REVIEW FILM: War for the Planet of the Apes (2017)

by - Juli 26, 2017



Sulit untuk tidak mengatakan installment dari proyek ketiga semesta primata berjudul War for the Planet of the Apes ini sebagai sebuah blockbuster. Pastinya penggunaan visual effect yang massive dan budget film yang terbilang selangit pun menjadi salah satu faktor kenapa nilai jual film ini begitu besar. Tapi, hal itu tidak cukup menjadikan Planet of the Apes itu film berkualitas, kesuksesan dua film "Rise" dan "Dawn"-lah yang menyelamatkan film ini dari bencana sesungguhnya. Dan tentu saja latah karena kesuksesan, War for the Planet of the Apes pun punya modal besar memetik puluhan juta dolar lagi untuk melariskan franchise besar ini. Dan tentu saja hal ini tergantung Matt Reeves yang punya tanggung jawab besar selaku sutradara untuk menentukan apakah film ini akan betul-betul sukses secara kualitas atau malah bernasib apes lantaran latah karena ambisi keuntungan semata.


Melalui serangkaian konflik yang terjadi di film sebelumnya, kehidupan Caesar (Andy Serkis) beserta koloni besarnya belum sepenuhnya aman dari bahaya. Sekelompok anggota militer manusia dan beberapa kera yang membelot dipimpin oleh pria botak kejam yang dijuluki The Colonel (Woody Harrelson) melakukan penyerangan membabi-buta yang bertujuan untuk membunuh Caesar yang dianggap sebagai pemimpin revolusioner kaum kera untuk menghancurkan kaum manusia. Tapi, akibat konflik dan aksi kejam The Colonel yang tidak menghiraukan kebaikan dirinya, Caesar yang awalnya berusaha berdamai dengan para manusia, akhirnya dengan penuh amarah dan kebencian ia memutuskan untuk melawan para manusia.

Masih berusaha untuk menanamkan serangkaian konflik antara ras manusia dan ras kera. Sebetulnya film ini bisa berujung pada masalah dan konflik repetitif dari film sebelumnya. Tapi, Reeves dan penulis naskah setianya Mark Bomback sepenuhnya tahu betul bahwa mekanisme cerita harus dirombak dari sekedar konflik manusia dan kera yang berkepanjangan menjadi komplikasi emosi dan masalah yang terpicu lebih dalam. Feel-nya masih sama dengan Dawn of Planet of the Apes, yaitu tentara-tentara manusia ini masih berusaha mencoba untuk protektif dari wabah virus ALZ-113 yang mengancam pada kepunahan dan juga skeptisme pada ras kera yang masih dianggap 'binatang buas' bagi mereka. Tapi, formula yang dihadirkan sedikit berubah, manusia lebih ruthless kepada ras kera, dan sudut pandang tidak lagi dalam pertukaran moment antara sisi manusia dan kera melainkan fokus pada masalah komplikasi emosi yang jauh lebih dalam dirasakan Caesar. Selain kemampuan bahasanya yang mulai meningkat, konflik pun menyebabkan kemanusiawian dan emosi Caesar sebagai kera jadi lebih hidup, tidak hanya sisi terang tapi sisi gelapnya yang juga dibayangi halusinasi kematian Koba (Toby Kebbell) yang dulu pernah mengkhianati dirinya.


Selain komplikasi masalah di dunia post-apocalypse dan formulasi campuran gritty dan cold yang lebih kental, ada dua orang yang sanggup meraih atensi yang membantu cerita film ini tidak tenggelam pada aksi balas dendam dan kebencian yang mungkin mempengaruhi kisah cerita lebih depresif. Gadis kecil bernama Nova (Amiah Miller) dan Bad Ape (Steve Zahn) sebagai tokoh baru pun banyak berkontribusi dan berperan penuh dalam merubah nuansa film ini. Nova kental merubah suasana film lebih warm saat terjadi timbal balik antara hubungan dirinya dengan para kera, terutama ditunjukkan melalui kasih sayang Maurice (Karin Konoval) kepada Nova yang punya sifat lembut dan keibu-ibuan. Bad Ape, kera penyendiri yang akhirnya jadi teman Caesar pun jadi pelepas tekanan, sembari bahasa manusia-nya yang masih kaku dan terbata-bata mengucapkan beberapa monolog ringan semacam "Oh no!" atau "Bad Apes" dan tingkah polah nya yang mengingatkan saya dengan Smeagol di film Lord of the Rings ini pun lebih banyak memancing tawa.


Visual effect? Jangan pernah meragukan budget sebesar $150,000,000 ini jadi tontonan menjemukan, mengkombinasikannya teknik penggunaan CGI yang begitu deras dan tutur yang emosional, War menjadi salah satu tontonan paling ambisius tahun ini. Melompat dari guyuran peluru dan tombak di dalam hutan tropis sampai pada moment berkuda Caesar dkk di padang bersalju yang dingin, hingga klimaks yang melibatkan ratusan rudal yang berhamburan di langit dan salju longsor besar yang hampir merobohkan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Film ini memang layak untuk ditonton sebagai popcorn movie. Tapi, kembali pada cerita, buat saya Reeves kembali memainkan keintiman emosional yang jauh lebih manusiawi dan sedikit dramatis, meski Reeves sendiri tidak memainkan lebih dalam emosi pada puncaknya dari sekedar akhir yang filosofis. Dan buat saya War for the Planet of the Apes adalah kulminasi cerita dimana sosok kera tidak lagi sekedar memamerkan kecerdasan otak melainkan inteleketual ras pun tumbuh seiring tercapainya emosi manusiawi yang lebih dalam.

You May Also Like

0 Comments