Land of Mine (2016) Movie Review

by - Agustus 08, 2017



Apa yang terjadi saat Perang Dunia II telah berakhir? Dan bagaimana nasib tentara Jerman yang tersisa setelah Hitler dan Nazi telah dinyatakan kalah telak dalam peperangan di tahun 1945? Perang pada dasarnya telah menanamkan benih kebencian dan kedengkian besar setelah pemerintahan diktator tersebut telah menunjukkan kekejamannya terhadap kaum Yahudi dan sekutunya, sehingga setelah semuanya berakhir pun seolah sisa-sisa dari pengikutnya harus membersihkan sendiri "kekacauan" dari tangan mereka sendiri. Sejarah yang diangkat dalam film Land of Mine (Under sandet) adalah sejarah kejahatan perang terburuk pasca perang dunia II, saat negara Denmark memaksa 2.000 lebih POW (Prisoner of War) Jerman untuk membersihkan 2,2 juta ranjau aktif dan berbahaya yang tersebar dipelosok negara mereka.


Land of Mine adalah film besutan sutradara Martin Zandvliet (A Willing Patriot, Dirch (A Funny Man)) yang memperoleh nominasi Oscar ke-89 pertamanya mewakili negara Denmark di "Best Foreign Language Film." Dimulai saat seorang "Danish" Sgt. Carl Rasmussen (Roland Møller) ditugaskan oleh Lt. Ebbe Jensen (Mikkel Boe Følsgaard) untuk mengawasi 14 tawanan Jerman yang dibawa menuju lepas pantai Barat Denmark, guna menetralisir lokasi penuh ranjau yang terhitung 45 ribu buah didalam pasir sepanjang pantai. Mereka semua adalah remaja yang masih terbilang muda terdiri dari Sebastian (Louis Hofmann), Helmut (Joel Basman), Ernst (Emil Belton), Werner (Oskar Belton), Wilhelm (Leon Seidel) dan August (yang saya sebut adalah para aktor yang aktingnya paling menonjol).


Secara teknis Rasmussen hanya sendirian mengawasi ke 14 tentara muda Jerman dalam operasi pembersihan ranjau. Tapi sebetulnya ditilik ke dalam sejarah asli yang diberitakan media, para POW seharusnya langsung berada dibawah kendali para tentara Inggris. Mengelupaskan kata moralitas, Land of Mine cukup banyak mengkritisi rasa empati dalam peti kebencian yang seolah telah menghilangkan nurani dan moralitas kemanusiaan dalam perang. Diskriminasi dalam film ini membuat kita bertanya-tanya "who is the real evil in a world war?".

Zandvliet memfokuskan pada hubungan Rasmussen dan para tawanan Jerman muda, Rasmussen awalnya muncul sebagai sosok berdarah dingin yang tak segan-segan meluapkan amarah dan kebenciannya pada Jerman. Tapi hubungan dengan para remaja ini mulai membuatnya terombang-ambing antara permasalahan moral dan dendam pribadi dihatinya. Para tentara Jerman pun tidak serta merta diam dalam derita, Sebastian yang paling menonjol diantara mereka bersinar sebagai leader dan guard, Ernst dan Werner sebagai saudara kembar yang berusaha saling melindungi dan Helmut sebagai pemberontak yang pesimistis. Para remaja Jerman dengan seragam lengkap dan wajah-wajah lesu, kotor penuh luka, seolah tersimpan rasa takut dan harapan dimata mereka saat putus asa hadir diantara hidup dan mati mereka.


Meski bukan film bertema perang frontal dengan lusinan terjangan peluru layaknya "Saving Private Ryan", tapi jangan salah bahwa Land of Mine hampir sama dengan "The Hurt Locker" tapi dengan "esensi" game puzzle komputer familiar ala "Minesweeper", film ini punya konsep tersendiri untuk memberikan kesan menegangkan dan brutal di tengah atmosfer yang terbilang calm to do, but seriously act. Memperlihatkan saat-saat para POW ini melucuti satu demi satu ribuan padang ranjau yang bersembunyi diantara timbunan pasir. Kita takkan pernah tahu kapan, dimana dan siapa yang akan menjadi korban dari ledakan ranjau tersebut, dan bom! seperti film-film horror yang memainkan efek jump scare, kita turut dihantui rasa was-was saat detik-detik mendebarkan para tentara ini harus berhadapan dengan resiko kematian dan tubuh hancur ditangan mereka. Dan ini berhasil membuat saya berkali-kali mengucap istighfar tiap kali moment itu datang dari arah yang tidak terduga.


Tapi intimasi melalui chemistry yang dibangun para karakter masih kurang matang, meski cukup yakin bahwa terdapat transisi jiwa yang bergelut dengan emosi dan nurani, hingga tatapan penuh keyakinan dan natural saat beberapa adegan tragis cukup menyayat hati, tapi saya pribadi sedikit merasa terganggu melihat ketidak mulusan adegan demi adegan tersusun kurang relevan membentuk rasa iba dan akrab yang agak bumpy.

Dan Mungkin sebagai film yang tidak menggunakan efek CGI, beberapa ledakan hasil technical effect masih terasa kurang rapi dan bersih, beberapa kali ledakan yang diciptakan pada beberapa moment masih terasa tearing. Tapi dapat dimaklumi karena disisi lain atmosfer ketidaktenangan bercampur deg-degan itu tetap mampu dihadirkan sepanjang film. Juga sinematografi mumpuni dari Camilla Hjelm patut diancungi jempol, ditembak pada lokasi syuting otentik sejarah yang mereka pilih di Oksbøllejren dan Varde, menghasilkan perpaduan cantik antara calm, sorrowful dan warm. Well, Land of Mine mengingatkan kita bahwa perang adalah sebuah kekejaman tanpa arti, memunculkan penderitaan, kebencian dan kematian sehingga pelaku sejarah perang siapapun dan sekecil apapun mereka sejatinya adalah korban.

You May Also Like

0 Comments