Me Before You (2016) Movie Review

by - Agustus 04, 2017



Diadaptasi dari novel melancholic love terkenal yang membuat kaum wanita menghabiskan sekotak tisu karena isi novelnya yang mengiris hati berjudul sama karya novelis wanita Inggris, Jojo Moyes. Saya rasa tidaklah sulit untuk sutradara debutan, Thea Sharrock mengadaptasi ulang buku ini ke bentuk visual. Melihat adaptasi romansa tearjerker lain karya Nicholas Sparks  seperti "The Notebook" dan "Dear John" mudah menjadi sasaran empuk penonton (khususnya wanita) yang mudah terhanyut dalam keadaan emosi yang tidak stabil. Ini bukan justifikasi pada wanita yang memang mudah terpengaruh oleh hal-hal semacam ini, sebetulnya pria (saya) pun jauh lebih cengeng daripada mereka, because i'm so addicted is romantic movies as my favorit genre! Apalagi melihat dua orang jatuh cinta dipisahkan oleh tragedi besar bernama kematian adalah kompleksitas emosi yang terbilang mudah menyulut perasaan.


Menukik dari persamaan besar dari film-film romantis klise yang sama, film Me Before You murni tentang memaknai arti mencintai secara tulus yang nyatanya sangat membosankan. Memboyong artis besar Game of Thrones, Emilia Clarke yang beralih dari seorang mother of dragon yang bravely, menjadi gadis biasa yang sangat ceroboh dan ceria bernama Lou Clark. Hobinya berpakaian penuh motif dan warna seolah menegaskan bahwa ia gadis muda yang tampil unik dan apa adanya. Ia sedikit banyak mirip "Bridget Jones" versi muda. Pertemuan dengan pangeran tampannya Will Traynor (Sam Claflin) adalah saat Clark menerima pekerjaan dari ibunya Camilla (Janet McTeer) untuk dijadikan sebagai perawat untuk menangani anaknya yang ternyata mengidap quadriplegia karena kecelakaan motor yang menimpanya. Layaknya film "The Intouchables", Will bukanlah pria ramah yang cenderung putus asa dan tak bersahabat, terbujur kaku di atas kursi roda selama 2 Tahun membuatnya kehilangan arti hidup.


Proses mencari cinta Clark dan Will dengan penyesuaian karakter keduanya pun membutuhkan waktu yang cukup lama dan cenderung membuat lesu karena diikat oleh skema plot yang teramat klise dan chessy. Tapi, karena beberapa terangkai cukup bittersweet, diantaranya Clark yang cerewet menemukan dirinya terperangkap dalam konflik Will beserta kekasihnya Alicia (Vanessa Kirby) dan kekasihnya sendiri, Patrick (Matthew Lewis). Clark memproses ketidaknyamanan dan rasa simpati yang subtil menyampaikan perasaannya pada Will yang tengah kecewa. Acapkali mereka berdua seperti sepasang kekasih yang berjuang dalam semboyan rasa kasih dan sayang, tapi jika mengatakan itu cinta? Saya pikir ini abu-abu.

Film ini sebenarnya mencoba mengalirkan cinta lewat chemistry, hanya saja terlalu banyak kecurangan dan kecideraan interaksi para karakternya. Hingga masing-masing serentak membawa ambiguitas dan mengurangi rasa empati saya terutama Clark. Tiada keikhlasan memahami karakter lain dan cenderung fokus pada masalah utama yaitu cinta, chemistry dan kematian, tapi absolut menyengsarakan penonton dengan hasil yang tidak fair.


Saya mungkin cukup geli melihat Clarke yang sudah melekat sebagai karakter keras dan visionary selama 2011 lalu, kemudian image-nya dirubah sedemikian rupa menjadi karakter slapstick yang roknya tiba-tiba terkoyak saat interview. Meski tidak sedikit menyindir sex appeal yang sering pria jadikan topik dan betapa manis dan menggodanya Clarke memakai gaun merah saat pergi ke pesta pernikahan. Tapi sulit memahami jikalau Clarke adalah doping dan love interest yang sesuai karena sifatnya sendiri tidak mencirikan karakter berpendirian kuat, Sam Claflin pun adalah sudut pandang karakter yang sepertinya siap untuk terjun payung kapan pun ia mau, kurang memikat karena hilangnya 'life' pada dirinya sendiri. Meski Will pria kaya yang ternyata gemar menonton film gay, penyuka sarkasme, hingga fanatik terhadap karakter "James Bond" dan "E.T.". Namun, tokoh lain pun hanya jadi pemanis yang akhirnya busuk di jalan cerita.

Jelas Me Before You adalah paket cinta yang cantik tapi gagal menanamkan keindahan cinta itu sendiri. Gagal mengatakan cinta itu kekuatan, kepercayaan dan kesetiaan sembari menuturkan kalimat yang justru berlawanan dengan apa yang terjadi. Ini memang terlalu aneh untuk mengatakan sebagai cerita cinta melainkan despairing and surrender story of life.

You May Also Like

0 Comments