Moonlight (2016) Movie Review

by - Agustus 03, 2017



Nama Barry Jenkins mungkin masih terdengar asing ditelinga kita. Sebagai sutradara itu sungguh wajar mengingat Moonlight sendiri adalah karya kedua setelah film perdananya berjudul "Medicine for Melancholy". Tapi siapa sangka film yang diadaptasi dari teater pascasarjana milik Tarell Alvin McCraney ini berhasil menggeser kandidat terkuat "La La Land" pada perhelatan terbesar Oscar 2017 lalu dan menjadi pemenang pada kategori "Best Motion Picture of the Year", dan juga sukses mencuri piala lainnya pada masing-masing kategori, "Best Performance by an Actor in a Supporting Role" dan "Best Adapted Screenplay". Cerita Moonlight sendiri adalah hasil ekstraksi dan inspirasi dari pengalaman hidup yang sama antara Barry Jenkins dan Tarell Alvin McCraney, bagaimana dulu kedua ibu mereka sama-sama berjuang dalam menghadapi kecanduan drugs. Selain itu mereka juga sama-sama berasal dari latar belakang keluarga yang hidup di kota Liberty City sebagai lokasi syuting sekaligus latar cerita film itu sendiri.


Moonlight adalah potret hidup panjang seorang laki-laki keturunan Afrika-Amerika dengan segelintir komplikasi kepribadian dan latar belakang hidup yang ada dalam hidupnya. Terlahir di sebuah lingkungan yang keras bernama Miami, narkoba, kulit hitam, bullying, ibu yang pecandu, hingga menjadi seorang gay yang miskin. Saya rasa tidak ada lagi yang lebih sulit menerima dan menghadapi konsekuensi dalam realitas masalah diskriminasi kompleks semacam ini, dan tentu saja permasalahan hidup yang dialami satu orang karakter ini dirangkum dalam 3 fase kehidupan dengan 3 nama berbeda, Little (childhood)/Chiron (boyhood)/Black (youth).

Fase pertama (little), menceritakan masa kecil Little (Alex R. Hibbert) dalam pertemuannya dengan seorang pria asing bernama Juan (Mahershala Ali) dan istrinya Teresa (Janelle Monáe). Fase ini mengungkapkan pencarian tentang arti kasih sayang, kebimbangan jati diri hingga proses untuk menemukan kebahagiaan masa kecil ditengah bully dan ibunya yang crack addicted bernama Paula (Naomi Harris), disaat rumah orang lain (Juan-Teresa) justru menjadi sandaran kehangatan dan cinta yang tidak ia dapatkan dirumahnya sendiri. Fase kedua (chiron), fase remaja Chiron (Ashton Sanders) yang terdeskripsikan kurus namun lebih galak dengan tatapan dingin dan sunyi seolah memprotes ketidak berubahnya hidup kala perlakuan sama tetap menghampiri hidupnya, bully hingga orientasi seksual semakin bergetar membentuk emosi nyata yang lebih kuat dan berkembang. Dan terakhir fase ketiga (black), seolah hasil dari apa yang ia dapat dimasa muda dan kehidupannya di penjara, perubahan fisik macho dengan anting dan gigi palsu emas mulai merubah sepenuhnya image Black (Trevante Rhodes) sebagai seorang drug dealer di daerah Georgia, Atlanta.


Meski film Moonlight adalah film murah yang hanya menggelontorkan budget $1,500,000, tapi apa yang diciptakan Jenkins dalam film Moonlight terasa seperti sebuah harmonisasi warna yang terasa kaya dan artistik. Meski dibandingkan pencapaian pesaingnya La La Land dengan budget $30,000,000 yang juga kaya warna dan sinematis, tapi buat saya ini tidak sebanding dengan hasil yang dicapai Moonlight. Moonlight adalah karya sinematis yang langka untuk budget seminim itu, pengaturan posisi lighting dan remangnya lampu neon dipancarkan ke setiap sudut dan arah pandang menghasilkan perpaduan warna yang sangat brilliant, kisah yang depresif dan melankolis ini pun seolah luput karena dibungkus oleh nuansa sinematis colorful yang mencolok pada film ini.


Pencapaian lainnya pun saat Jenkins sukses memberikan sebuah gradasi karakter melalui perubahan drastis yang mencolok. Tiga fase itu tersusun rapi tanpa membuat ketiganya terasa aneh dan ganjil, dan apa yang melingkupi soal distorsi kehidupan melalui pesan moral dan emosi tersampaikan seluruhnya melalui sudut pandang karakter yang kompleks. Orientasi seks, rasial, dan efek lingkungan yang memicu perubahan psikis berhasil tercampur dalam karakteristik satu orang manusia.

Untuk akting mungkin banyak yang mempermasalahkan Mahershala Ali yang berhasil memenangkan Oscar hanya untuk aktingnya yang sebentar. Tapi, jangan salah bahwa Anthony Hopkins di film "Silence of the Lambs" pun berhasil meraih simpati para juri Oscar. Mungkin kesan mendalam yang diberikan Mahershala Ali sebagai pria baik dan hangat terpancar begitu kuat saat ia mau mengasuh anak tak dikenalnya dengan rendah hati. Entah karena isu "oscar so white" tapi buat saya penghargaan bukan berarti dari penilaian kuantitas namun kualitas tak peduli seberapa banyak atau sedikit seorang aktor/artis berperan dalam film tersebut. By the way, Moonlight adalah film melankolis dan emosional yang terbentuk dengan pancaran keindahan visual sederhana tapi menghipnotis mata, sekaligus kisah penuh makna tentang degradasi moral kelas bawah, pertarungan dengan kerasnya hidup hingga rasa kesepian luar biasa yang menghinggapi seorang manusia yang lahir sepenuhnya berbeda.

You May Also Like

0 Comments