REVIEW FILM: Café Society (2016)

by - November 16, 2016



Cinta itu kadang rumit dan membingungkan, dan kadang akan membawa kegalauan yang berkepanjangan pada seseorang. Apalagi jika sudah jatuh terlalu dalam, apakah ada hal mudah untuk melupakannya dalam sekejap mata? Tentu saja tidak. Seperti kutipan dalam film ini sendiri, "hidup itu sebuah komedi yang ditulis oleh penulis komedi yang sadis". Cinta itu memang indah, tapi juga terkadang sadis dalam caranya bekerja dalam kehidupan yang lucu ini. Café Society karya Woody Allen ini mungkin akan menafsirkan hal itu kedalam kisah asmara yang dipenuhi kehidupan glamor masyarakat kelas atas ini.

Phil Stern (Steve Carell) dan istrinya Karen (Sheryl Lee) merupakan pengusaha sukses dan punya pengaruh besar dibidang perfilman hollywood. Suatu hari Phil ditelepon oleh saudara perempuannya yang tinggal di New York, Rose Dorfman (Jeannie Berlin), untuk memintanya mencarikan pekerjaan buat anaknya, Bobby Dorfman (Jesse Eisenberg), seorang keturunan yahudi. Bobby memiliki seorang ayah bernama Marty Dorfman (Ken Stott) dan kakaknya yang seorang gangster, Ben (Saul Stein). Dengan kesibukkan kerjanya yang begitu padat, membuat Bobby sulit untuk berbicara bahkan menemui pamannya tersebut. Hingga akhirnya Phil meminta sekretarisnya, Vonnie (Kristen Stewart) untuk menemani sementara waktu ponakkannya tersebut hingga ia mendapatkan pekerjaan yang pas. Tapi, siapa sangka disaat itulah Bobby tertarik dengan kecantikkan Vonnie dan akhirnya jatuh cinta padanya. Tapi, Bobby mengalami kesulitan saat tanpa diketahui dan tanpa ia sadari Vonnie memiliki seorang kekasih yang ternyata pamannya sendiri, Phil yang sedang menjalin hubungan gelap dengannya selama 1 Tahun lebih.

Sangat gampang mengetahui ciri-ciri film Woody Allen, pertama adalah tata visualnya yang cantik, kedua latar belakang tokoh yang bercirikan hidup glamor dan mewah, dan ketiga kompleksitas cerita cinta orang dewasa, dan keempat setidaknya ia punya minimal satu film yang ia rilis setiap tahunnya. Cafe Society merupakan sebuah cerita yang mengangkat tema tentang perselingkuhan, niat perselingkuhan, hasil dari perselingkuhan, rasa patah hati dan kegalauan. Dan hal yang menarik dari film Woody yang satu ini adalah kompleksitas cerita yang mampu menggelitik saya. Bagaimana tidak, seorang wanita yang dicintai baik oleh ponakan dan pamannya sendiri. Dan konflik mereka tidak langsung ditembak langsung ke sasaran, tapi dengan cermat Woody memasang seunik dan selucu mungkin hubungan tak kasat mata antara Bobby, Phil, dan Vonnie. Hingga akhirnya ia mulai membongkar satu-persatu hubungan gelap mereka bertiga. Tapi, tentunya hal ini tidak dengan cara yang keras dan kasar, justru ia terkesan lebih lembut dan damai.

Kekurangan film ini sebenarnya sudah terlihat jelas, manakala Woody tampak tak fokus dalam bercerita. Kesan mondar-mandirnya pun membuat kita tidak tahu kemana arah tujuan cerita ini. Kadang disaat kita menikmati satu cerita tentang hubungan Bobby, Vonnie dan Phil. Tiba-tiba ia melompat kecerita lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan cerita utama. Manalagi drama panggung film ini hampir saja mengalami kemunduran. Dipertengahan, Woody sengaja membelokkan cerita film yang sebenarnya sudah terkendali dan terasa menarik ini, secara tiba-tiba kita akan mengenali plot baru lagi tentang hubungan Bobby bersama istrinya  yang baru, Victoria (Blake Lively). Perubahan drastis ini justru malah menjadi kelemahan terbesar.

Kebetulan, ini adalah pertemuan ketiga kalinya buat Jesse Eisenberg dan Kristen Stewart, yang sebelumnya pernah berkolaborasi di film Adventureland dan American Ultra. Dan kali inipun akting mereka kembali bersama-sama menjadi sepasang kekasih. Jesse berperan sebagai seorang laki-laki yang canggung dan gugupan, saya pikir perannya disini sangat cocok sekali dengan tampangnya yang memang polos bawaan sejak lahir. Dan Kristen Stewart sendiri berperan sebagai wanita cantik dan sederhana yang gampang dicintai oleh Bobby dan digilai oleh Phil.

Tapi lain dari itu menurut saya Vonnie sendiri she's nothing special sampai sebegitunya dua pria ini mengorbankan segala yang ia miliki sampai-sampai mempertaruhkan rumah tangga. Walau memang kadang hal semacam itu bisa saja terjadi, karena cinta itu buta. Dan sayangnya saat kedatangan tamu tak di undang, Blake Lively sebagai love interest kedua Bobby tidak begitu dimaksimalkan performa aktingnya, padahal ia bisa saja bermain lebih apik karena saya sendiri percaya dengan kemampuan aktingnya dan terlebih perannya sendiri benar-benar menggantikan sosok Kristen Stewart ketika sejenak ia hilang dari cerita. Tapi, justru tidak lebih hanya sebagai tempelan saja.

Sepanjang saya menonton Café Society selain dari performa akting, segi visual, dan ceritanya, selebihnya ia terasa hampir menjemukan jika saja kisahnya bisa lebih lebih fokus dan tidak dibarengi cerita lain yang tak nyambung. Apalagi endingnya yang menggantung membuat cerita film terasa anti-klimaks, bahkan membuat sebagian penonton mungkin akan kecewa. Tapi, sebetulnya ia masih cukup menarik ketika cerita cinta tarik ulur antara Bobby dan Vonnie ini terlihat begitu mempesona. Dibarengi dengan cerita cinta yang menggelitik antara rasa galau, patah hati, rasa berselingkuh, dan rasa canggung. Mungkin tidak ada salahnya sih mencoba film Woody Allen yang satu ini.

You May Also Like

0 Comments