REVIEW FILM: Beauty and the Beast (2017)

by - Juni 29, 2017



Dibalik kegemilangan film fantasi Disney yang telah berhasil mencuri perhatian lewat Cinderella (2015) dan The Jungle Book (2016) yang sukses menyabet 1 piala Oscar pada kategori Best Visual Effects. Sepertinya gelora studio animasi terbesar Amerika Serikat tersebut semakin tergoda mengembalikan kejayaan film animasi klasik legenda mereka ke tampilan visual yang lebih cantik dan lebih realistis dengan pemakaian teknologi CGI modern. Meski pada awalnya tersandung kegagalan dalam mengembalikan esensi film aslinya seperti "Alice in Wonderland", "Alice Through the Looking Glass", "Oz the Great and Powerful", dan "Maleficent". Sepertinya Disney mulai menemukan titik terang dalam menemukan letak kesalahan yang mereka buat dalam membuat live-action film animasi tersebut.


Dengan mengikuti versi Beauty and the Beast (1991) sebagai versi original-nya sang sutradara Bill Condon yang pernah dipercaya menangani penutup film The Twilight Saga: Breaking Dawn ini tetap mengikuti versi aslinya dan tentu saja buat saya pribadi, "It's a wonderful!". Tatkala apa yang pernah saya nikmati di versi aslinya tetap menjelma menjadi cerita dongeng yang sangat luar biasa dan mengharukan. Ini benar-benar terasa bagaimana kepiawaian Condon tetap tidak mengubah esensial film aslinya seperti saat pertama saya mendapatkan kembali moment pengenalan karakter Belle (Emma Watson), dengan ciri khas drama musikal yang dinyanyikan oleh penduduk sekitar sepanjang kota tempat Belle tinggal yang pada saat itu ia dikenal warga sebagai gadis cantik namun dianggap sering bertingkah aneh dan berbeda oleh orang sekitar karena hobinya membaca buku (bookworm).


Dan tentu saja selama 129 menit film ini berjalan saya sangat berdecak kagum akan pengarahan cerita yang tidak mengkhianati cerita aslinya. Meskipun saya merasakan beberapa perubahan dan juga penambahan alur cerita, seperti latar belakang cerita antara Belle dan Beast di masa lalu yang tak pernah diceritakan di film animasinya dengan penambahan efek magical-nya. Dan juga beberapa penambahan lirik lagu pada "Belle", "Gaston" and "Be Our Guest" dan lagu barunya seperti "How Does a Moment Last Forever", "Days in the Sun" and "Evermore". Lalu, beberapa scene seperti Belle yang melihat ayahnya di dalam cermin yang mungkin dirubah untuk memastikan cerita lebih berkonflik dan mendorong karakter utamanya untuk beraksi lebih masuk akal. Tapi, karena pengarahan penulis naskah film ini yaitu Evan Spiliotopoulos dan Stephen Chbosky dalam filmnya "The Perks of Being a Wallflower" itu seperti sebuah pelengkap yang membuat saya yang sudah menonton versi animasinya tetap merasa merasakan ramuan fresh dan emosional dari versi live-action. Dan untuk efek visual dalam film ini pun meski tersaji dengan cukup sederhana namun semua terasa menakjubkan, bagaimana latar, furnitur-furnitur hidup, dan juga efek Beast pada Dan Stevens terasa menawan.


Dari segi teknisnya sendiri kita tak perlu meragukan lagi racikan visual fantasy Disney yang berasal dari sinematografer Tobias A. Schliessler yang betul-betul memanjakan mata tiap menitnya. Hamburan lightning lampu serta set dekorasi dari Katie Spencer yang sudah teruji keterampilannya pada film "Atonement" dan "Pride & Prejudice" terasa begitu glamour dan cantik. Meski untuk Costume Design sendiri meski terbilang menarik tapi masih kalah jauh dibanding gaun yang dipakai Lily James saat ia menjadi Cinderella, terbaik yang pernah ada. Dan untuk kualitas akting? Emma Watson adalah jawaranya, penampilannya disini menurutku melebihi perannya sebagai Hermione, meski acapkali nada sinis datang padanya karena karakteristik dirinya dan animasi sangat jauh berbeda. Tapi, aktingnya buat saya seiring vokal suaranya yang indah saat musik mengalun, ekspresi dan kepiawaiannya berperan terasa begitu beautiful enchanted. Aktingnya sebagai Belle yang cantik betul-betul hidup dan saya tak meragukannya sebagai wanita yang sangat cantik. Lain dengan peran Luke Evans sebagai antagonis yang awalnya saya cukup suka akan kecocokkannya berperan sebagai Gaston meski untuk persamaan suaranya dalam bernyanyi dengan Richard White kurang mengintimidasi dan kurang menawan.



Well, kehebatan Beauty and the Beast terletak pada elemen romantisme nya yang kedongengan tapi tetap penuh dengan pesan makna tentang arti kindness, inner beauty, honesty, dan love. Semua keindahan itulah yang kembali disajikan dalam film ini dengan sesuatu yang sangat hebat dan klasik. Ada komedi yang lucu, musik yang riang, pendalaman cerita tokoh yang lebih baik, visual yang kelewat cantik, dan tentu saja peran Emma Watson yang very charming. Mungkin dengan film-film Disney terakhir yang mulai terbukti kian membaik, sepertinya kita bisa menunggu dengan harapan yang lebih besar dengan beberapa film another live action of classic animation yang memang sudah direncanakan akan dibuat setelah ini. Dan mungkin juga suatu hari nanti animasi Ghibli akan kebagian jatah seperti ini juga.

You May Also Like

0 Comments