REVIEW FILM: Force Majeure (2014)

by - Desember 30, 2016



Apa sih yang membuat sebuah salju longsor menjadi sebuah ide kreatif nan sensitif, yang inspirasinya didapat dari sebuah cuplikan video di youtube, kemudian menjadi sebuah konflik keluarga yang emosional dan uncomfortable? Seperti yang diakui oleh sutradara Ruben Östlund yang telah membawa film ini dan juga negara Swedia menjadi salah satu wakil pada ajang film terbesar di dunia, pemilihan Oscar pada nominasi Best Foreign Language. Yups, tentunya salah satu yang membuat Force Majeure (Turist) menjadi menarik adalah bagaimana sebuah peristiwa mengerikan tak terduga seperti salju longsor bisa menjadi sebuah tragedi yang bisa meretakkan sebuah hubungan.

Bercerita tentang sebuah keluarga yang sedang menikmati liburan mereka di pegunungan Alpen, diantaranya Tomas (Johannes Kuhnke), istrinya Ebba (Lisa Loven Kongsli), dan kedua anak mereka Vera (Clara Wettergren) dan Harry (Vincent Wettergren). Tentu, yang namanya liburan bersama keluarga adalah sebuah tradisi wajib yang menyenangkan diluar aktivitas hidup yang melelahkan. Tomas dan keluarga berencana menginap disana selama lima hari lamanya. Hingga hari kedua hal tak terduga terjadi, saat mereka bersantai dan menikmati acara makan siang di sebuah restoran, tiba-tiba terjadi peristiwa salju longsor dari kejauhan yang nampaknya tak begitu mengkhawatirkan, hingga lama-kelamaan salju longsor tersebut mendekati tempat mereka dan membuat semua orang ketakutan dan mengalami kepanikan, sampai akhirnya debu salju tersebut menutupi seluruh area restoran. Beruntungnya tragedi tersebut tidak membahayakan nyawa siapapun, namun  cukup menimbulkan 'shock' bagi Tomas dan keluarganya.

Pada dasarnya topik masalah utama yang ditekankan oleh Ruben Östlund adalah, tindakan yang dilakukan Tomas saat terjadinya salju longsor. Tindakkan yang berupa insting untuk menyelamatkan diri sendiri. Persoalan yang membawa ketidakterimaan Ebba yang kecewa dengan tindakan Tomas, yang ternyata rela mengorbankan keluarganya dan hanya memikirkan nyawanya sendiri. Hingga kejadian tersebut berakibat pada hubungan mereka yang terancam retak. Tidak hanya itu, bahkan ceritanya pun sedikit sensitif dan tajam, terutama ada sebuah singgungan antara pola pikir wanita dan pola pikir pria. Bagaimana sebuah kejadian luar biasa, memunculkan intuisi berbeda dari kedua pola pikir tersebut.

Sangat sentimentil dan betul-betul tajam bagaimana hal seperti ini pun bisa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan jujur saya ingin sedikit bercerita tentang pengalaman pribadi seseorang yang saya kenal. Ia menceritakan kepada saya bahwa suatu malam seorang wanita terbangun dan tersadar bahwa terjadi gempa di daerahnya, sehingga wanita tersebut panik dan segera keluar dari rumahnya. Tapi, ternyata ia baru sadar bahwa dirinya lupa membangunkan keluarganya sendiri yang tengah itu sedang tertidur lelap didalam rumah ketika gempa terjadi, sementara ia sendirian saja menyelamatkan dirinya. Dari cerita yang saya dapat tersebut, itupun menjadi sebuah cerita inspiratif yang juga sukar untuk dijelaskan. Bahkan Force Majeure pun kesulitan menerangkan bagaimana intuisi dan refleks bekerja dalam keadaan terdesak semacam itu.

Nah, konteks cerita tersebut sebenarnya bisa menarik dan menakjubkan ketika Ruben mampu mengolah perpaduan taste yang cukup tenang sekaligus terasa sangat mengganggu. Bahkan ketika gubahan scoring music, Antonio Vivaldi's Summer Concerto dari instrumen accordion yang didapat Ruben dalam salah satu video seorang anak 12 Tahun, menjadi sebuah alunan musik yang uncomfortable. Ada situasi yang Ruben ingin jelaskan dari sebuah ketidaktenangan dan ketidaknyamanan yang terjadi pada hubungan keluarga ini. Ia berhasil memberikan efek tersebut, ketika sedikit demi sedikit Ruben menyertakan juga kisah misterius, suram, beserta komedinya yang aneh. Nyatanya memang kisahnya sendiri sangatlah sederhana, tapi apa yang disampaikan betul-betul tajam dan cukup akurat. Meski bagian akhirnya Saya sudah mengira bakal seperti apa, tapi sebetulnya menjadi konklusi yang cukup memberi keseimbangan konflik yang ada.

Selain itu, bagian sinematografi yang bekerja menghamparkan keindahan pegunungan Alpen yang dingin beserta salju putihnya, menangkap setiap momen arthouse dari ketenangan, rasa dingin dan suara-suara yang ditimbulkan ditempat tersebut menjadi sebuah arena kisah yang aneh dan mengganggu. Meski, Force Majeure bukanlah sebuah kisah yang enak untuk ditonton, sebaliknya film ini memberi sebuah cerita yang suram, tajam, dan uncomfortable. Tapi, drama komedi gelap ini memberi sentuhan cerita yang betul-betul tajam dan mengoyak-ngoyak pikiran kita, enggan memberi kesenangan, tapi terus-menerus memberikan kita emosi kepanikan yang nyata dan konflik hubungan keluarga yang sentimentil, dari yang awalnya baik-baik saja berubah menjadi hubungan yang tidak bahagia. Membuatnya lebih menarik dari sebuah kesenangan yang lebih nyata.

You May Also Like

0 Comments