REVIEW FILM: Ouija: Origin of Evil (2016)

by - November 15, 2016



Setelah teror mati lampunya (Lights Out), teror hantu tahun ini sepertinya tidak berhenti sampai disitu saja, kehadiran tak terduga justru datang dari film yang prekuelnya pernah "super-gagal-rusak-total" Ouija (2014) yang digarap oleh Stiles White. Tiga tahun kemudian sekuelnya hadir kembali dalam bentuk dan kualitas jauh di atas film pertamanya itu, Ouija: Origin of Evil. Disutradrai oleh Mike Flanagan yang juga sudah sukses membuat satu film horor bertema cermin yang endingnya brengsek-sek-sek banget (Oculus). Yups, sebuah lompatan unik dari teror benda-benda pembawa kutukan dari teror cermin ke teror papan ouija. Suatu yang jarang terjadi ketika film pertamanya sudah babak belur, tapi seketika ditangan Mike semua ekspetasi rendah saat trailer pertamanya dirilis di putar balikkannya di film keduanya. Dan ia telah berhasil menaikkan pamor kutukan papan ouija yang pernah anjlok menjadi, classic and authentic .

Dimulai dari adegan ritual seorang wanita peramal nasib, Alice Zander (Elizabeth Reaser) dirumah nya bersama 2 kliennya yang meminta kepada Alice agar bisa berkomunikasi dengan keluarganya yang sudah mati di dunia roh. Elemen supranatural pun mulai mencengkram dari lilin-lilin yang mati sendiri, lemari yang terbuka sendiri, hingga kemunculan sosok bayangan di balik tirai pintu yang membuat kedua kliennya tak percaya tapi ketakutan setengah mati. Setelah ritual komunikasi roh tersebut selesai dan kliennya pulang, ternyata oh ternyata Alice adalah peramal gadungan, elemen supernatural tadi hanyalah kedok kebohongan dari sebuah trik khusus yang sudah sedemikian rupa dibuat demi meraup keuntungan. Bahkan yang membantunya adalah kedua anak perempuannya, Lina Zander (Annalise Basso) dan Doris Zander (Lulu Wilson).

Tenang saja, kepalsuan tersebut hanyalah prolog cerita. Teror sebenarnya datang saat ibunya membeli papan ouija tersebut di sebuah toko (ternyata banyak dijual di toko), sebagai alat bantu kerja barunya untuk menipu orang lagi. Tapi, saat Alice menguji coba papan ouija tersebut tanpa disadarinya telah otomatis terhubung antara dunianya dan dunia roh, yang membuat rumah dan keluarganya mulai diganggu terutama Doris yang mulai berperilaku aneh dan tak wajar.

Hal yang paling terasa selama film ini berlangsung adalah visualiasi film ini berbeda jauh dengan apa yang kamu rasakan di trailernya. Ia punya rasa klasik yang terasa kental, ditambah saat title film ini muncul. Mike Flanagan telah berhasil mencuri perhatian saya dengan efek kamera creepy yang terasa old school ini. Tidak salah memang menerapkan setting dan latar di era 1956. Bahkan saya merasa sedang kembali kemasa lalu. Semua bumbu elemen jadul itu berbaur dengan teror yang ditanam secara perlahan. Dan tentunya Mike mampu memberi sentuhan jump scare efektif di setiap adegan.

Dan salah satu kunci penebar horor tersebut tidak lain Lulu Wilson alias Doris sendiri. Gadis polos dan innocent inilah puncak keseraman film ini, Mike Flanagan berhasil menemukan momen-momen creepy dari Doris. Walau sudah sering seorang gadis kecil digunakan sebagai senjata pamungkas penebar teror klise, tapi Mike mampu mengubah image Doris menjadi lebih unik dan lebih autentik. Apalagi saat kamera men-shot dan memfokuskan wajah datar dan tanpa ekspresi Doris, ataupun saat sosoknya tiba-tiba nongol dibelakang. Atmosfer creepy Doris seolah benar-benar ngehe.

Tapi, bukan berarti Ouija tampil tanpa kekurangan. Kunci di setiap film bisa dikatakan bagus atau tidak terletak pada cerita. Dan cerita terbagi dalam tiga bagian, cerita awal, cerita tengah, dan ending. Dan jika diantara tiga salah satunya rusak, rusaklah film tersebut. Ouija sebetulnya sudah berhasil memberi sentuhan klasik film ini dengan dua jempol. Bahkan saya sendiri suka semua adegan ngeri seperti mulut menganga lebar, mulut dijahit, sampai-sampai Doris yang menempel di dinding. Semua itu sudah dipersentasikan dengan baik oleh Mike, tapi entah apa karena delete scene oleh pihak bioskop atau memang aslinya memang seperti itu, akhir cerita film ini terasa berantakan sekali. Padahal saya suka bagaimana konklusi akhir film ini mulai semakin mendebarkan di ujung. Bahkan saya pikir akan adanya adegan slasher. Tapi, ketika ia berada di adegan klimaks ada kesan terburu-buru, maksa dan bahkan scene mondar-mandirnya membuat saya bingung apa yang sedang terjadi. Dan itu merusak suasana yang sudah dijaga dari awal.

Yah, mengabaikan fakta kacaunya bagian klimaks film ini. Ouija: Origin of Evil telah berhasil menemukan jati dirinya kala prequel-nya yang kacau balau itu. Setidaknya kita masih mendapatkan rasa ngerinya bermain papan Ouija. Dan semua itu di visualisasikan secara matang dan klasik, memberi tampilan creepy yang luar biasa. Dan atmosfer ngehe itu berhasil ditampilkan oleh salah satu pemerannya Lulu Wilson, walau artis kecil yang terlihat polos dan innocent. Tapi, akting dan dialog-dialognya seperti, "Wanna hear something cool?" kemudian dilanjutkan kalimatnya tentang proses kematian seseorang dikatakan dengan tidak wajar oleh anak kecil menambah betapa horornya Doris film ini. Jadi, jika mau menikmati film ini cukup masukkan dua faktor ini, faktor pertama nikmati horor creepy-nya yang manjur, faktor kedua abaikan ending kacaunya, sekian.

You May Also Like

0 Comments