REVIEW FILM: Split (2017)

by - Juli 03, 2017



Setelah beberapa dekade sutradara berdarah India M. Night Shyamalan ini tidak lagi terdengung namanya dalam membuat film keren dan unforgettable semacam, "The Sixth Sense". Meski di kemudian hari memutuskan mengambil lompatan berbeda dari sekedar membuat film berbeda genre yang gagal dipasaran, "The Last Airbender" dan "After Earth" justru malah membuat namanya semakin redup dan terlupakan. Sampai akhirnya sutradara yang dikenal lewat keahliannya mengecoh penonton dengan plot twist-nya, Split kembali menjadi ciri khas lama M. Night Shyamalan yang menggabungkan unsur horror-suspense yang dicampur misteri berliak-liuk yang mengantarkanmu pada tumpukan misteri yang akan membuat bahagia di akhir cerita.

Kisahnya tentang tiga gadis muda Casey Cooke (Anya Taylor-Joy), Claire Benoit (Haley Lu Richardson) dan Marcia (Jessica Sula) yang diculik disebuah parkiran mobil oleh seorang pria misterius (James McAvoy) yang dikenal memiliki 24 kepribadian berbeda dan menyekap mereka bertiga disebuah ruangan tertutup dan gelap. Seperti yang kita tahu dari sinopsis awal bahwa tujuan pria tersebut adalah membangkitkan kepribadian terakhirnya yang ke-24 dan sebagai yang terkuat diantara 'mereka' yang dinamakan "The Beast".


Saat pertama kali saya mengecap level film Split sebagai sebuah film yang menegangkan secara intens seperti di film "10 Cloverfield Land" tahun lalu. Terbangun dan tersekap di ruangan sempit tanpa jendela bersama orang asing dengan gelagat mencurigakan dan aneh, semua yang saya rasakan selama hampir 2 jam menonton, Split ternyata film yang nihil sensasi yang tidak sedikitpun membuatmu merasakan ketegangan yang berarti. Split seperti apa yang saya rasakan pada film-film M. Night Shyamalan sebelumnya, mencampur teknik visual kelam dan dark dengan penyesuaian cerita yang kompleks terjerembab pada daramitisi psikologis dan DID (Dissosiative Identity Disorder) yang hilang moment keseimbangan.



Dari interaksi Casey, Claire, dan Marcia dengan tiap-tiap perubahan karakter Kevin Wendell Crumb (kepribadian utama), dimulai dari sosok Dennis, kepribadian yang superbersih dan rapih, yang merupakan otak dari penculikan mereka bertiga sebagai sandera. Hedwig, kepribadian anak 9 tahun yang polos. Patricia, kepribadian wanita atau ibu-ibu setengah baya. Barry, kepribadian yang menyukai fashion dan memiliki keahlian dalam merancang busana, karakter ini lebih sering berinteraksi di dunia luar dan berbincang dengan Dr. Fletcher (Betty Buckley). Dan terakhir, The Beast, sang monster yang dinantikan oleh semua kepribadian dalam tubuh Kevin sebagai evolusi makhluk terkuat yang pernah ada. Unfortunately, yang saya lihat hanyalah talk, talk, dan talk soal kepribadian Kevin yang dibicarakan bersama Dr. Fletcher mengganggu alur cerita, walau sequence itu sendiri sesungguhnya menguatkan detil cerita lebih menarik. Moment yang disuapkan oleh M. Night Shyamalan pada kita tidak terlalu akurat dan cenderung bermasalah dalam menampilkan ke-24 kepribadian tersebut secara memikat. Efeknya adalah melemahkan ketegangan yang justru cenderung terlihat seperti drama-psikologi yang terasa mondar-mandiri dalam bercerita.


Untungnya yang menarik disini adalah akting James McAvoy dan Anya Taylor-Joy (The Witch) yang cukup membangun konsep. Meski pada kenyataannya tidak ke semua kepribadian ditampilkan secara menyeluruh, dari ke-24 hanya beberapa yang mendominasi cerita karena sudah pasti keterbatasan durasilah alasannya. Tapi, bolak-balik berganti kepribadian menjadi tantangan tersendiri bagi McAvoy, dari sekedar berganti busana hingga ekspresi wajah yang acapkali berubah-ubah dan ekspresif. Diimbangi tokoh Casey yang depresif beserta penceritaan masa lalu kelam yang dihadapinya cukup mengacak-acak isi pikiranmu. Dan tentu saja motif besar M. Night Shyamalan adalah plot twist. Membuat kamu bertanya-tanya siapa Casey, siapa Kevin dan seluruh kepribadian yang ada dalam dirinya, dan apakah makhluk bernama The Beast itu ada, dan juga hal-hal lain yang tentu saja terus-menerus menuntutmu pada rasa ingin tahu yang lebih besar dari apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalamnya.


Yups, janji manis bagi M. Night Shyamalan yang berhasil mengeksekusi dan mempermainkan isi otak kita dengan mencoba-coba menebak twist ending berhasil memperdaya putaran otak yang mengintai kita sejak awal, menjadi satu-satunya alasan mengapa M. Night Shyamalan masih cukup brilliant mampu mendorong batas-batas imajinasi liar saya soal ending film ini. Dan juga salah satu alasan mengapa penikmat film-filmnya tetap menyukai sentuhan karyanya yang klasik meskipun memang konklusi Split tak ayal hanya mampu diterima segelintir orang. Dan juga sehubungan penyakit mental tentang 'identity disorder' cukup menjadi daya tarik sendiri membuat Split terasa seperti film misteri bercampur fantasy menjadi konsep yang terasa asyik. Meski M. Night Shyamalan sendiri harus cepat menyadari bahwa ia terlalu fokus untuk menampilkan efektifitas cerita yang mempengaruhi twist, tapi lupa mempertimbangkan bahwa perjalanan menuju kesana harus dibuat jauh lebih menarik dari ini.

You May Also Like

0 Comments