REVIEW FILM: Wonder Woman (2017)

by - Juni 07, 2017



Wah! ga nyangka sudah lama sekali saya tidak membuat artikel dan review film setelah 3 bulan rehat, padahal maunya cuman sebentar aja tapi rupanya semakin lama saya istirahat malah membuat saya semakin berat dan malas menulis blog lagi. Dan akhirnya blog ini nganggur selama 3 bulan lebih. Tapi at last, saya niatkan diri kembali membuat artikel blog film lagi meski nantinya tulisan ga sebagus dulu karena sudah lama tidak melatih menulis. Nah, sementara ini saya bukan mau curhat tentang masalah itu dan lupakan sejenak, tapi disini saya mencoba membuka kembali review film yang sudah lama terbengkalai dan tak terurus hingga akhirnya ada satu review film yang mungkin cukup menarik dan membuat saya tertarik kembali untuk memberikan ulasan terhadap film, ya film apalagi selain film yang pasti membuat interest bagi penduduk laki-laki terutama saya, haha... ya, tidak lain adalah Wonder Woman yang diperankan oleh seorang artis cantik dan mantan model dari Israel, Gal Gadot.

Melihat track record DCEU (DC Extended Universe) yang sering gagal melampaui ekspetasi dan rasa puas fans dan penonton hingga berujung kegagalan BvS dan Suicide Squad pada masa itu, kecuali The Dark Knight trilogi nya Nolan. Akhirnya kebuntuan proyek DC dibayar lunas dan diselamatkan oleh figur wanita. Tidak tanggung-tanggung bahwa yang menyelamatkannya bukan cuman satu wanita tapi dua, pertama dibalik layar, sang sutradara Patty Jenkins dan didepan layar, sang pemeran utama Gal Gadot. Entah apa yang dipikirkan oleh DC sehingga mau mendapuk Jenkins yang notabene lebih mengarah pada genre ciri khas-nya yaitu drama seperti "Monster" dan menangani beberapa episode drama TV Series. Tapi, nyatanya keberuntungan berpihak pada film ini setelah 141 menit saya akui tak ada rasa bosan dan saya pun sangat terhibur dengan cerita solid dengan beberapa bumbu komedi di dalamnya.

Ya, meski kesolidan cerita Wonder Woman sendiri cukup tersandung oleh beberapa mekanisme cerita yang terbilang biasa saja, ditambah ketidakmampuan Patty menangani masalah teknis yang cukup serius kurang membangun ketegangan dan daya tarik efek visual dan CGI dengan lebih seru dan menantang layaknya Zack Synder atau Michael Bay. Tapi, justru sebaliknya apa yang tidak bisa dibangun oleh mereka berdua bisa ditangani dengan cara yang jauh lebih baik oleh Jenkins yang mampu mengeluarkan seluruh daya tarik seorang Gal Gadot yang terbungkus menjadi seorang wanita feminis tapi perkasa sang 'princess of the Amazons', Wonder Woman aka Diana dari keseluruhan eksistensinya yang tidak sekedar menjual tubuh sensual dan kecantikan. Dengan tema yang sudah pasti bisa berujung pada cerita maskulin ini mampu di pukul sama rata bagaimana seorang wanita mampu eksis ditengah-tengah dunia keras dan kejamnya pria.

Ketangguhan seorang Diana terpancar karena aura meyakinkan dari seorang Gal Gadot yang buat saya pribadi dia betul-betul pantas memerankannya. Disini Jenkins meyakinkan bahwa superhero bukan sekedar kuat atau mampu mengalahkan musuh atau orang jahat sekali pukul, tapi bagaimana cerita mengalir menggunakan hati dan emosi seorang Diana, cerita bergulir dari ketangguhan dan keberanian yang dimiliki seorang Wonder Woman sejatinya adalah orang yang tidak memahami dunia luar, eksis dalam keterasingan dan buta akan dunia, tapi mampu mempengaruhi dengan cara yang sangat aneh namun beautifully enchanting. Dengan latar perang dunia II, beralaskan dunia penuh penderitaan dan kekelaman Wonder Woman bukan cuman memproses dirinya menjadi lebih kuat secara fisik dengan daya tahan tubuh bak Superwoman yang bahkan dijuluki dengan julukan seram "godkiller", tapi juga kuat secara personal emotion yang dipadukan keberanian, kepercayaan dan kelembutan dalam dirinya.

Another charming, selain dari daya tarik kecantikan dan pesona Gal Gadot tidak lupa bahwa setiap superhero selalu didampingi oleh love interest-nya sendiri yang diperankan oleh cukup apik dan sama-sama mempesona yang selalu berada disamping Diana, Chris Pine aka Steve Trevor. Meski tampang Chris Pine yang lebih cocok sebagai playboy urakan nan tampan, aktingnya disini terasa canggung dan konyol. Harus saya akui sendiri sebelum awalnya menonton film ini duet antara Gadot dan Pine terasa menjanggal antara chemistry mereka satu sama lain, hingga akhirnya ekspetasi itu terpatahkan dengan sendirinya. Mereka ternyata lebih dari sekedar hubungan romantis nan klise, mereka muncul bagaikan dua tonggak berdirinya cerita Wonder Woman. Dari sekedar pertemuan dan peristiwa tak sengaja, lalu awkward moment, percakapan lucu dan nakal, hingga bentrokan kepercayaan yang bersifat dogmatis antara mereka berdua.

Well, setiap adegan dan cerita mungkin terasa biasa saja bahkan nuansanya mungkin sudah predictable bagi beberapa penonton (bahkan villain sendiri terbilang nothing special). Dengan asal muasal cerita yang berasal dari karangan Zack Synder sendiri beserta dua partnernya Allan Heinberg dan Jason Fuchs, tentu saja saya masih tetap kurang menyukai apa yang dihasilkan oleh cerita ciri khas miliknya itu, sehingga Patty Jenkins sendiri yang awam dengan film semacam ini saya sangat memberikan pujian setinggi langit pada dirinya dengan kemampuannya menangani dan menterjemahkan cerita standard Synder menjadi cerita yang solid dan penuh dengan moralitas kemanusiaan. Dan juga meski diperankan oleh seorang wanita sebagai figur utama cerita tapi film ini bukan tentang feminisme atau semacamnya, tapi menyikapi stereotipe mungkin masih menjadi udara segar bahwa gender wanita bisa jauh lebih hebat dan jauh lebih memikat dari superhero pria pada umumnya, dan Wonder Woman mengobati luka hati fanboys DC dan audience lainnya.

You May Also Like

0 Comments