Silence (2017) Movie Review

by - Agustus 05, 2017



Nama Martin Scorsese memang telah lama dikenal sebagai sutradara terbaik yang dimiliki Hollywood hingga saat ini. "Raging Bull", "Taxi Driver" "Goodfellas" dan terakhir "The Wolf of Wall Street" yang mencoba mengeksplor sisi hedonisme ekstrim manusia melalui hasrat keduniawian mereka yang gila, kali ini sebaliknya melalui Silence Martin justru mengajak kita untuk berkontemplasi ria melalui perjalanan spiritiualisme rohaniah manusia namun tetap terasa ekstrim dalam berbicara. Silence adalah sebuah penuturan kisah "journey into darkness" manusia dalam mencermati hakikat pemahamannya yang paling tinggi. Tentu saja melalui siksaan, penderitaan dan pengorbanan Silence adalah segenggam upaya Scorsese untuk menyediakan sebuah fasilitas mediasi mencari Tuhan melalui melalui pengalaman umatnya yang faithful.

Di tahun 1637 dua Jesuit Portugis, Rodrigues (Andrew Garfield) dan Garupe (Adam Driver) melakukan perjalanan menuju negara Jepang untuk mencari mentor mereka Ferreira (Liam Neeson) yang dikabarkan telah menjadi murtad dari ajaran kekristenan karena mengalami siksaan. Meski sadar bahwa misi mereka berdua sangat berbahaya terlebih penduduk Jepang saat itu sangat gencar melakukan pemburuan dan penyiksaan terhadap orang-orang katolik.


Silence seolah kata yang ingin menyindir eksistensi Ketuhanan itu sendiri, meski "Where are you god when i need you?" menjadi ucapan yang seringkali kita teriakan dalam hati sembari menunggu jawaban do'a dari-Nya yang tak kunjung pasti. Meski dengan skeptisme besar umat manusia yang punya cara pandang berbeda dalam memutuskan apakah itu benar ataupun salah. Tapi, jelas apapun itu keyakinan (agama) seolah candu yang semakin kamu tenggelam di dalamnya semakin kokoh dinding keimanan itu sebagai landasan pokok untuk mencari ketenangan jiwa. Martin Scorsese lewat adaptasi novel karya Shusaku Endo memaksa kita untuk berkontemplasi, mencari makna sesungguhnya dari faith, quest and sacrifice saat dinding bernama iman tersebut di uji melewati batas-batas kemampuan yang manusia bisa lakukan terhadap keyakinannya.

Faith in your heart, but can you prove it? Makna terbesar Silence sendiri adalah puncak rasa sakit dalam hati, iman, dan fisik. Dimana wilayah antara rasa kemanusiaan dan keimanan seperti sebuah kertas tipis. Jepang adalah kegelapan itu sendiri, ada "collision" besar antara culture dan proselytism. Dan para missionaris ibarat poison yang datang masuk kedalam ekosistem budaya yang telah mengakar di Jepang sebagai sebuah ancaman, meski dibalik itu tersirat makna dalam akan ketulusan dalam ajaran dan cinta kasih agama mereka. Meski disadari ada "collision" yang mustahil untuk menjadi "ikatan" nyata. Jepang sendiri hingga sekarang pun terbukti betul-betul menjaga dan merawat kebudayaan mereka, hingga memastikan merekalah sekarang yang jadi sumber budaya. Meski isyarat dalam film sendiri seolah eksplisit menggambarkan Jepang adalah pembudaya yang kolektif, keras dan kejam terhadap sumber tradisi luar.


Di film ini pun kepercayaan seperti sebuah kebutuhan primer dan bukan lagi tuntutan, ketika manusia yang tergambar oleh realita sekelompok kaum katolik dari rakyat kelas bawah Jepang cukup menyadarkan bahwa ada adiksi, ketersesatan dan penderitaan di diri mereka. Tergenggam oleh otorisasi hingga aturan pemerintahan negara yang berusaha menjaga warisan nenek moyang, Rodrigues dan Garupe pun bukan serta merta karakter sentris tanpa nyawa, mereka terseret dalam arus gelombang besar dengan penderitaan dan taruhan nyawa yang berat sebagai "searcher" dan "missionary" yang diluar diplomasi masuk sebagai akar benalu. Selagi mereka berdua berkontemplasi, merenungi bahwa selain melihat sebentuk keindahan, ketulusan, dan kebaikan di negara Jepang yang masih penuh rawa, hutan lebat, dan kabut tebal. Ada pula struggling akibat penderitaan yang mereka alami cukup sesekali mempertanyakan dan meragukan tentang keyakinan mereka sendiri.

Silence buat saya bukan hanya tentang kepercayaan katolik, buddha dan budaya Jepang itu sendiri, film ini bersifat universal dan bukan film yang melulu mencoba memperdebatkan siapa benar atau siapa salah, sebagai another religion saya pun cenderung menilainya sebagai objektivitas dan observasi perenungan yang dalam saat kita tahu kepercayaan itu sifatnya sama, meski seringkali agama dipakai sebagai pembanding yang justru mengakibatkan perseteruan. Dan itu tersampaikan dari seorang pendeta naif Rodrigues yang sangat teguh pendirian, meski terombang-ambing ditengah kerusakkan dan penghancuran moral yang tengah menimpanya, ada pertempuran fanatisme yang naif dan juga rasa sakit yang menggerogoti hati nuraninya. Dan Kichjiro yang diperankan oleh Yôsuke Kubozuka adalah interpretasi manusia yang relatable, oportunis, egois dan hypocritical mencoba yakin dirinya sebagai bagian dari penganut agama tapi jujur dalam ketakutan yang kadang kita mengamini segala tindakannya yang memang sangat wajar sebagai makhluk kerdil penuh dosa.


Untuk sinematografi Silence berhasil menciptakan kesan cantik dan indah dibalik kegelapan dan kesunyian atmosfer, meski seolah acapkali jeritan tak kasat mata terdengar terasa dekat akibat dari perasaan takut, putus asa, dan dilema yang berakhir di ujung ketidakpastian. Mungkin kekurangan film ini ada di durasi hampir 3 jam-nya yang terlampau panjang, meski secara garis besar film ini menyita kita untuk melihat pemandangan akan sebuah kekejaman dan ketidakadilan, acapkali membuat saya terhanyut dan merenungi jika eksposisi moral tersebut terjadi di dalam agama saya. Teruntuk di Indonesia sendiri film-film bertema religi masih terlalu kaku dan terlalu banyak mengkaitkan sudut pandang agama didalam isu rumah tangga dan percintaan yang sebetulnya sudah cukup melelahkan. Upaya penyegaran seharusnya lebih digelontorkan untuk mengkaitkan isu-isu lainnya yang memang sedang panas terjadi di negeri kita, kurangnya toleransi hingga kenyataan pahit permainan orang-orang yang memanfaatkan "atas nama agama" demi kepentingan politik sama-sekali belum kritis untuk disampaikan.

Well, Silence adalah sebuah perjalanan spiritiual yang mengobrak-abrik tidak hanya emosi tapi juga keimanan itu sendiri, meletup dengan keterbatasan manusia sebagai makhluk yang paling kerdil, merenungi batasan antara kekuatan dan obsesi kita sebagai manusia, hingga mencermati hakikat kedekatan kita dengan Tuhan yang ternyata telah melampaui akal sehat dan nalar manusia itu sendiri. Well done, Marty!

You May Also Like

0 Comments