20th Century Women (2016) Movie Review

by - Agustus 07, 2017



Pengaruh globalisasi zaman cukup banyak berperan penting dalam pembentukkan karakter dan sifat manusia. Itu terlihat bagaimana setiap generasi terbentuk mengikuti ciri yang sesuai dengan norma dan kultur yang ada saat ia lahir, tumbuh dan hidup. Mungkin tak perlu jauh-jauh saat saya yang lahir di generasi "Y" pasti mempunyai perbedaan pendapat dan pola pikir berbeda dari segelintir orang tua yang telah hidup setengah abad. Dan Mike Mills (sutradara dan screenwriter film ini) sebagai pelaku utama yang lahir dan tumbuh di era struggle 3 generasi wanita mencoba menyampaikan sebuah kisah semi-autobiografi miliknya melalui sebuah surat cinta kepada ibunya sekaligus surat cinta untuk semua wanita yang lahir di 20th Century Women seluruh dunia.

Berlatar tahun 1979 di Santa Barbara, California, Dorothea Fields (Annette Bening) adalah seorang single mother yang khawatir tidak mampu untuk mendidik dan membesarkan sendirian anak laki-lakinya Jamie (Lucas Jade Zumann) yang kala itu menginjak umur 15 Tahun. Maka dari itu Dorothea meminta bantuan Abigail 'Abbie' Porter (Greta Gerwig) wanita yang tinggal bersamanya dan Julie (Elle Fanning) teman dekat Jamie sejak kecil, untuk menjaga dan membantu membesarkan dirinya hingga Jamie dewasa.


Dorothea sendiri adalah perwujudan dari ibu kandung Mills, lahir di era yang berbeda, tentu saja menginjak usia 55 tahun Dorothea harus menghadapi berbagai macam perubahan termasuk segala hal yang hadir dalam hidup anaknya. Musik punk, pop-culture, skateboard, hingga permainan skip challenge tak bermanfaat membuat semua hal asing dan aneh membuatnya khawatir dengan perkembangan anaknya tersebut. Tapi tentu saja Dorothea bukanlah tipikal ibu protektitf atau pemanja, sikap luwes dan supel selalu ia tampilkan meski berbagai pertentangan dengan anaknya selalu muncul ke permukaan. Abbie dan Julie pun sama-sama tokoh wanita yang hidup di generasi yang beda pula. Mereka berdua adalah sosok yang likable dan hadirnya mereka dalam hidup Jamie menghadirkan dinamika perspektif yang kuat dan masing-masing sudut pandang dari ketiganya mengeluarkan chemistry pada tingkatan berbeda dengan Jamie. "Whatever you think your life is going to be like, just know, it's not gonna be anything like that. "


Sebagai sebuah coming-of-age dengan bumbu nostalgia dan sejarah hidup sang penulis, film ini memang ingin menunjukkan identitas Mills dan hubungan eratnya bersama wanita-wanita yang pernah mengelilingi dunianya. Seperti 20th Century Women menggambarkan sudut pandang ibunya, dan Beginners (2011) mengambil sudut pandang dari ayahnya. Kesenangan itulah yang coba Mills sampaikan kepada penonton bahwa masa kecil hidupnya cukup menyenangkan dengan bertemunya berbagai sosok inspiratif dalam hidupnya. Konteks yang disampaikan 20th Century Women ini mempunyai gagasan cerita yang masing-masing menonjolkan setiap tokoh dan detil perspektif berbeda dari ketiganya, diikuti Jamie (Mills) sebagai observer.


Saya sangat menyukai bagaimana Mills menggambarkan chemistry pada masing-masing tokoh, mereka punya opini, pendapat, dan pengaruh kuat meski mereka terdiri dari berbagai frekuensi amplitudo yang berbeda. Mereka masing-masing mencirikan diri mereka sendiri dengan sangat shiny and personally, diikuti ruang lingkup permasalahan, latar belakang serta bagaimana cara mereka berbaur dan berkomunikasi, itu sudah cukup membuat semua karakter di film ini gampang dicintai.

Annette Benning sebagai lead mampu menunjukkan karakter kuat meski mature dan depresif yang terlihat dari kelesuan wajah dan hobi merokoknya, tapi cukup mudah disukai bahwa ia wanita yang mencoba hidup tegar menyadari bahwa ia tahu konsekuensi dirinya saat berada ditengah-tengah pergolakan zaman yang terus-menerus menggerus norma dan moral yang tak seperti ia rasakan dulu. Elle Fanning sebagai moral sensitive gemar memainkan aura sensualitas remaja entah dengan rambut berantakan, kaos longgar dan transparan, hingga masalah seksualitas dan pergaulan hidup yang bebas, tapi cukup punya keintiman personal dengan Jamie tanpa banyak kecanggungan yang berarti, meski saya secara pribadi kurang suka akan peran Elle disini. Greta Gerwig sebagai fotografer nyentrik dengan rambut merah pun mampu tampil unik dengan segala kecemasan dan kegalauan hidup yang ada pada dirinya, memberi kesan feminis garis keras yang ceria namun punya pandangan hidup dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dan, terakhir William (Billy Crudup), pria dengan kontribusi paling kecil, tapi cukup berhasil mentengahi kehidupan para wanita ini tanpa harus mengganggu lebih banyak cerita.


Kemasan 20th Century Women pun tampil cantik dengan berbaurnya kilauan warna mencolok, mengeluarkan semua pernak-pernik keindahan dekorasi dan tata busana yang ada sehingga terpancar keindahan unik tersendiri dan a simply power of enchanted austerity, hingga beberapa potongan foto dan video klasik, hingga memadukan berbagai event moment pada balutan cerita, spontan ini sebuah gaya senimatis unik semacam "(500) Days of Summers". Dan juga berbagai mixing musik berbeda latar dan generasi mewakili setiap pergerakan dan bentrokan kultur yang ada, Dorothea yang sering memainkan musik klasik seperti, "As Time Goes By Lyrics by Rudy Vallee" dan jenis musik punk-rock band "Art Fag" dan "Black Flag" mengikuti trend Abbie dan Jamie.

Overall, ini secara pribadi memang film favorit saya, sebuah coming-of-age dengan perpaduan cerita sederhana dan sinematografi yang sangat memikat mata. Performa akting hingga berbagai pernak-pernik seputar isu feminisme, sosial, pergaulan bebas, hingga pengaruh bentrokan budaya dengan subtle diangkat menjadi sangat kaya dan luar biasa. Ini adalah sebuah film yang buat saya sulit untuk dilupakan, surat cinta sederhana untuk mewakili hati para wanita, Dorothea untuk generasi tua (old), Abbie untuk generasi dewasa (adult), dan Julie untuk generasi remaja (teen).

You May Also Like

0 Comments