagai banker. Dan dikisahkan mereka berdua hanya menikah selama 2 Tahun, bercerai, lalu mencoba menikah kembali untuk kedua kalinya. Menikah kembali?! ya kamu ga salah dengar, menikahi orang yang sama, dan saya rasa buat mereka menikah itu kok gampang banget ya. 😂 Tapi, begitulah, memang keduanya punya status sosial (orang tajir), timbulnya masalah sudah pasti bukan berasal dari materi, apalagi soal tampang dan fisik keduanya sudah oke. Yang jadi perhatian adalah sampai batas mana kemampuan mereka beradaptasi satu sama lain.

Berasal dari sebuah novel fiksi dari serangkaian cuitan rekayasa di twitter, yang saya suka dari film ini adalah pesan yang disampaikan sangat kuat. Beno dan Alex ini ibarat dua orang yang mewakili segelintir mereka tentang susahnya berjuang demi suatu hubungan yang layak, saya memahami keduanya dengan sangat detil dari masalah, latar belakang dan sifat yang kadang ego mereka yang sangat tinggi. Diawali dengan pertengkaran berujung perceraian, lalu sendirian, kesepian tapi karena hate-but-love mereka remarry. Beno adalah tipe orang yang sebetulnya a good person dan workaholic, sedangkan Alex pun kurang lebih punya sifat yang sama, tapi yang membuat mereka berbeda pun banyak, mereka kadang sering bertengkar hanya karena masalah sepele, seperti Alex yang sering terlambat dan lupa, selalu gampang emosional, berucap cerai berulang kali, dan kabur dari rumah pergi ke apartemennya, Beno pun seperti itu, terlampau sibuk dengan pekerjaannya, kurang punya quality time, yang kadang suka berucap ketus dan kurang berkomunikasi dengan Alex.

Pernikahan pertama memang tidak terlalu kentara diceritakan pada babak awal yang muncul secara singkat yang nantinya akan jadi perpanjangan dari pernikahan kedua mereka, lalu melompat langsung ke babak kedua paska perceraian, dan babak ketiga pernikahan ulang yang paling mendominasi alur cerita. Di babak kedua, kita melihat proses dimana keduanya telah berpisah menyimpan benci tapi saling rindu, pada tahap ini entah kenapa proses kisahnya agak membosankan, saya memahami orang jatuh cinta, ketika berpisah pasti sulit untuk move on, tapi bagaimana caranya, atau dalam situasi apa yang membuat mereka kok bisa ingin bersatu kembali setelah beberapa tahun berpisah, saya berpikir mungkin ya ini karena masalah kuatnya cinta diantara mereka, tapi ini bagai memaksa cinta yang sudah redup dipaksa kembali bersinar. Ditambah penyuntingannya amat sangat berantakan dan kasar, dimana Benni berusaha mencampur momen masa lalu, sehingga kita bisa melihat sekelibat seberapa besar hubungan mereka di masa itu, tapi ini terlalu kacau untuk dipahami dan akhirnya menggagalkan saya pada tahap alasan kuat mengapa mereka mencoba lagi. Saya tahu ada momen dimana Beno yang ingin memulai hubungan itu kembali, alasan yang sama pun timbul dari benak Alex yang notabene paling memperlihatkan rasa paling menyesalnya ia pernah membiarkan Beno menyentuh tangannya dan berkenalan dengannya. Tapi, Saya tidak tahu apa sangking bucin-nya mereka, jadi mau tak mau mereka menikah lagi segampang itu hanya karena alasan cinta? Hey, dude, mereka sudah resmi berpisah, bahkan untuk menikah lagi disaat melihat mereka bertengkar, membenci seperti kucing-anjing, saya butuh alasan yang lebih kuat dari sekedar "cinta".

Bahkan ada situasi dimana muncul Denny, orang ketiga yang kerap menaruh bunga diatas meja Alex, mencintanya sebagaimana ia ingin segera melamar dirinya. Tapi, sekali lagi entah mengapa, kemunculannya hanya sebegitu doank, ia muncul, mendekati, melamar, lalu menghilang. Ia bagaikan sesuatu yang muncul dengan balutan konflik baru tapi terlalu tanggung, dia sama sekali tidak memberi impact dan akhirnya tiada konflik apapun kecuali sedikit obrolan didalam mobil sebagai konklusinya, Denny jadi sekedar Denny di kehidupan Alex, dan bukan sebuah perspektif baru Alex buat emosinya. Malah satu-satunya yang sedikit mempengaruhi adalah temannya Wina (Anggika Bolsterli) yang selalu menjadi teman (BFF) curhat Alex selama ini. Saya tahu dia cuman teman curhat yang sangat scooby-doo, tapi malah ia yang paling konsisten dalam membangunkan Alex untuk memahami dirinya sendiri.

Sekali lagi cinta, cinta yang membuat mereka lagi-lagi bersama. Tapi, situasi tetap saja tidak berubah, mereka masih mempertengkarkan hal yang sama, sifat yang sama, ego yang sama, dan pernikahan yang ujung-ujungnya tidak ada perubahan sama sekali. Babak ketiga adalah yang paling menarik, tahap ini saya melihat potensi dari naskah Alim Sudio, karena dari setiap dialog antara Beno dan Alex begitu hidup dan terasa lebih ada ruang buat mereka membentuk chemistry. Saya melihat setiap usaha dari cara mereka untuk saling melengkapi dan mencoba bertahan dalam ruang paling menyakitkan terasa emosional, ada keluarga, teman dan orang-orang yang membantu mereka, tapi tentu saja yang bisa menolong mereka adalah diri mereka sendiri. bahkan tidak sedikit gangguan-gangguan lain dari luar atmosfer hubungan mereka, termasuk Adrian, seseorang yang kemunculannya cukup mendendang goyangkan hati dan pikiran Alex. Pria menarik, karismatik, dan yang paling saya suka aktingnya disini, sehingga saya pikir Adrian akan menjadi sesuatu yang berbeda, tapi sekali lagi, ia hadir hanya sekedar hadir dalam ruang hidup Alex, yang lagi-lagi tidak berdampak apa-apa sama seperti Denny, lempem.

Twivortiare, sebetulnya mencoba menarik semua potensi didalamnya, film yang selama 3 Tahun digarap ini, tapi berakhir kurang maksimal, ia bahkan punya komedi, tidak sampai konyol namun tetap lucu untuk menghangatkan suasana yang kadang berada dalam situasi sulit dan semerawut (walau kadang ada beberapa cringe). Disisi lain pun terkait karakter dan cerita yang sedikit banyak sudah saya sampaikan, beberapa terasa generik dan serba tanggung, seolah film ini ragu untuk mengeksekusi berbagai hal yang jikalau ia berani mengambil resiko, pasti akan terasa lebih berbeda. Satu-satunya kesan yang saya dapat adalah chemistry Reza dan Raihaanun, ia punya ikatan emosional dari caranya mereka bertengkar, tapi seolah cinta mereka memang tidak terasa bohongan, cara mereka menatap satu sama lain, cara mereka bertahan dalam keegoisan dan sifat kekanak-kanakkan, dan bahkan saya bisa mempercayai bahwa tidak ada yang benar dan salah, mereka hanya kurang saling memahami, menyebalkan tapi dapat dimaklumi dan tentu saja saya jadi sadar memahami pasangan itu tidak semudah yang dikatakan. Pesan moral yang disampaikan soal pernikahan dan hidup berumah tangga itu tersampaikan dengan sangat sempurna. Saya pikir, tidak ada cerita yang sekuat itu menyampaikan isu soal ini, dimana semua terasa relatable untuk dipelajari jika ia pun memuat cerita yang seharusnya lebih baik dari ini.

You May Also Like

1 Comments