REVIEW FILM: Their Finest (2017)

by - Juli 26, 2017



Sejak dulu selain sebagai sarana hiburan, film merupakan sebuah alat yang mampu menyelipkan pesan propoganda. Dan melalui selipan pesan tersebut maka buah pikiran dari si penulis atau si pembuat film akan tersampaikan entah itu sebuah pesan moral ataupun kritisi mengenai isu terkait yang berdampak pada masyarakat. Didasarkan karya novel berjudul "Their Finest Hour and a Half" milik Lissa Evans, film yang kemudian mendapatkan pemangkasan judul menjadi Their Finest ini memiliki sekelumit cerita yang penuh dengan beberapa isu dan kritisi terkait feminisme, perang, dan juga propoganda di dunia perfilman itu sendiri.

Berangkat dari peristiwa yang baru saja diangkat oleh sineas Christopher Nolan tentang sejarah besar Dunkirk, Their Finest didasarkan pada situasi kota London tahun 1940 pasca evakuasi besar-besaran yang sangat mempengaruhi mental tentara Inggris pada saat itu, selain kekalahan telak dari Jerman, negara Inggris pun mengalami masa-masa sulit bangkit dalam keterpurukan. Maka institusi pemerintahan bernama British Ministry of Information berupaya membuat sebuah film propoganda kepada publik. Seorang wanita bernama Catrin Cole (Gemma Arterton) pun ditunjuk untuk membuat dan menuliskan naskah cerita tentang 2 gadis kembar muda yang konon ikut membantu melakukan evakuasi dinamo dan menyelamatkan sebagian tentara di Dunkirk. Tapi, tugas Cole tidak mudah, karena tugasnya dalam menulis tiap-tiap point naskah cerita haruslah bersifat autentitas dan optimistik, karena ia tidak boleh kembali gagal seperti pada film sebelumnya yang justru menjadi bahan tertawaan dan olokan oleh penonton di bioskop.


Film memang tidak selamanya jujur, itulah yang ingin disampaikan oleh cerita film ini. Mengangkat situasi London saat The Blitz (serangan bom reguler oleh Jerman di kota-kota Inggris dan sekitarnya), saya menangkap bahwa ada sebentuk keinginan dan wujud dari sebuah pencetusan propoganda dalam film yang dibuat pemerintah ini condong pada ketidakrelevanan dengan kisah nyata yang ada. ketidak relevanan itu adalah bumbu cerita yang ditambah-tambahkan dalam film agar bisa menarik penonton. Dan sebuah kritisi disampaikan dalam cerita film ini bahwa seperti yang dikatakan Tom Buckley (Sam Claflin) selaku partner Cole, "Real life with the boring bits cut out". Selama itu masih wajar dan tidak mencemari kisah yang ada. Apapun diperlukan selama film tersebut dapat memuaskan penontonnya.


Selain itu saya pun menemukan begitu banyak pesan penting selaku perlakuan gender dan relasinya dalam hubungan pekerjaan (terutama di dunia hiburan). Sama seperti contoh satir akan adanya perbedaan dalam pengupahan kerja yang bahkan sampai saat inipun di dunia hiburan masih terjadi diskriminasi terhadap persamaan hak kaum wanita dan laki-laki. Dan hal ini secara lugas tersampaikan melalui refleksi seorang Cole yang diperankan oleh Gemma Arterton dengan sangat manis dan tangguh. Di tengah deras dan gemuruhnya kota London akibat perang serta beban dan tanggung jawabnya sebagai seorang wanita demi pekerjaan (dan negaranya). Meski tidak diwujudkan dalam bentuk kisah yang lebih patriotik, ada energi yang disampaikan dalam bentuk kelembutan seorang Cole, selain kuat dan cerdas dalam bidang profesi yang ia cintai dan tekuni, dalam hal ini Cole cukup banyak mencurahkan secara subtil aksi feminisme yang ia wujudkan dalam ide naskah film yang ia buat. Selain menggambarkan kondisi perang Dunkirk kepada penonton melalui kisah heroik para pria, Cole sedikitnya menyelipkan pengaruh wanita dalam kapabilitas dan juga heroisme-nya di medan perang. Bahkan seolah Cole pun secara tak sadar menyindir kaum pria yang gampang berstereotip soal kemampuan wanita dalam hal ini terkait masalah teknis dan mekanis yang seolah hanya bisa dilakukan oleh kaum adam.


Meski memiliki segelintir isu yang cukup tajam dan satir, namun kekurangan Their Finest terletak pada masalah alur cerita yang cukup gagal meraih emosi. Meski disebut sebagai sebuah film romantis, tapi di act pertama saya menemukan rasa lelah bercampur bosan selaku garapan sutradara Lone Scherfig (One Day) ini jauh mementingkan naskah yang terlalu rapi tapi minim "ledakkan". Sejalan dengan alur dan langkah seorang Cole dalam keseriusannya menggarap naskah cerita dan film, sembari menikmati berbagai proses pra-produksi, syuting, editing hingga tahap post-produksi sebuah film klasik, mengingatkan saya dengan isi film "The Aviator" karya Martin Scorsese. Kejemuan datang karena keintiman dan kehangatan tidak hadir dalam asmara kehidupan Cole, juga bagaimana hubungan dirinya bersama Buckley hanya terlihat sebatas partner kerja, yang justru Scherfig menghadirkannya setelah di bagian act ketiga, berupaya menjadikanya sebagai bagian dari kejutan hingga efek tearjerking yang sama seperti yang dilakukannya pada film One Day. Efektif? iya! gelombang emosi akhirnya bisa saya rasakan di klimaks setelah 1 jam lebih saya terseok-seok dalam cerita yang penuh kehampaan.


Bahkan efek situasi perang dan The Blitz pun tidak dimaksimalkan, cenderung beberapa kali terjadi bombardir lokasi di dekat Cole pun kurang menggelegarkan rasa takut, meski beberapa kali sequens menampilkan mayat bergelimpangan dan bangunan porak-poranda, cenderung fokus cerita yang kian berganti arah sulit menemukan korelasi situasi yang mengarah pada ketegangan, hingga atmosfer The Blitz pun cenderung tidak lagi tampak mengerikan. Well, sebagai bentuk propoganda di dalam propoganda, film Their Finest secara tangguh menggambarkan betapa pengaruh wanita dalam pekerjaan begitu besar. Ini tersirat dari ketekunan dan juga keahlian seorang Cole yang akhirnya beberapa orang mau mengakui kemampuannya. Ini adalah sebuah kisah adaptasi novel British yang betul-betul mencoba mengangkat harga diri wanita dalam standar etos kerja, juga bisa menjadi kisah inspiratif yang cukup berpengaruh khususnya bagi kalian para wanita.

You May Also Like

0 Comments