REVIEW FILM: The Finest Hours (2016)

by - Januari 02, 2017



Kisah heroik dan kepahlawanan tidak selalu terjadi dalam medan peperangan seperti di PD1 maupun PD2. Bahkan ruang lingkup kecil seperti kisah penyelamatan dan keberanian para coast guard yang telah berjasa menyelamatkan 30 nyawa awak kapal tanker minyak SS Pendleton yang tersesat di tengah laut, bersamaan dengan badai dan gelombang mengerikan yang telah membuat kapal yang mereka tumpangi terbelah menjadi dua yang terjadi di lepas Pantai Cape Cod, New England. Menjadi sejarah besar sebagai kisah penyelamatan paling hebat dan berani yang terjadi pada tahun 1952. Hingga akhirnya keempat penyelamat itu mendapatkan sebuah medali emas kehormatan, sebagai jasa atas banyaknya nyawa terselamatkan dan juga keberanian mereka dalam menembus medan berbahaya dengan menggunakan perahu sekoci kecil yang bahkan bisa memutus nyawa mereka sendiri.

Cerita film ini akan berfokus pada dua lokasi, pertama menyimak kehidupan sang tokoh heroik Bernie Webber (Chris Pine), seorang coast guard yang canggung dan taat pada peraturan. Saat itu Bernie tengah mempersiapkan rencana pernikahannya bersama kekasih tercintanya, Miriam (Holliday Grainger). Tapi sayangnya, sebelum momen bahagia tersebut terlaksana, sang komandan Daniel Cluff (Eric Bana) menugaskan Bernie beserta kru lain untuk melakukan penyelamatan berbahaya yang mungkin akan menghilangkan nyawanya. Bersama dengan rekannya Richard Livesey (Ben Foster), Andy Fitzgerald (Kyle Gallner), and Ervin Maske (John Magaro), mau tidak mau mereka melakukan tugas berat tersebut dengan sebuah sekoci kecil melawan arus ombak yang begitu mematikan. Di lokasi lain, dalam kapal tanker, para awak yang dipimpin oleh seorang kepala mekanik, Ray Sybert (Casey Affleck) harus menangani kemelut serta perpecahan antara para awak. Dan juga memastikan keselamatan mereka dan menemukan daratan.

The Finest Hours adalah sebuah pengalaman menonton rescue-survival yang berlangsung selama 117 menit yang terasa sangat membosankan. Craig Gillespie yang mengambil kisah nyatanya dari buku Casey Sherman dan Michael J. Tougias sebagai pedoman tidak mampu lebih emosional dan menegangkan. Seluruh visual efek dari atmosfer, badai, hujan, gemuruh, serta gelombang-gelombang besar yang menghantam dan efek CGI kapal yang terbelah  sepanjang film ini terasa begitu sia-sia. Tak ada sesuatu yang bisa diharapkan mendongkrak ketegangan intens. Justru apa yang didapat adalah sebuah visual tersebut yang terasa gelap, suram, dan blank.

Padahal Gillespie punya dua momen bagus yang dapat diisi dengan cerita yang lebih banyak, antara sebuah kisah survival para awak di kapal tanker, serta kisah penyelamatan heroik yang menegangkan. Tapi, sayangnya dengan alur yang berjalan lambat, serta mencoba-coba menstimulasi ketegangan dari goyangan, hentakan dari besi-besi dan rantai yang melanting hanyalah sebuah percobaan yang memberikan kata-kata, "oh, ya...". Bahkan tidak jarang mencoba memadu cerita cinta Bernie Webber dan Miriam sebagai dramatisasi dan emosi terasa kurang meyakinkan dan chessy. Bahkan mencampurkan emosi percintaan ala 'shakespeare' pun tidak bisa larut dalam cerita. Dan juga ada scene saat Miriam yang memaksa komandan Cluff untuk membawa kembali Webber dalam aksi penyelamatannya, malah momen-nya terasa awkward dan salah posisi, sehingga membuat saya malah sedikit tertawa. (Karena Miriam gagal memaksa Cluff untuk menghentikan penyelamatan, justru diusir tanpa berbuat apa-apa)

Ada dua leading role pada film ini yang terpisah dalam masing-masing tempat, Chris Pine dan Casey Affleck. Chris Pine selaku coast guard bukanlah sosok yang benar-benar tampil solid dalam aktingnya. Aktingnya terasa awkward dan act-less. Bahkan Saya tidak melihat seorang yang greater sepanjang saya menonton film ini, walau memang tidak harus ditonjolkan sebagai heroik tapi setidaknya Gillespie bisa mengambil moment-moment terbaiknya dimana ia bisa tampil lebih menggebrak. Bahkan, kesan dirinya dihadapan Eric Bana sebagai komandan menyebalkan tampak tidak hebat sama sekali. Bahkan saya lebih meyukai peran Casey Affleck yang lebih punya karakterisasi kuat sebagai pemimpin awaknya yang dalam keadaan kacau-balau dan terpecah. Ia mampu tampil meyakinkan sebagai orang yang cukup disegani.

Well, The Finest Hours sesungguhnya masih dapat tertolong karena ceritanya sendiri masih berupa true story, maka pada bagian akhir kita masih diperlihatkan foto-foto klasik tokoh utama beserta penghargaan atas keberanian dan aksi hebat para coast guard ini. Tentu The Finest Hours juga menyelipkan sebuah pesan kecil bahwa "luck" dan "hope" adalah sebuah kata-kata semu yang tetap harus dimiliki seseorang ketika mereka merasa tidak punya harapan dan keberuntungan lagi. Walau segmentasi tersebut tersebut hanya bisa dilihat saat kita terseret dalam penceritaan yang berantakan, gloomy, chessy, dan boring.

You May Also Like

0 Comments