REVIEW FILM: The Girl on the Train (2016)

by - Januari 20, 2017



Mengangkat tema perselingkuhan dan masalah suami-istri berbalut thriller-suspense, sepertinya The Girl on the Train adalah salah satu film yang sangat dinantikan, setelah tahun 2014 lalu "Gone Girl" sukses memperlihatkan tragedi destructive dan manipulatif kehidupan rumah tangga. Dipegang oleh sutradara Tate Taylor, "Get on Up", "The Help". Dan di adaptasi dari sebuah novel 'best seller' karangan Paula Hawkins, cerita film ini memang mempunyai segudang misteri dan twist, terutama menyangkut wanita yang hilang dibalik selimut gelap drama perselingkuhan. Ya, film yang memang awalnya digadang-gadang akan sehebat karya Gillian Flynn dan David Fincher, tapi apa yang diharapkan pada akhirnya tidak sebaik kenyataan.

Rachel (Emily Blunt) adalah seorang alkoholik yang mengalami depresi setelah ia ditinggal oleh suaminya Tom (Justin Theroux) dengan alasan sifat istrinya yang kasar, pemabuk dan lagi tidak mampu memberinya seorang anak, berujung Tom berselingkuh dan menikah lagi dengan seorang agen perumahan bernama Anna (Rebecca Ferguson) dan memiliki seorang anak. Tidak mampu menerima kenyataan, dalam keadaan pengaruh alkohol Rachel seringkali berperilaku aneh, dari mengintip dan mengawasi rumah tangga ex-husband dari luar jendela kereta api, berkeliaran di lingkungan rumah Tom, hingga kedapatan dirinya menyelinap masuk ke dalam rumah dan membawa anak Tom keluar halaman.

Tidak sampai disitu saja, suatu hari pengasuh anak Tom, Megan (Haley Bennett) dinyatakan hilang oleh berita media. Detektif Riley (Allison Janney) melakukan penyelidikan dan investigasi terkait hilangnya Megan, dari spekulasi yang mengkaitkan suaminya sendiri, Scott (Luke Evans) yang tinggal di dekat rumah Tom hingga psikiater Megan, Dr. Kamal Abdic (Edgar Ramírez) yang belakangan hubungan mereka tampak lebih dekat. Dan juga menyeret Rachel beserta skandal kehidupan rumah tangganya yang juga dicurigai adanya keterlibatan dirinya dalam kasus Megan.

Bagaikan sebuah puzzle yang kompleks, tentunya Tate dan penulis naskahnya Erin Cressida Wilson harus mampu merangkai dan menyusun setiap kepingan cerita novelnya, agar membentuk satu kesatuan paragraf yang utuh. Tapi, sayangnya kompleksitas cerita film ini tampaknya terlampau rumit bagi mereka berdua, bagaikan benang kusut yang alurnya saling membelit satu sama lain. Erin dan Tate kesulitan menghadirkan susunan cerita yang memikat, bagaimana upayanya menyisipkan seluruh konflik dan persoalan yang ada dalam cerita, tapi justru hadir dengan latar belakang yang begitu sesak dan penjejalan alur cerita yang terasa sempit. Sehingga film ini tampak gagal menuntun eksploitasi sisi setiap karakter secara lebih tajam.

Mentengahkan cerita tiga orang wanita dari berbagai sudut pandang dan persepektif, The Girl on the Train memang menghadirkan tiga alur cerita yang mengalun secara acak dan pelan, mondar-mandir, maju-mundur tanpa satu adegan pun mendominasi. Tatkala Tate dan Wilson terus-menerus mencoba mengkonversi setiap halaman novelnya, mereka terjebak dalam narasi cerita yang justru tidak berbobot. Bahkan hal ini berdampak pada tokoh-tokoh yang sebenarnya berakting sangat ciamik oleh ketiga wanita cantiknya, Emily Blunt, Rebecca Ferguson dan Haley Bennett, terlihat tampak kacau balau. Berbekal kejutan demi kejutan yang dirangkai setiap babak pun tidak mampu membangun ceritanya yang sedari awal film ini sudah ditumpuki berbagai problem karakterisasi personal yang membingungkan.

Sebetulnya, pola yang ingin dibangun oleh Tate dan Wilson adalah untuk bisa menumpahkan seluruh isi materi novel yang ada menjadi thriller-mystery penuh intrik, ada segelintir pembangunan psikologis destructive melalui penderitaan dan kesedihan bercampur aduk dalam sisi wanita yang diperankan oleh Emily Blunt. Juga rasa tidak bahagia dan penderitaan psikis yang dirasakan Megan, karena perilaku posesif dan pengekangan oleh suaminya. Lalu Anna, sebagai sindiran seorang wanita yang terlihat hidup bahagia namun terproyeksi sebagai seorang selingkuhan. Ada sequence yang menyentil tindak kekerasan, kepahitan, rasa kesepian, godaan nafsu dan penggapaian masalah psikologis lainnya, yang sayangnya tidak ada satupun gejolak emosi yang melekat, bahkan saat menghadirkan sebuah ketegangan pun hampir tak terasa hadir sedikitpun.

Well, merangkai sebuah cerita novel yang penuh dengan berbagai kompleksitas cerita yang dipenuhi intrik, ditambah membangun setiap personal karakter yang tidak sedikit adalah tugas yang berat. Apalagi materi yang didapat berasal dari 'best-selling' novel, sudah pasti ingin menyajikan paragraf dan tulisan dari tiap lembar cerita misteri menjadi visual yang mencekram adalah sebuah konsekuensi besar. Setiap orang punya harapan, bahkan berharap bahwa film The Girl on the Train punya wahana secerdik novelnya, memang sama sekali kurang memuaskan, walaupun saya sendiri belum membaca bukunya, tapi saya punya ekspetasi besar bagaimana akhir klimaks film ini pun sudah mencerminkan bagaimana bukunya ini bisa dicintai oleh penggemarnya hingga sukses terjual sampai jutaan copy.

You May Also Like

0 Comments