REVIEW FILM: After the Storm (2016)

by - Januari 23, 2017



Jika melihat beberapa film jepang yang berkualitas, selain membicarakan karya-karya Hayao Miyazaki dan studio Ghibli yang akan pensiun. Maka salah satu sutradara yang  patut diperhitungkan di negara 'matahari terbit' ini adalah Hirokazu Koreeda. Nama Koreeda sudah cukup terkenal bahkan sudah berkali-kali mendapatkan penghargaan bergengsi baik nasional maupun internasional, dimana dirinya selalu sensitif menyinggung masalah hubungan keluarga dalam filmnya. Hingga tahun 2014 lalu saya sempat dihentakkan oleh salah satu film garapannya yang sanggup memberi renyuhan emosional kepada pria yang bahkan buat yang belum menikah dan mempunyai anak seperti saya, bisa merasakan emosi seorang bapak dari film "Like Father Like Son".

Nah di tahun 2016 ia telah meluncurkan dua buah film terbarunya yang sama-sama mengangkat tema sensitif tentang arti kasih sayang dan cinta sebuah keluarga, salah satunya yang baru sempat saya tonton After the Storm aka Umi yori mo mada fukaku. Film ini sebenarnya cukup sederhana dan justru apa yang diceritakan oleh film ini sebenarnya sudah terasa familiar dan hampir setiap film drama ataupun sinetron keluarga manapun sudah pernah mengangkat tema serupa. Tapi, tentu saja ini bukan drama keluarga biasa yang bahkan jauh dari cerita klise semacam sinetron, film ini sendiri hampir mirip dengan kakaknya Like Father Like Son, saat logika dan kepastian seketika dapat runtuh saat 'hati' dan 'emosi' berbicara.

Shinoda Ryota (Hiroshi Abe) adalah pria yang bekerja sebagai agensi detektif sekaligus baru saja sukses menapaki karirnya sebagai penulis novel. Tapi, sayangnya ia sedang mengalami krisis keretakkan rumah tangga bersama istrinya, Shiraishi Kyoko (Yoko Maki) dan juga terpaksa berpisah dengan anak laki-laki kesayangannya Shingo (Taiyo Yoshizawa). Sehingga suatu hari ia mencoba mengunjungi apartemen tempat ibunya Shinoda Yoshiko (Kirin Kiki) tinggal untuk mencari peninggalan ayahnya yang baru saja meninggal, berupa gulungan berharga ratusan ribu yen yang disimpan disana, guna untuk tetap bisa menunjangi kehidupan anak dan istrinya. Sampai suatu hari sebuah badai hujan menerpa kota yang memaksa Ryota, Kyoko, Shingo dan Yoshiko dalam kondisi tak terduga terjebak dan tinggal di dalam apartemen Yoshiko.

Mungkin bagi yang sudah membaca sinopsis pendek dari beberapa website atau blog umum, terlebih dahulu mungkin sudah terbayang apa yang akan terjadi dalam film ini, bahkan arti dari judulnya saja sudah pasti menceritakan tentang sebuah keluarga yang terjebak di dalam sebuah apartemen karena hujan badai. Tapi, bukan itu sepenuhnya inti cerita yang ingin diperlihatkan, karena sudah pasti tujuan film ini bukan genre thriller ataupun horror, bahkan adegan terisolasi dalam satu tempat ini dipakai di akhir cerita sebagai satu-satunya kunci jawaban dari hubungan retak yang terjadi dalam keluarga ini, yang dipakai untuk memborbardir emosi dan perasaan tiap tokoh sampai ke akar-akarnya. Karena hampir separuh film ini berjalan adalah drama sederhana tentang keretakkan hubungan rumah tangga, rasa kehilangan, rasa rindu, kasih sayang dan cinta pada tiap-tiap orang didalamnya.

Perlahan tapi pasti, meski kita menjumpai sebuah drama kehidupan dari seorang pria bernama Ryota dengan sekelumit masalah yang dialaminya, tapi After the Storm menyajikan drama berkualitas bagaimana Koreeda menggali sedalam-dalamnya latar belakang tiap orang beserta emosi, sifat dan hubungan terjadi diantara mereka. Ya, film ini adalah bentuk kesabaran Koreeda membentuk chemistry dan pengenalan karakter dengan sangat dalam. Bahkan ada salah satu karakter yang sebetulnya tidak dimunculkan dalam gambar dan foto, tapi seolah ia bisa 'exist' ditengah-tengah cerita, bahkan pengaruhnya dalam cerita pun sangat kuat, dimana hanya dengan mengetahui sifat dan karakternya kita mampu mengilustrasikan sendiri siapa dia dari persamaan orang-orang yang pernah ada disekitarnya.

Koreeda paham betul bagaimana naskah cerita yang ia buat yang tampak sederhana tapi menjadi sedikit komplikatif dengan hadirnya berbagai karakter yang muncul. Dan tentu saja yang menjadi sorotan terbesar adalah Ryota, pria yang dipuji bak orang pintar dan sukses tapi nyatanya punya segudang masalah hidup dan sifat buruknya yang kacau balau, dari hobinya bermain judi, berhutang sana-sini, memutar balikkan fakta kliennya, membohongi bossnya, hingga menguntit istrinya sendiri.

Walau pada dasarnya hal yang ia lakukan hanya demi keluarganya, tapi sifat inilah sebetulnya wadah cerita yang ingin ditonjolkan oleh Koreeda, antara kita ingin berempati ataupun bersimpati pada Ryota. Saat dimana kita mengerti keputusan istrinya Kyoko yang ingin bercerai dengannya, tapi juga ada rasa iba melihat penderitaan Ryota karena masih adanya rasa cinta dan sayang yang ia tunjukkan pada Shingo dan Kyoko dengan rasa putus asa.

Dan juga bagaimana Koreeda Tak tergesa-gesa dalam bercerita dan mengemas setiap hubungan yang dibangun dengan komunikatif terjadi pada tiap karakter, hingga pada akhirnya pun dengan obrolan-obrolan sederhana tapi sangat mengena cukup memberi gambaran betapa pintarnya Koreeda mengemas dialog-dialognya secara menarik dan quotable. Bahkan saya suka tentang salah satu kata-kata yang Kyoko lontarkan pada Ryota tentang arti sebuah hubungan yang lebih dewasa yang sesungguhnya tidak membutuhkan cinta. Ya, apalagi korelasi tiap tokoh benar-benar terasa reliable dan sangat berarti.

Well, ini mungkin memang film yang sangat sensitif menyinggung tentang bagaimana membangun sebuah rumah tangga, bagaimana peran cinta dan kasih sayang dalam sebuah keluarga, hingga pengenalan karakter yang lebih dewasa dalam bersikap dan bagaimana menjadi teladan yang baik bagi keluarga. Tidak bermaksud mengajari tapi seperti inilah film ini berbicara.

You May Also Like

2 Comments

  1. Keren reviewnya, emank filmnya nyentuh.. sempet nyesek pas adegan dikamar, pas si ryota bilang ke yoko maki lo udah pernah begituan ;( pas dijawab udah... gw bsa ngerasain diposisinya ryota berasa nyesek banget.. #ngehek ni film..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebelumnya terima kasih sudah komen di lemonvie...

      Yeps, betul film-filmnya Koreeda memang pintar mengolah emosi setiap karakternya, tidak berlebihan dan terkesan natural, ada isu tentang hubungan keluarga.

      apalagi caranya melakukan pendekatan emosi penonton kepada para karakternya pun cukup murni bikin kita merasakan apa yang dirasakan tokohnya.

      Hapus