REVIEW FILM: The Autopsy of Jane Doe (2016)

by - Juni 27, 2017



Seringkali film horror popular akan memberikan kesan menarik dan happy-creepy apabila ia mempertontonkan media atau benda misterius yang menyimpan hal mistik yang seolah membawa sebuah kutukan dan malapetaka pada seseorang. Seperti yang lebih familiar kita kenal pada boneka Annabelle yang usil mengganggu dan mengusik, teror rumah angker Amytville, teror kaca Oculus dan juga jika kalian pernah ingat koleksi barang-barang milik paranormal pasutri, Ed dan Lorraine Warren di film The Conjuring, maka benda-benda horror tersebut seolah mampu menghantarkan rasa takut, teror dan ancaman bagi pemiliknya. Film "The Autopsy of Jane Doe" buat saya memiliki kesan yang sama dalam memberi teror yang teramat-sangat-keramat!, namun punya teknik berbeda dalam menyajikan media scared yang tidak biasa dalam teknik menakut-nakuti penontonnya. Ya, media happy-creepy nya yaitu sebuah mayat manusia.

Film ini di latar belakangi kasus pembunuhan misterius yang membuat polisi kebingungan dengan kejadian aneh yang terjadi di TKP setelah mereka menemukan sebuah mayat gadis muda bernama Jane Doe (Nama sementara yang dipakai untuk mayat tak dikenal) yang terkubur di area rumah ruang bawah tanah di lokasi kejadian. Tommy (Brian Cox) dan Austin (Emile Hirsch), kedua ahli forensik sekaligus ayah-anak ini ditugaskan untuk membedah dan melakukan otopsi pada mayat Jane Doe untuk menemukan bukti terkait pembunuhan. Namun, alih-alih menemukan bukti, mereka berdua malah terseret pada misteri dan rahasia gelap yang lebih besar terkait tubuh mayat Jane Doe tersebut yang justru membawa ancaman yang lebih berbahaya dan mengerikan bagi mereka berdua.

Buat saya The Autopsy of Jane Doe adalah sebuah paket yang hampir lengkap bagaimana konsep happy-creepy ini dibangun. Ada mayat, lokasi di kamar mayat, adegan gore dan menyayat-nyayat tubuh manusia karena ya konsepnya adalah otopsi, jump scare, misteri, dan tentu saja claustrophobia. Jujur saja, sudah lama saya tidak menonton film horror yang mampu membuat saya hampir berdegup jantung tak karuan dan tak bernafas lega tiap menitnya. Sang sutradara André Øvredal yang dikenal lewat karya popularnya Trollhunter (2011) ini membangun cerita dengan misteri-misteri ala detektif yang cukup intens dibangun demi mendapatkan atmosfer yang lebih gelap dan misterius. Kemudian tahap demi tahap Andre mulai membumbui secara halus gangguan-gangguan sekitar yang terjadi di ruangan yang terbatas dan sesak, dari ruangan otopsi sampai lorong kecil penghubung mereka menuju lift keluar dari bawah rumah pribadi milik mereka sendiri.

Dari sekedar mayat mengerikan sekaligus cantik Jane Doe dengan tatapan kosong terbujur kaku di atas meja otopsi, suara aneh di radio, lampu yang berkedap-kedip, kondisi cuaca badai diluar yang tak mendukung hingga kondisi kamar otopsi yang dipenuhi mayat-mayat didalam lemari yang tampaknya membuat atmosfernya betul-betul kian menakutkan. Atmosfer rasa dingin dan gelap seolah semakin tercampur dengan tabir kebenaran yang menyongsong tubuh Jane Doe yang semakin lama dibongkar isi tubuhnya semakin keduanya menemukan keanehan dan keganjilan luar biasa yang membuat kita semakin disuapi tanda tanya sekaligus teror bulu roma.

Well, menjejaki sebuah kombinasi hampir lengkap Jane Doe sebagai sebuah teror yang benar-benar menakutkan, membingungkan, menjijikkan, dan mengagetkan. Meski saya sebetulnya menginginkan sebuah aroma klimaks yang lebih tajam dari yang dilakukan Andre meski yah dirasa sudah cukup menjawab setiap pertanyaan di sepanjang film, tapi semuanya cukup memuaskan. Dan juga, kemampuan Olwen Catherine Kelly yang cukup luar biasa membuat dirinya mampu berakting mayat (bahkan telanjang) secara maksimum tanpa terlihat bohongan saat syuting. Dan, bagaimana film ini mengangkat hubungan ayah-anak yang juga tidak terkesan jelek dan chemistry keduanya film ini cukup asyik untuk ditonton.

You May Also Like

0 Comments