Aquaman (2018) Movie Review

by - Desember 19, 2018



Jika dipikir-pikir Aquman tak ayal seperti film action fantasy konvensional yang terikat dengan kisahnya yang standard dengen element visual bawah laut yang megah layaknya Percy Jackson. Disutradarai oleh James Wan yang lebih dikenal menangani film-film horror semacam Saw dan The Conjuring, lalu merambah ke action theme yang telah mensukseskan salah satu franchise besar Furious 7. Kini DC Comics mempercayai Wan untuk menangani salah satu karakternya yang populer, Aquaman aka Arthur (Jason Momoa). Meski saya sebut Aquaman ini film dengan kisah standard dan konvensional, tapi bukan juga deretan film buruk DC dalam universe yang coba dibangun. Ia memang menyajikan spirit petualangan penuh aksi memukau dan visual dunia bawah laut dan kota atlantis yang megah.

Diawali dengan kisah pertemuan orang tua Arthur, ibunya Atlanna (Nicole Kidman) seorang putri Atlantis yang berusaha kabur dari pernikahan orang tuanya dan Tom Curry (Temuera Morrison) penjaga mercusuar yang tak sengaja melihatnya dan mencoba menolongnya di tepi pantai. Pertemuan mereka menjadi benih cinta dan melahirkan seorang anak bernama Arthur. Ketika dewasa Arthur hanya tinggal bersama ayahnya saat ibunya Atlanna harus kembali ke Atlantis saat ia kecil dan tak pernah melihatnya lagi. Di lain pihak, Atlantis kini dikuasai oleh adik tiri Arthur (ibu yang sama tapi ayah berbeda) bernama King Orm (Patrick Wilson) yang berniat melawan manusia dipermukaan karena dianggap sebagai sebuah ancaman bagi dunia bawah laut. Mera (Amber Heard), anak dari King Nereus (Dolph Lundgren) sekutu sekaligus tunangan King Orm berupaya mencegah niat buruk Orm dengan membujuk Arthur merebut kembali tahta Atlantis dari tangannya. Agar upaya Arthur dan Mera berhasil mereka harus mencari trisula Atlan yang digunakan raja pertama Atlantis agar ia bisa menantang Orm dan merebut takhta.

Beberapa tahun terakhir mungkin beberapa orang kompak bahwa salah satu film DC Comics yang selamat dari banjir kritikan pedas adalah Wonder Woman. Film Wonder Woman memang tipikal film dengan cerita yang sebetulnya sangat sederhana, tapi saya menyukai filmnya karena punya spirit feminisme dan kemanusiaan yang kuat dalam balutan kisah mitologi. Dan menyangkut beberapa element termasuk komedi dan naskah pun cukup berhasil. James Wan dipercayai merangkul Aquaman sepertinya ingin membawa film dengan tampilan keren dengan atraksi visual dan aksi. Dan bukan cuman itu, Wan beserta tim penulis naskah David Leslie Johnson-McGoldrick dan Will Beall menyuntikkan setiap element agar filmnya tidak hanya renyah dimata tetapi renyah pula dihati. Wan mencoba memasukkan semuanya kedalam film seperti tak luput membawa isu lingkungan alam dan pula sentuhan emosional tentang cinta dan keluarga. Tapi, dalam eksekusi hanya sedikit yang bisa terasa, selebihnya hanya cerita linear dan biasa tentang petualangan mencari trisula, perebutan takhta kekuasaan layaknya Black Phanter, klimaks perang layaknya LOTR versi bawah laut dan berbagai suntikan aksi dan cerita yang sebetulnya jika ditilik tampak familiar. Dan kesan familiar inilah yang mungkin menyebabkan kisahnya sendiri terjebak oleh naskah yang enggan keluar dari kebiasaan.

Ada hal yang saya suka dan tidak suka di film ini. Terutama imbas villain yang lagi-lagi seperti kebanyakan villain superhero lainnya, yaitu sifat megalomania yang tidak memiliki kompleksitas dan kurang berkesan. Komedinya pun terasa hit & miss, dan beberapa malah terdengar seperti dialog biasa. Hal-hal yang saya suka tentu masih ada, ditangan Wan aksinya tetap memancing adrenalin, bumbu Furious 7 masih terasa melekat dengan aksi yang kebanyakan memang penuh chase scences, pertama adegan yang sudah ditampilkan dalam trailernya yang berdurasi panjang (promosi trailer yang terlalu berlebihan dan sia-sia) dan kedua kejar-kejaran dengan The Trench, salah satu best scene menurut saya. Aksi dan visual berpadu dalam gaya sinematik khas film action fantasy yang menyenangkan. Tapi, memang meski bermain di ranah visual, terkadang Wan kurang menyajikannya secara lebih berwarna dan indah, beberapa tone kadang malah terasa gelap, kaku dan kurang bernuansa dimana sebenarnya banyak yang bisa di eksplorasi dalam tatanan visual laut dan kota Atlantis yang seringkali diceritakan sebagai kota legenda paling indah. Hal yang cukup saya suka adalah kostumnya, beberapa kostum berat dan nyeleneh tapi membuat filmnya tampil agak berbeda, seperti kostum yang dipakai oleh para tentara Atlantis yang kesannya mirip kostum di game Halo, pakaian ketat dan blinking dipakai Mera dan Arthur yang awalnya kelihatan aneh tapi saya pikir kostumnya bagus dan tidak terlalu berlebihan. Dan ada Willem Dafoe disini berperan sebagai penasehat raja Atlantis yang loyal bernama Vulko, entah kenapa di film ini dandanannya tidak segarang film-film lainnya dan tampak lucu dengan gaya rambutnya yang klimis itu.

You May Also Like

0 Comments