REVIEW FILM: Headshot (2016)

by - Desember 13, 2016



Tak bisa dipungkuri bahwa genre action-thriller dengan elemen martial arts brutal telah merubah image perfilman Indonesia dan juga lompatan besar bagi mimpi Indonesia untuk sampai bisa dilirik dunia, semenjak Gareth Evans memotori dua karya besarnya, The Raid: Redemption dan Berandal. Sesaat setelah ditinggal pergi oleh sang sutradara berkebangsaan Wales tersebut, kemudian The Mo Brothers, Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto terinspirasi untuk membuat film yang sama dan menaruh kembali Iko Uwais yang sedang naik daun sebagai lakon utamanya. Headshot merupakan sebuah upaya yang cukup berhasil memberikan kembali esensi ketegangan dan adegan kekerasan tingkat tinggi dari seni bela diri yang dimiliki oleh tanah air ke ranah Internasional.

Seorang pria tak dikenal sebut saja Ishmael (Iko Uwais) terkapar di sebuah pantai, ditolong oleh seorang wanita cantik bernama Ailin (Chelsea Islan) yang merupakan seorang dokter. Setelah siuman Ishmael mengalami amnesia sehingga ia tak tahu siapa dan apa yang telah terjadi padanya. Hingga ternyata Ishmael harus berurusan dengan salah seorang boss gangster berbahaya bernama Lee (Sunny Pang) yang mengancam nyawa Ishmael dan juga Ailin.

Film yang dibawa ke 'Toronto International Film Festival' (TIFF) ini memang cukup berhasil membuat saya berdecak kagum dengan kepiawaian duo mo-brothers menggarap koreografi silat ekstrim ini setingkat dengan yang dimiliki oleh Gareth Evans. Pasalnya, dari bantingan, bacokan, tusukan, peluru-peluru tertembus tubuh dan kepala, tulang-tulang yang patah, dan daging robek dalam skala gila-gilaan dan sama-sama membuat yang menonton pun mendapatkan efek ngilu dan kesakitan. Memang Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto sudah piawai membawa sesuatu yang bersifat gore dan bloody dengan kedua film terdahulunya yang punya tingkat kekerasan ekstrim (Killers dan Rumah Dara (Macabre)).

Dengan gerak-gerik kamera yang mengikuti setiap gerakan dan koreografi aksi Iko Uwais dan juga aktor lainnya, seperti juga untuk bagian teknis dan juga berbagai adegan-adegan baku hantam di setiap tempat berbeda mengingatkan saya dengan adegan game fighting yang sering kita mainkan dalam sebuah console game, dari lokasi sebuah sel penjara, dalam bus, dalam bangsal, kantor polisi dan dipinggir pantai memang cukup bangsat dan jempolan walau memang buat saya pribadi tidak semuanya benar-benar melekat seperti adegan Berandal di lapangan penjara berlumpur. Tapi, Mo Brothers agak membedakan beberapa koreografer baku hantamnya dengan menyelipkan aksi komedi yang sebelumnya tidak dibawakan oleh Gareth Evans. Cukup menarik.

Tapi sungguh disayangkan film yang beberapa dialognya sering terdengar kata 'ANJING' ini lemah dibagian cerita. Mo Brothers sesungguhnya ingin membumbui kisah romansa antara Ishmael dan Ailin. Justru apa yang didapat adanya ketidak klopan antara kisah cinta Ishmael dan juga aksi baku hantam Headshot. Bahkan hubungan antara mereka terlihat maksa dan terkesan malah mirip drama sinetron dengan dialog chessy-nya, ketimbang cerita yang terasa intim dan lebih emosional. Jejak-jejak drama sinetron Indonesia ini rupanya masih tidak bisa dilepaskan oleh Indonesia kala atmosfer ketegangan Headshot pun harus kacau dengan beberapa adegan tersebut.

Tidak jarang bahwa Headshot juga terlihat keteteran dalam bercerita ketika ia pintar dan kuat di awal tapi kemudian terlihat amburadul di belakang. Apalagi sequence aksi dalam adegan baku hantam Headshot juga tampak aneh dan alurnya terkesan maksa. Terlihat juga ketika aksi Iko Uwais ini melompat dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara berceritanya yang tampak abnormal. Apalagi disini kita harus kembali lagi dengan selingan drama sinetron yang terasa ga klop yang kembali lagi merusak suasana dan jalan cerita. Apalagi misteri-misteri yang dibangun di awal sedikit demi sedikit terasa hilang ketika kita tak lagi bertanya apa, kenapa dan siapa, setelah film ini selesai, apalagi dengan kejutan di akhir yang membuat saya bingung dengan konklusi tak nyambung dan ending yang ikut-ikutan maksa untuk ada.

Tapi, dibalik itu semua untuk para casting yang ikut bermain di film ini juga tak begitu mengecewakan, walau amat disayangkan, my lovely favorite actress from Indonesia, si cantik keturunan Prancis, Julia Estelle. Ga segarang dan se-badass seperti perannya di Berandal sebagai Hammer Girl. Dan juga dua pemeran utamanya Iko Uwais yang harus lebih banyak belajar akting dengan mimik wajahnya yang masih terlihat kaku dan Chelsea Islan sendiri yang memang cantik tapi perannya sebagai Ailin juga terasa sama-sama kaku. Disini saya cukup menyukai akting Sunny Pang sebagai Mr. Lee, boss yang terlihat berkarisma, pintar dan jahat (Saya juga tak menyangka bahwa Lee disini ternyata boss yang jago beladiri), membuat saya merasa pantas bahwa dirinya adalah boss yang lebih jahat dan lebih berakal dari Tama (Ray Sahetapy), walau saya tak suka logat campur-campurnya antara Inggris dan Indonesia. Dan juga beberapa aktor lainnya yang terlihat ikonik dengan kemampuan dan senjata beragam yang mereka miliki seperti David Hendrawan, Zack Lee, dan juga Very Tri Yulisman (Mantan Baseball Bat Man).

Mungkin memang Mo Brothers mencoba sebuah terobosan pada film Headshot dengan berbagai macam konflik dan misteri yang terasa kompleks, meski dirasa menjadi tumpul karena beberapa adegan dan jalinan cerita yang terkesan maksa, dengan kisah drama romantis yang terlihat lebay. Tapi, mungkin Headshot bisa menjadi alternatif bagi yang memang menyukai martial arts semacam The Raid. Karena, untuk koreografi dan baku hantamnya sendiri masih banyak eksplorasi dan hal baru yang masih terus terasa nonjok dan brutal. Dan tentunya untuk teknis dan visual film ini terasa lebih baik, jika boleh saya katakan di atas The Raid Pertama walau masih kalah jauh dibanding Berandal yang punya arthouse yang sinematis.

You May Also Like

0 Comments