REVIEW FILM: Captain Fantastic (2016)

by - Juli 23, 2017



Ini bukanlah film mengenai seorang kapten dari sebuah tim olahraga terkenal, juga bukan seorang kapten (baca: Captain America) dari sebuah tim superhero, melainkan ini adalah film tentang sosok pria paruh baya yang memimpin sebuah keluarga yang terdiri dari 6 orang anak yang mengajari mereka cara hidup, ideologi serta prinsip yang bertubrukkan dengan pola hidup, aturan masyarakat serta perkembangan zaman. Captain Fantastic adalah sebuah tutur cerita yang unik dan komikal dari sebuah generasi mental yang sebetulnya dikisahkan tidak dari awal, namun langsung disuapi suatu kondisi dan permasalahan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan pria bernama Ben (Viggo Mortensen) yang saat itu sedang mengkhawatirkan kondisi istrinya yang tengah mengalami depresi berat.


Pada awalnya alur cerita film ini membuat saya bingung dan membuat saya bertanya-tanya, perihal cerita ini langsung memaksa saya berada di pusat masalah dan bukan mencoba memperkenalkan satu-persatu siapa ini dan siapa itu dan latar belakang yang coba dipondasikan. Tapi, melalui proses berjalannya cerita saya mulai mengetahui dan mengerti siapa Ben dan sefantastis apa dirinya. Ben yang kita kenal dalam film langsung include dalam posisinya sebagai bapak dari keenam anaknya yang diberi nama anti-mainstream yaitu Bodevan (George MacKay), Kielyr (Samantha Isler), Vespyr (Annalise Basso), Rellian (Nicholas Hamilton), Zaja (Shree Crooks), dan Nai (Charlie Shotwell). Dibawah asuhan ayahnya sendiri, mereka berenam tinggal dan hidup di pedalaman hutan, mengajari mereka berbagai hal yang tidak biasa seperti berburu rusa dan climbing. Dan tidak hanya, Ben pun mengajari dan mengasupi anak-anaknya untuk mempelajari dan mendalami ilmu seperti hukum, filsafat, dan sejarah. Semua diajarkannya dalam sebuah latihan rutin baik fisik, otak, dan mental.


Ini ibarat dunia dan surga bagi Ben yang ia ciptakan bersama anak-anaknya, tanpa mengenal dunia luar, masyarakat sosial dan hukum. Ben menciptakan dunia tanpa kesenjangan dan independensi murni kebebasan yang tak terikat kultur, norma maupun hukum masyarakat. Bahkan pada anak-anaknya sendiripun Ben mengajarkan sikap bebas berpendapat dan bebas melakukan apa yang mereka mau selama masih dalam koridor keluarga. Tapi, dengan tradisi yang dibuat Ben dalam keluarga kecilnya, semacam kebiasaan telanjang bulat kecuali pada saat makan atau merayakan hari rayanya sendiri, cukup menjadi bukti bahwa ada faham Marxisme dalam sistem kehidupan yang Ben emban kepada anak-anaknya. Meski begitu sisi positifnya Ben dan koloni kecilnya hidup rukun dan bahagia, bahkan cara didikan Ben pun sedikit demi sedikit mempengaruhi saya dan membuat saya bersimpati karena disini Ben tanpa mencoba mengotoriter keluarganya namun sanggup menghasilkan anak-anak yang cerdas secara literasi dan tangguh secara fisik, sehingga wajar jika bagi anak-anaknya pun Ben sangat dicintai baik figurnya sebagai ayah maupun sebagai pemimpin. Hingga masalah besar pun terjadi saat istri Ben dikabarkan meninggal karena bunuh diri dan memaksa Ben dan keenam anaknya kembali ke kota untuk menghadiri pemakaman ibunya.


Tapi disisi lain prinsip dan cara hidup Ben justru berseberangan dengan sebagian besar keluarganya yang lain, bahkan saudara iparnya menentang gaya hidup yang ditanamkan pada anak-anaknya yang berakibat rusaknya masa depan ponakannya. Bahkan mertua Ben, Jack (Frank Langella) menuduh dirinyalah yang bertanggung jawab atas kematian anak perempuannya karena pemaksaan ideologi yang ditanam dalam keluarganya. Dan disinilah kedua sisi saling bertubrukan dan bersilangan antara dunia yang dibawa oleh prinsip hidup Ben dengan kehidupan nyata dalam lingkungan mayoritas masyarakat yang realistis. Disinilah saya mulai merasakan ambiguitas dari ketidaksempurnaan hidup Ben yang dianut, ada sebuah bentrokan nyata yang sulit untuk tidak terlihat. Ada konsekuensi yang dihadapi Ben dan keenam anaknya, dibalik sistem hidup yang keren ditunjukkan olehnya beberapa kali pada segelintir orang. Ada disorientasi, kelemahan dan ketidaksiapan yang dihadapi Ben dan anak-anaknya dalam mengatasi situasi secara mental serta adaptasi mereka di lingkungan baru dan asing.


Ini mungkin hanya sekedar kisah fiktif belaka, namun kisah Captain Fantastic karya sutradara debutan Matt Ross ini cukup punya wadah besar dan satir dalam memproyeksikan masalah pembudayaan yang kontradiktif. Ditengah arus dunia yang semakin keras dan imbalance ada saja pertentangan yang mencoba menggebrak dasar-dasar aturan masyarakat dan lingkungan yang semakin kokoh. Meski disatu sisi saya sendiri cukup mendukung tindakan dan keyakinan Ben dalam pandangan hidupnya karena pengaruh hidup bebas, pengajaran berbagai filsafat dan ideologi, serta pendidikan fisik yang diemban kepada anak-anaknya. Tapi, disatu sisi saya cukup menentang keras tindakannya yang cukup banyak malah melenceng dari sistem kebebasannya yang justru kebablasan hingga berujung usahanya menutup diri bersama anak-anaknya dengan kehidupan luar akhirnya semakin memberi kesan rancu serta negatif pada dirinya. At the end, Captain Fantastic adalah kisah drama yang buat saya terasa manis, lucu, eksentrik, unik, dan juga begitu kontradiktif yang sangat luar biasa diperankan oleh Viggo Mortensen secara kompleks dan menarik.

You May Also Like

0 Comments