REVIEW FILM: The Neon Demon (2016)

by - Januari 04, 2017



Apa yang membuat film horor disukai? Jawabannya hanya satu dan cukup simpel, saat film horor itu mampu menakuti penontonnya, menjerit histeris seraya mengucapkan sumpah serapah, atau yang paling sederhana membuat bulu kuduk penontonnya merinding. Tapi, sebetulnya itu jawaban umum yang sering dilontarkan segelintir orang ketika menilai sebuah film horor bagus hanya datang dari efek scary-nya saja. Entah apa anda sependapat dengan saya atau tidak, tapi saya menyadari bahwa film horror tidaklah seperti itu. Bahwa makna horor sebenarnya adalah sebuah "Theme" ataupun "Genre", yaitu lekat dengan sebuah tema, dan bukannya efek scary. The Neon Demon membuktikan bahwa horor tidak harus tentang menakut-nakuti dengan hal-hal gaib maupun slasher. Disini sutradara Nicolas Winding Refn tidak punya sedikitpun motif untuk menakut-nakuti penontonnya dengan cara seperti itu. Tapi malah berusaha membuat suasana horor yang mysterious, weird dan artsy.

Seorang gadis muda berparas cantik, Jesse (Elle Fanning) adalah seorang foto model amatiran yang mencoba menapaki karir modelingnya di Los Angeles. Meski masih belum mencapai kesuksesan yang lebih besar dan bahkan masih tinggal di sebuah motel murah yang dimiliki seorang pria menyebalkan bernama Hank (Keanu Reeves), tapi Jesse memiliki kelebihan alami yang bisa mempermudahnya menggapai impiannya tersebut, yaitu paras cantik dan tubuh sempurna. Bahkan seorang penata rias yang ditemuinya sehabis sesi pemotretan, Ruby (Jena Malone) sangat mengagumi Jesse dan mencoba mengajaknya ke sebuah pesta, mencoba mengenalkannya pada teman Ruby yang juga berprofesi sebagai model, Gigi (Bella Heathcote) dan Sarah (Abbey Lee) yang juga sama-sama mengaguminya. Tapi, lama kelamaan kekaguman tersebut berubah menjadi obsesi dan kecemburuan pada apa yang dimiliki oleh Jesse.

Tujuan Nicolas difilm ini sebenarnya ingin membuat sisi horor yang berbeda dari biasanya yang berasal dari kata 'obsession', yaitu obsesi berlebihan pada kecantikan, yang bisa membuat seorang manusia jauh lebih seram dan lebih kejam dari Leatherface. Ya, premisnya cukup menarik, bahkan saya terus tertarik dan penasaran pada akhir film ini. Tapi, sayangnya narasi film ini tampak flat dan terasa kabur, bahkan untuk menngungkapkan motif soal obsesi, Nicolas tampak kesulitan menerangkannya, bahkan yang tampak jelas ceritanya justru soal Jesse yang harus mengalami susah payahnya menjadi model, hingga ia harus bugil di depan kamera dan juga kecemburuan rekan sesama model melihat betapa mudahnya Jesse meraih simpati oleh seorang juri pencari bakat. Bahkan dalam harapan horornya sekalipun, sesekali Nicolas mencoba bermain dengan teror-teror creepy, tapi bukanlah tensi atau atmosfer yang built-up, justru saya dibanjiri kebingungan dengan hal-hal yang tampak tidak jelas dan subtle. Horor dan terornya simpang siur, justru terjebak dengan adegan-adegan tak jelas yang seringkali tidak menebarkan ketakutan.

Tapi, ada bagian penting yang justru ditangan Nicolas persentasi film ini terasa sangat memuaskan. Mengerjakan dua film yang memang dikenal sebagai film artistic cinematography, Drive dan Only God Forgives. The Neon Demon melakukan hal serupa ketika Nicolas bermain-main dengan lampu cahaya neon beserta scoring musik nuansa rave yang terasa weird. Gambar-gambar yang ditampilkan pun bersamaan dengan gerakan kamera yang bergerak pelan, menerapkan shot-shot yang terasa artistik. Hanya dari penerapan gambar The Neon Demon berhasil berbicara banyak daripada apa yang naskah ceritanya sendiri buat. Memamerkan setiap lampu-lampu berwarna-warni baik lampu motel, lampu jalan, lampu kamar yang secara kontras berhamparan dalam film yang darkly, juga bagaimana lampu-lampu tersebut menerangi setiap wardrobe dan tata dekorasi yang menawan mata.

Ditambah, pesona wanita-wanita di film ini, Jena Malone, Bella Heathcote dan Abbey Lee sudah membuktikan betapa gilanya mereka sebagai wanita yang menurut saya sudah cukup cantik dan berpostur tubuh sempurna, namun beserta obsesi kecantikan yang sedarinya sedikit menyentil secara halus wanita-wanita di kehidupan nyata yang selalu mencoba untuk operasi sana-sini, membuat mereka bagaikan iblis dibalik gemerlapan hidup seorang model. Terutama peran Elle Fanning, dibalik pretty, charm dan sexy dirinya yang masih muda, mampu menampilkan akting penuh daya tarik dibalik ekspresi mimik kosongnya, yang Hollywood pun harus segera serius melirik potensi luar biasanya.

Well, Sebetulnya saya berada dalam dua perasaan yang masing-masing merasa satisfied dan dissatisfied. Sebagaimana ia mengawinkan elemen-elemen artistik dan tema horor obsesinya. Dan juga cukup puas dengan konklusi cerita yang hadir tentang lesbianisme, obsesif, hingga berujung kanibalisme berdarah. Tapi, karena penuturan ceritanya yang kurang akurat dan kurang mencengkram, sayapun merasa tidak puas pada narasinya yang lemah. Banyak hal ambigu yang tak terjelaskan oleh Nicolas, seperti gangguan-gangguan yang terjadi di motel room Jesse. Ya, meskipun begitu The Neon Demon membawa sebuah cerita halus bahwa seorang wanita terkadang selalu tampak tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Terkadang obsesi untuk menjadi cantik, menjadi sempurna, tidak puas dengan apa yang mereka miliki membuat wanita menghalalkan cara apapun untuk mendapatkan yang lebih, baik dengan cara yang halus ataupun yang kejam. Yah, walau dalam kasus film ini terlalu ekstrem untuk dipelajari.

You May Also Like

0 Comments