REVIEW FILM: Siti (2014)

by - Januari 21, 2017



Mungkin memang wajar jika film berjudul Siti garapan sutradara Eddie Cahyono ini bukanlah film yang terkenal dan asing ditelinga, bahkan sejak penayangannya 2014 lalu Siti tidak langsung beredar dalam bioskop-bioskop umum di Indonesia, justru Siti pertama kali ditayangkan di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014. Meski terbilang film indie, tapi Siti telah memenangkan beberapa penghargaan di dalam bahkan di luar negeri, salah satunya sebagai Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2015 lalu. So, seperti apakah film yang dibuat dalam format hitam-putih, rasio gambar 1.33 : 1 dan juga pemakaian dialog bahasa jawa yang kental? Mari kita simak ulasannya berikut.

Sesuai judulnya, film ini akan mengedepankan sekelumit kehidupan seorang wanita bernama Siti (Sekar Sari) yang tinggal di pinggir pantai Parangtritis. Siti hidup bersama dengan mertuanya Darmi (Titi Dibyo), anaknya Bagas (Bintang Timur Widodo) dan suaminya Bagus (Ibnu Widodo). Semenjak tempat karaoke dimana Siti bekerja dan mencari nafkah harus ditutup paksa oleh petugas kepolisian, Siti terpaksa harus mencari kembali pekerjaan lain lantaran semenjak suaminya terbaring lumpuh dan sakit, Siti lah satu-satunya tulang punggung keluarganya tidak hanya untuk menghidupi keluarganya tapi juga ia harus melunasi hutang suaminya yang masih menunggak.

Jika membaca sinopsis diatas sesungguhnya Siti memang bukan tipikal film yang menyenangkan untuk ditonton, Siti menjabarkan cerita yang sangat sederhana, menyinggung sisi masyarakat kelas bawah dengan segala realita kehidupan yang cukup familiar, Mencoba berbagi tawa dan senyum akan sebuah keluarga tapi juga tercampur oleh sebuah duka dan rasa derita yang begitu dalam tentang mencari makna hidup. Diparuh awal kita diperkenalkan latar belakang kehidupan Siti dan keluarganya yang tinggal disebuah rumah gubuk tua, dari sekedar mengurus anak semata wayangnya Bagas yang tidak mau pergi ke sekolah, ibu mertua baik yang selalu membantu mengurus rumah, hingga merawat suaminya yang enggan berbicara sepatah katapun dengannya.

Film ini awalnya memang cukup melelahkan dan membosankan, Eddie menuntun kita menelusuri setiap problematika familiar yang sebetulnya gampang untuk diterka, apalagi dengan penerapan cerita yang terlalu panjang lebar dan take long shot, sedikit percakapan, sedikit scoring, dari cuma sekedar obrolan-obrolan biasa, candaan, hingga nasihat-nasihat kecil. Melalui potret kecil dari wanita yang mencoba terus tersenyum saat ia berhadapan dengan penderitaan dan keterpurukan yang berusaha ia tutup-tutupi. Tapi, film ini memang cukup berhasil menggambarkan seorang wanita yang layaknya sudah jatuh tertimpa tangga, namun tetap berusaha mencoba bangkit kembali.

Kemudian saat pertengahan film, Eddie mulai membuka satu tabir yang membolak-balikkan gambaran seorang Siti yang sejak awal digambarkan seperti sebuah kertas putih. Dari riasan dan pakaian, seolah sosok Siti yang telah tertanam di awal menghilang digantikan oleh sosok lain yang lebih gelap. Sederhana tapi cukup meyakinkan bahwa peran Sekar Sari berhasil memberi nyawa pada Siti, ia berhasil menghidupkan realitas kehidupan hanya dari sikap, dialog, dan pergerakkan hidupnya yang tampak apa adanya, bahkan saat adanya scene Siti yang berada dalam kamar mandi yang cukup menohok.

Menjadi cerminan sosial dan moral ketika film ini sedikit menyentil hati  nurani saat semua itu dilakukan karena keterpaksaan kondisi dan keadaan. Tapi, Siti hanya mencoba memberikan kita rasa peduli dan sebuah sindiran hidupnya yang tajam, tanpa menghadirkan emosi batin yang lebih kuat. Siti terlalu monoton dalam bercerita, apalagi saya kurang melihat pergolakkan batin yang kurang natural dan kurang saya terima, apalagi pertengkaran kekanak-kanakkan antara Siti dan suaminya Bagus yang enggan berbicara. Apalagi soal Bagas yang mengadu pada Siti soal hantu di sekolah, terasa absurd dan hanya mengarang-ngarang saja.

Well, film Siti memang bisa menjadi sebuah sindiran kecil tentang tragedi moral dari sosok wanita yang menapaki jejak hidupnya yang gelap. Ada sentilan moril antara hidup susah dan terhimpit oleh paksaan kondisi, meski ia tetap menghadirkan rasa cinta, rasa peduli, kesetiaan, pengorbanan dan juga rasa benci dari caranya film ini berbicara dengan sangat jujur. Tapi, sayangnya Eddie memang tidak memainkan ceritanya lebih emosional, justru ia menampilkan karakternya secara lebih subjektif. So, Siti mungkin bukanlah film yang gampang diterima secara publik, hadir dengan cerita yang terlampau puitis, tapi ia memperlihatkan potret hidup manusia yang sebetulnya bersembunyi di sekitar kita.

You May Also Like

0 Comments