Atomic Blonde (2017) Movie Review

by - Agustus 16, 2017



Banyak orang mengatakan Atomic Blonde itu female-John Wick. Mungkin memang bisa dikatakan demikian karena film ini disutradarai langsung oleh David Leitch, salah satu yang menangani John Wick pertama setelah pecah kongsi dengan Chad Stahelski yang bersolo karir dengan "John Wick: Chapter 2". Film ini diadaptasi dari novel graphic karya penulis Antony Johnston dan ilustratornya Sam Hart, berjudul "The Coldest City", diterbitkan tahun 2012 lalu. Tapi buat saya pribadi Atomic Blonde justru lebih kental akan aroma espionage ketimbang berusaha menjadi film action thriller dengan terjangan peluru jarak dekat yang terus-menerus memompa jantungmu hingga akhir dengan ketegangan adrenalin tiada henti.

Pada tahun 1989, menceritakan seorang agen mata-mata rahasia MI6 bernama Lorraine Broughton (Charlize Theron) yang ditugaskan oleh pemimpinnya Eric Gray (Toby Jones) dan anggota CIA Emmett Kurzfeld (John Goodman) pergi ke Berlin yang kala itu sedang dalam situasi tak stabil karena isu pembatasan tembok Berlin antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Sebagai permata berharga bagi agensi Lorraine dibantu kontak personal David Percival (James McAvoy) melacak keberadaan "List", yang berisi informasi  dan daftar agen lapangan Soviet yang aktif di Eropa Barat. Kejadian ini bermula saat James Gasciogne (Sam Hargrave) salah satu agen MI6 dibunuh oleh seseorang bernama Yuri Bakhtin (Johannes Johannesson), hingga pembunuhan ini menyeret nama Conrad Satchel salah satu agen yang mengkhianati Gasciogne, yang menjual informasi rahasia tersebut ke Soviet.


Atomic Blonde jauh lebih kalem, tenang dan dingin, kalau saya bandingkan film ini jauh lebih mirip dengan teknis dan style ala film "Nicolas Winding Refn" seperti "Drive" dan "Only God Forgives". Film ini memang punya muatan stylish yang terlihat dari pesona karismatik karakter utamanya Theron, Theron is amazing badass and sensual woman! Yups, Theron memang sudah sering menggeluti dunia akting untuk genre action-pack, dari yang paling awal saya rasakan saat ia berakting sampingan di "The Italian Job" dan pemeran utama di "Aeon Flux" meski ini adalah film dengan kualitas buruk untuk job-nya. Mungkin satu-satunya akting Theron yang fantastis dan maskulin terlihat saat ia berperan sebagai Furiosa di film "Mad Max: Fury Road", tak salah memang ke-badass-annya melebihi aktor utamanya Tom Hardy. Kemudian beraksi menjadi antagonis utama di film "The Fate of the Furious", meski aksinya masih kurang greget. Dan akhirnya Atomic Blonde muncul sebagai titik hot sang mantan model dari Afrika Selatan ini untuk menjejali dirinya dalam aksi yang lebih menantang, lebih brutal, dan lebih gila hingga tentu saja jualan maskulinitas bercampur erotisme sensual menjadi daya pikat tak terelakkan dari Theron.


Lorraine dengan busananya yang cantik menggunakan mantel tebal, sepatu hak hitam, dan black glassess selalu berusaha tampil elegant meski kala itu ia mondar-mandir di tengah kota Berlin yang sedang kacau. Meski terbilang wanita, tapi siapa sangka Lorraine hampir sama dengan "Natasha Romanoff", tiada yang namanya woman vs woman, semua yang dihadapinya adalah para pria dewasa. Meski memang apa yang dihadapinya tidak sebanyak dan se-massive John Wick, tapi aksinya tidak kalah gilanya dengan Iko Uwais di film "The Raid: Berandal" atau "Headshot". Kebanyakan memang aksi Theron ada pada koreografi fighting scene dan jarang menggunakan straight gunfire, apalagi setiap adegan ia lakukan tanpa stunt-woman. Semua teknik bag-big-bug Theron lakukan sendirian hingga percaya tak percaya dua gigi Theron mengalami crack saat syuting sedang berlangsung. Darah, muka bonyok, hingga permainan tali selang dan benda-benda tajam yang menusuk dan merobek daging dan kulit, semakin membuat brutalism terasa ngilu disekujur tubuh. Dan hebatnya lagi Theron kerap membanting dan men-"smack down" laki-laki dewasa yang ukurannya justru rata-rata jauh diatasnya. Namun meski terlihat garang dan sangat kuat, Leitch masih meletakkan kemanusiawian dan limit, kelelahan dan tubuh sempoyongan masih terasa dari nafas panjangnya yang keluar dari mulutnya, hingga beberapa kalipun ia menghadapi musuh ada saatnya Lorraine jatuh dan bangkit berkali-kali, hingga mentolerir diri bahwa Lorraine still weakness and vulnurable as a woman strike.

Dibalik adrenalin dan maskulinitas yang dihadirkan Theron sepanjang film, namun naughty side masih coba dipancarkan Leitch melalui lekuk tubuh sensual Theron. Ditambah kedatangan wanita misterius Delphine Lasalle (Sofia Boutella), hingga special relationship keduanya dihamparkan melalui cahaya lampu neon yang menggelora dan cantik semakin menghembuskan eksploitasi erotisme dan lesbian dalam film ini dengan sedikit lebih vulgar but brilliant. David Percival yang diperankan oleh James McAvoy pun sedikit tampil mengejutkan, penampilan wild ala Brad Pitt di film "Fight Club" membuat perannya disini semakin misterius dan apapun yang ia lakukan Percival adalah satu-satunya orang yang tidak beres dan perilakunya mencerminkan kemunafikan.


Tapi dibalik kesemua itu Atomic Blonde punya satu kelemahan dibagian naskah cerita, Leitch dan penulisnya Kurt Johnstad ("300" and "300: Rise of an Empire") kerap kali keteteran dalam mengembangkan intensitas dan substansi spionase cerita. Setiap kali saya mencoba untuk menikmati perkembangan cerita hingga menghubungkan setiap isu yang ada, hilangnya arah dan kesan tarik ulur membuahkan hasil cerita yang kurang seru hingga akhirnya saya hanya mengikuti arus aliran. Dan meski begitu Leitch cukup konsisten memberikan kenikmatan menonton dari kesemua daya tarik yang lumayan oke dari sinematografi ala John Wick dari Jonathan Sela, dan composer music yang juga sama di film tersebut, beating and funky dari Tyler Bates

Well, Atomic Blonde cukup memuaskan, terutama totalitas akting Charlize Theron jauh lebih terasa baddass dari film-filmnya yang terdahulu, meski untuk action-pack masih prefer pada John Wick karena jauh lebih explosive dan rapid. Dan lemahnya cerita Atomic syukurnya masih dapat ditutupi dengan tampilan film yang cukup artsy dan tentu saja jualan erotisme dan brutalisme yang tercampur cukup mendebarkan emosi kaum adam di film ini.

You May Also Like

0 Comments