REVIEW FILM: The Meddler (2016)

by - Desember 11, 2016



Kehadiran seorang anak tentunya adalah sebuah kebahagiaan utama bagi setiap ibu manapun di dunia. Bahkan seperti kita tahu bahwa naluri seorang ibu untuk tetap bisa dekat dengan anaknya adalah sifat alami yang terjadi pada orang tua. Tidak hanya ingin terus berdekatan tapi juga berusaha untuk mengetahui, mengerti, dan memahami apa saja yang terjadi dalam kehidupan anaknya. Tapi, sebaliknya bagi sebagian anak tentunya kehadiran ibu yang terlalu kepo dan mengurusi setiap hal yang terjadi pada anaknya kadang membuat seorang anak risih dan merasa terganggu. Film dengan judul The Meddler karya sutradara Lorene Scafaria (Seeking a Friend for the End of the World) sekaligus penulis naskah film ini akan sedikit menyinggung kehidupan antara seorang ibu dan putri semata wayangnya yang sedang tidak akur karena beberapa hal yang sama seperti apa yang disinggung barusan.

Menceritakan tentang seorang wanita paruh baya bernama Marnie Minervini (Susan Sarandon) yang ketika itu tampak bahagia dengan sebuah iphone baru ditangan, apartemen dengan suasana pepohonan yang rindang, dan memiliki sejumlah rekening bank bekas suami tercintanya yang telah meninggal. Marnie pindah dari kota New Jersey ke kota New York demi dapat tinggal lebih dekat dengan putrinya, Lori (Rose Byrne), seorang wanita yang bekerja sebagai penulis naskah. Tapi, sayangnya kehadiran Marnie sendiri tak begitu disukai oleh anaknya tersebut, karena bagi Lori ibunya tampak tidak memiliki kegiatan lain selain mengkepoi seluruh kehidupan dan kegiatan dirinya. Hingga suatu hari Marnie mengerti situasi yang terjadi dari ketidakakuran antara dirinya dan anaknya, mencoba mengikuti saran anaknya untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain.

Tidak sulit buat The Meddler untuk membuat saya jatuh hati dengan jalinan ceritanya yang sederhana namun terasa menarik dan gampang disukai dengan beberapa guyonan simplenya. Mungkin The Meddler sendiri bukanlah cerita yang nantinya akan sepenuhnya berfokus pada hubungan naik-turun dan pertengkaran demi pertengkaran antara ibu-anak. Tapi, Lorene Scafaria jauh lebih memfokuskan pada kisah personal yang dialami seorang wanita beranak tunggal ini dengan kisahnya yang bercampur antara kebahagiaan dan kesedihannya. Bukan berarti apa yang disajikan The Meddler tampak tak begitu compatible, justru disini ada sebuah tolak ukur tentang apa yang dirasakan seorang ibu kala ditinggalkan oleh beberapa orang yang disayanginya.

Saya pernah mendengar bahwa semakin tua umur seseorang maka keinginannya untuk lebih dianggap dan diperhatikan oleh orang lain semakin besar. Upaya seorang Marnie ditengah kesepian dan kesendiriannya berusaha untuk tetap mendapatkan perhatian bahkan wanita yang tetap terlihat agak nyentrik di usianya yang sudah tidak lagi muda ini mencoba tetap eksis dengan keberadaannya dan bersosialisasi dengan orang-orang disekitarnya, baik dengan seorang sales apple berkulit hitam bernama Freddy bahkan hobinya yang sering ikut nimbrung saat teman-teman anaknya Lori mengadakan sebuah acara. Apalagi dengan tingkah royal Marnie kepada orang lain yang sebenarnya sangat lovable tapi juga ketika anggapan seorang psikolog anaknya menganggap perbuatannya sadly.

Sejujurnya saya malah begitu simpatik dengan kepribadiannya dan justru harus ditiru oleh banyak orang. Saya pikir kebanyakan orang bersedih hati dan galau ketika merasa kesepian ketika ketidak pedulian oleh anaknya sendiri justru nampak tak hadir dalam diri seorang Marnie. Yang saya lihat adalah sosok yang cukup ceria dan terus bahagia bagaimana caranya untuk tetap hadir dalam kehidupan, caranya untuk disukai oleh orang lain dan juga ketulusan hatinya. Memang segala tindakannya bertujuan untuk menghilangkan rasa kesepian dari anaknya yang merasa terkekang olehnya. Tapi, disisi lain saya sepenuhnya menyukai perbuatan-perbuatan wanita ini.

Dibalik kisah dingin dengan anaknya Lori, Marnie juga kedatangan seorang pujaan hati sebagai kisah asmaranya yang baru, seorang pensiunan polisi, Zipper (J.K. Simmons). Pria baruh baya yang juga akhirnya membuat kehidupan Marnie menjadi lebih menarik. Pria luwes dan gentle ini mengingatkan saya pada film I'll You See In My Dreams karya Brett Haley, yang sama-sama mengangkat cinta paruh baya yang dipertemukan secara tidak sengaja. Peran pria pecinta dan pemelihara ayam ini pun cukup memberikan pesona yang lucu dan unik yang membuat Marnie semakin menyukai dan terikat padanya. Nah, mungkin saya agak lupa menceritakan karakter Lori yang diperankan oleh Rose Byrne. Mungkin pada bagian ini tidak begitu banyak menampilkan performa akting dari seorang Rose Byrne. Tapi, sedikitnya penampilannya disini cukup andil dalam membangun kisah yang sepenuhnya tidak menyebalkan dan memaklumi setiap kondisi yang terjadi dalam karakter seorang Lori yang juga sama-sama kesepian dan kehilangan.

Well, mungkin kekurangan dari film The Meddler yaitu saat Lorene Scafaria tampak kebingungan dalam menentukan dan menjabarkan ceritanya pada saat pra-ending (Bukan pada endingnya). Saat semua konklusi cerita dikemas secara terburu-buru tanpa membuat sebuah jalinan cerita yang terkemas dengan baik. Tapi, untungnya itu tidak benar-benar menjadikannya akhir yang buruk, tentunya The Meddler masih terasa manis untuk tetap berusaha lucu dengan bumbu komedinya yang sederhana dan menarik. Film bertajuk hubungan dingin antara ibu dan anak ini memang berusaha menyelipkan sebuah cerita yang terasa simpatik dan mudah disukai.

You May Also Like

0 Comments