REVIEW FILM: The Monster (2016)

by - Januari 30, 2017



Siapa sih yang tidak takut monster? Monster menurut om 'wiki' adalah "makhluk yang bentuk atau rupanya sangat menyimpang dari yang biasa atau bisa juga makhluk yang berukuran raksasa". Ya, salah satu contohnya adalah "Godzilla". Tapi, mungkin sekarang image godzilla tidak seseram dahulu, apalagi setelah kita sudah menyaksikan salah satu film "Gareth Edwards" yang justru makhluk sebesar itu ada hanya untuk menjaga keseimbangan alam. Tapi, lain cerita dengan "Jurassic World" yang memang cukup berinisiatif memberi banyak teror ketegangan makhluk purbakala yang berbahaya dan juga pintar. Tapi, sebenarnya itu belum cukup menghadirkan gelora kengerian sebenarnya dari yang namanya monster, karena film itupun masih lebih cocok sebagai film sci-fi ketimbang horror. Nah, Film The Monster garapan sutradara Bryan Bertino yang sekaligus merangkap penulis skenario mungkin bukan film besar yang kemarin pernah mampu bercokol masuk dalam tangga box office. Apalagi dengan budget $2,700,000 film ini sedikit tampak murahan. Tapi, ternyata The Monster bukan film biasa, justru film iniah yang kembali menghadirkan kembali sosok monster sebenarnya yang sanggup bikin orang-orang teriak histeris.

Film ini awalnya akan menceritakan tentang hubungan ibu dan anak, yaitu ibu muda bernama Kathy (Zoe Kazan) dan anak gadisnya Lizzy (Ella Ballentine). Meski mereka sedarah sekandung, tapi hubungan Kathy dan Lizzy seperti kakak-beradik yang selalu tidak akur dan sering bertengkar. Ya, ini karena perilaku dan sifat ibunya yang buruk dan disorientasi, dari hobinya merokok hingga menenggak minuman beralkohol. Karena sifat buruk dan kacaunya, maka Kathy yang terlebih dahulu telah berpisah dengan suaminya kini ia pun terpaksa harus berpisah juga dengan Lizzy yang meminta ibunya agar mengantarkannya ke tempat ayahnya di kota.

Tapi, perjalanan mereka yang cukup jauh meski dengan menggunakan mobil, terpaksa harus terhenti ditengah jalan. Karena, mobil yang mereka kendarai kandas setelah hampir menabrak seekor serigala liar yang sedang berdiri di tengah jalan. Karena kondisi mobil yang telah rusak, Kathy dan Lizzy terpaksa berhenti sementara waktu di tengah hutan dan gelap, hingga mereka mencoba meminta bantuan pada petugas montir dan ambulans yang datang menolong. Tapi, sebelum bala bantuan datang, Lizzy mulai merasakan hal ganjil dan aneh perihal serigala yang mati dengan tubuh penuh luka. Hingga akhirnya Lizzy perlahan menyadari ada sesuatu mengintai dan mengancam dirinya dan ibunya dibalik hutan misterius.

Film ini memang cukup berhasil merangkum aspek kengerian dan atmosfer creepy. Dengan hampir seluruh tone hitam dan gelap menyelimuti film ini, memang tampaknya Bertino mencoba meyakinkan penontonnya bahwa film ini akan diselimuti hal-hal misterius dan menyeramkam. Dan soal monster, layaknya film-film medioker, monster di film ini bukan monster yang memang sembarang muncul. Ia sesekali hadir dengan beberapa suara mengeramnya yang mengerikan dan layaknya seekor monster ninja yang mengancam dan berburu secara diam-diam. Kemudian, tiba-tiba selalu ada hal mengejutkan dan tak terduga muncul di sela-sela kepanikan Kathy dan Lizzy yang bersembunyi didalam mobil, hingga saya cukup mengakui jump scare yang dihadirkan Bertino berhasil bikin saya jantungan dan melompat dari kursi. Ya, semacam klaustropobia, tidak bisa kemana-mana, tak bisa apa-apa, hanya bercokol disitu saja sudah cukup Bertino memanen segala hal mengerikan dibalik hutan tersebut.

Apalagi saya cukup impresi dengan keinginan Bertino mencoba lebih pintar dalam bercerita, hingga segala objek benda dari pemantik pun dipakainya sebagai polesan cerita. Ditambah, beberapa ide yang sebetulnya sudah beberapa kali dipakai di film-film horor modern lainnya juga turut dimasukkan oleh Bertino dalam plot ceritanya. Tapi, sayang apa yang dia upayakan untuk mencoba bercerita lebih cerdas malah terlihat agak dangkal dan tidak masuk akal. Ya, ada hal-hal yang memang Bertino tidak cukup menyajikan ceritanya sepintar dan selogis yang penonton terka. Justru hal-hal absurd dan kebodohan-kebodohan karakternya membuat saya bertanya-tanya dan menilai betapa jeleknya naskah yang Bertino buat. Meski tidak semuanya terlihat bodoh, dengan beberapa adegan yang di eksekusi dengan baik, beberapa momen memang tidak membuat film ini benar-benar terjerembab oleh cerita yang foolish-full.

Dan juga film ini tidak sepenuhnya jelek dalam bercerita. Meski Bertino membuat film ini dengan pola alur maju-mundur, dengan flashback cerita yang tiba-tiba muncul ditengah ketegangan dan tensi yang sedang naik. Tapi, sequence itu justru tidak membuyarkan atmosfer yang dibangun, justru sedikit demi sedikit film ini mengungkapkan latar belakang dan proses pendekatan kita pada dua karakternya, Kathy dan Lizzy. Yang justru hal tersebut berhasil membangun cerita yang sebetulnya jika tanpa kisah flashback, mungkin film ini akan terasa monoton tanpa kehadiran sisi personal karakter beserta permasalahan hidupnya. Dimana, ada pengembangan karakter yang tadinya saling membenci, karena beberapa kali momen bisa tercipta hingga menyadari keduanya sebetulnya memiliki ikatan batin antara ibu dan anak yang sesungguhnya tetap saling menyayangi dan mencintai.

Well, The Monster mungkin bukan film yang sempurna dengan segala kekurangan yang masih terasa sangat mencolok. Tapi, jika mencoba mencari-cari film horror monster yang terasa benar-benar bikin mencekik dan bikin panik, mungkin film Bertino salah satu jawabannya. Apalagi film ini juga menawarkan selipan cerita drama yang lebih dewasa dimana menyentil moral dan kehidupan antara ibu dan anak yang terasa sedikit ironis. Dan juga penggambaran bahwa sejahat-jahatnya atau seburuk-buruknya seorang ibu ia tetap menyayangi dan melindungi anaknya yang ia sayangi, dan sebenci-bencinya anak kepada ibu ia juga tetap menyayangi dan mencintai ibunya seperti apapun dia.

You May Also Like

0 Comments