REVIEW FILM: Bridget Jones: The Edge of Reason (2004)

by - Desember 31, 2016



Seperti ingin mengusung kembali kesuksesan film pertamanya Bridget Jones's Diary, 3 Tahun kemudian kisah rom-com wanita 'single' alias 'jomblo' alias 'jones' bernama Bridget Jones ini kembali dilanjutkan. Tentunya, tetap mengikuti kisah novel dari penulis Helen Fieldeng, yang berjudul Bridget Jones: The Edge of Reason. Dengan menggaet sutradara yang lebih segar, Beeban Kidron (Antonia & Jane, To Wong Foo, Thanks for Everything! Julie Newmar) tentu saja penggemar tetap mengharapkan sesuatu yang tetap semenarik dan selucu film pertamanya. Well, dengan tetap menggunakan sutradara wanita, demi memberikan esensi lebih dalam dari karakter seorang wanita. Sekuel Bridget Jones ini mengalami sedikit perubahan baik kisah maupun kualitasnya sendiri, meski perubahan tersebut tidak mendekat pada hal yang positif.

Hal yang betul-betul terasa adalah perubahan hidup sang karakter utama, Bridget Jones (Renée Zellweger) yang sekarang telah menemui pasangan hidupnya, tentu saja si pengacara sukses Mark Darcy (Colin Firth). Terpancar kebahagiaan yang dirasakan Bridget ketika ia benar-benar merasakan cinta dan obsesinya pada Mark. Apalagi Mark adalah kriteria pilihannya selama ini, tidak merokok, bukan alkoholik, tampan, sukses, setia dan tidak cabul. Dengan turunnya berat badan, bahkan dengan pekerjaan baru Bridget sebagai reporter acara tv, semakin meyakinkan perubahan besar jalan hidupnya saat ini. Tapi, tidak ada yang namanya kehidupan sempurna dan penuh kebahagiaan. Ketika kerikil-kerikil hubungan antara Bridget dan Mark pun akhirnya mengalami masalah seperti ketidaksamaan visi dan misi keduanya, ditambah kehadiran sekretaris cantik Rebecca (Jacinda Barrett) yang membuat Bridget curiga bahwa Mark diam-diam telah berselingkuh. Bahkan saat sang pria yang telah menyakiti hatinya, Daniel Cleaver (Hugh Grant) yang juga bekerja sebagai reporter tv, kembali mendekati dan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Bridget, yang merasa bersalah atas masa lalu dan mengakui kini ia telah berubah.

Saya sungguh sangat kecewa dengan sutradara Beeban Kidron yang sepertinya gagal memahami dan mengenal baik-baik karakter yang ada pada film ini, terutama karakter Bridget Jones sendiri. Saya seperti kehilangan karakter loveable yang ada di diri Renée Zellweger yang sebetulnya aktingnya tetap konsisten dan konyol, tapi Kidron menghilangkan rasa cinta saya juga para penggemar film ini. Sejak awal kehadiran Bridget, Kidron seperti tak tahu cara membuat tokoh Bridget yang 'Memalukan', menjadi 'Dipermalukan'. Kehadiran begitu banyak slapstick bodoh membuat saya merasa, sejak awal hingga akhir Kidron yang berusaha menggambarkan karakter Bridget yang absurd, unlucky dan embarrasing justru menjadi tokoh yang betul-betul over humble. Membuat apa yang Sharon Maguire perlakukan pada Bridget Jones di film pertamanya masih termaafkan dan tepat sasaran.

Kemudian konflik yang dihadirkan pada Bridget dan Mark terasa corny, ada konflik-konflik yang terasa gagal di eksekusi. Ada ketidakjelasan dan ambiguitas yang membuat penonton merasa kurang paham dan kurang melekat pada masalah yang timbul. Dan juga ada jejak-jejak film pertamanya yang justru terasa seperti mengulang-ulang lagi adegan yang ada di prequelnya. Saat kembali menempelkan Hugh Grant sebagai pria brengsek, seolah hubungan mereka bertiga kembali ke titik awal, tanpa adanya sentuhan yang baru yang lebih berwarna dari hubungan mereka bertiga. Apalagi adegan Hugh dan Colin yang kembali berkelahi terlihat konyol dan muluk, membuat konflik romantisme mereka jatuh pada cerita klise dan mediocre .

Well, sudah sewajarnya Bridget Jones: The Edge of Reason sebagai film yang amat mudah dilupakan dan kesuksesan film pertamanya tidak bisa menjamin keberhasilan yang sama. Ditengarai penyakit utamanya adalah ketidakmampuan sutradara barunya Beeban Kidron, menampilkan kesan komedi seksi dan witty Bridget Jones, menjadi setumpuk pembullian tokoh yang dipenuhi dengan slapstick bodoh yang berlebihan. Ditambah kisah komedi percintaan yang tidak tepat sasaran dan terkesan corny, menyebabkan tumpulnya sisi romantisme yang diangkat dari hubungan Bridget dan Mark beserta dilema hidupnya. Satu-satunya yang saya anggap baru hanyalah pemandangan dan sinematis Kidron yang lebih luas dan lebih menjangkau keindahan mata, dibalik wajah cantik dan tubuh montok Bridget, apalagi arena permainannya tidak hanya di kota London, melainkan  merambah ke negara Thailand.

You May Also Like

0 Comments