The Boss Baby (2017) Movie Review

by - Agustus 02, 2017



Bayi memang cute dan menggemaskan, tingkah polahnya yang alami memang tidak bisa dibantahkan semua orang dewasa. Termasuk saya yang memiliki keponakan yang belum sampai 1 tahun, tangisannya, rengekannya, dan juga tertawanya yang membuat pola garis diantara kedua pipinya tidak bisa sedikitpun tidak membuat saya gemas dan ingin mencubit pipinya setiap hari. Sampai DreamWorks Animation membuat film bertema bayi unik berjudul The Boss Baby. Bagian menariknya tentu saja film ini bukan tentang bayi biasa, bayi ini menyebut dirinya Boss Baby (Alec Baldwin) yang lahir di sebuah pabrik pembuat bayi bernama Baby Corps. Mungkin seolah terinspirasi dari film "Storks" tentang pabrik pembuat bayi, namun menjadikan bayi di film ini sebagai bayi berotak dan bisa berbicara layaknya orang dewasa dengan style ala Chief executive officer (CEO) dengan setelan jas rapi, jam tangan emas, dan briefcase, dan tentu saja gema suara berat yang disuarakan Alec Baldwin menambah kelucuan (keganjilan?) bayi di film ini.

Film ini diawali dengan cerita tentang seorang anak berumur 7 Tahun bernama Tim (Miles Bakshi) yang terpaksa harus berbagi hidup dengan Boss Baby setelah ayah dan ibu Tim memproklamirkan dirinya sebagai bagian dari keluarga sekaligus adik Tim yang baru. Tapi, Tim tidak suka akan kehadirannya karena telah mengambil sepenuhnya perhatian dan kasih sayang orang tuanya kepada bayi tersebut, bahkan Tim pun menyadari jika bayi tersebut bertingkah sangat aneh dan tak wajar dari bayi pada umumnya, hingga suatu malam Tim akhirnya memergoki dan terkejut bahwa Boss Baby bisa berbicara di telepon layaknya orang dewasa. Karena penyamarannya diketahui, Boss Baby pun mengakui bahwa ia sedang menjalani sebuah tugas dan misi rahasia dari perusahaan tempat ia bekerja.


Bayi memang mudah untuk meluluhkan hati seseorang, tapi mungkin beda konotasi tersebut jika berhubungan dengan sebuah film. Dan tentunya memproyeksikan tingkah jenaka dan manja bayi akan sangat berbeda jika mengetahui bahwasanya bayi dijadikan sebuah eksperimental dengan apa yang di imajinasikan orang-orang dewasa pada umumnya. Bayi berbicara? Bayi dewasa? Imajinasi ini memang tampak liar seketika jika keliaran tersebut terlampau melebihi ekspetasi. Dan sejujurnya The Boss Baby memang lucu, tapi ini menjadi komedi hyper-active tentang bayi yang dipertanyakan tentang masalah identitas moral dan daya intelektualnya yang terlalu abusive. Bolehlah jika bayi bisa berbicara ataupun berpikiran dewasa, namun apakah film ini menanggulangi batas-batas termasuk teknik komunikasi antara Tim dan Boss Baby terasa relevan? jawabnya, ini terlalu ngelantur.

Film ini mengidentifikasi tentang hidup dewasa dan bayi sebagai medianya, mungkin terdengar keren dan menarik. Dan Tim sebagai anak 7 tahun pun mengikuti arus kedewasaan sang bayi dewasa. Sayangnya tujuan-tujuan yang ingin dicapai film ini sangat lemah, kelucuan-kelucuan yang awalnya membuat saya bergelak tawa dengan berbagai tingkah polah hingga slapstick selaku kekonyolan anak-anak, namun semakin kesana saya semakin sadar bahwa hal ini mulai tergerus perlahan akan tingkah Boss Baby yang tidak lagi terdeskripsikan sebagai bayi 1 tahun. Pemaksaan identitas ini juga diikuti oleh pengembangan karakter Tim yang sulit untuk mengikuti kedewasaan seorang bayi antara realitasnya di atas keabsurdan dan ketidak masuk akalan yang sulit dilahap bersama-sama.


Masalah cerita pun tampak dari inkonsistensi dari komplikasi dan arah tujuan yang terbilang tidak konklusif. Ini bahkan menimbulkan cacat di ending ketika cerita tidak lagi secantik premis yang ditawarkan. Berjibaku dengan masalah yang dihadapi bayi saat posisi mereka terancam oleh puppy, argh! segila-gilanya sutradara atau penulis cerita ini jauh lebih tidak logis untuk memaksudkan glitch yang bagi orang dewasa bahkan yang telah melahirkan sekalipun dengan sadar tahu mana yang mereka pilih. Dan tendensi emosional dalam relasi yang bisa kita anggap kakak-adik melalui proses hubungan Tim dan Boss Baby telah terbungkam sejak film ini digelar, karena saat proses mencerna Boss Baby sebagai salah identitas sudah sulit untuk menangkap moment terbaik kala masing-masing bukan lagi terlihat sebagai karakter anak-anak dengan tingkah polosnya.

Tom McGrath selaku sutradara The Boss Baby menurut saya bukanlah sutradara yang buruk. "Madagascar: Escape 2 Africa", "Madagascar 3: Europe's Most Wanted" dan "Megamind" adalah animasi yang menurut saya masih terasa menghibur. Diadaptasi dari buku gambar karya Marla Frazee yang terdiri dari 32 halaman, hingga di perlebar dengan konversi naskah buatan Michael McCullers, mungkin otentitas kisah yang ditawarkan tidak lagi berkesinambungan dengan penambahan beberapa hal yang diolah sedemikian rupa sehingga kisah The Boss Baby malah terasa medioker. Hal yang dilakukan McGrath dan McCullens hanyalah sekedar landasan untuk menciptakan hingar bingar dan tingkah lucu bayi unik selama bayi di orientasikan tetap menjadi makhluk mungil dan menggemaskan. Meski pada akhirnya konsep yang mereka usung tetap tak ubahnya menjadi film dengan penuh kelesuan dan kemalasan para filmaker dalam membuat film yang lebih substansial.

You May Also Like

0 Comments