REVIEW FILM: Kubo and the Two Strings (2016)

by - Desember 07, 2016



Apa yang saya rasakan pada animasi keluaran studio Laika Entertainment ini adalah sebuah film animasi penuh imajinasi liar tapi tetap mempunyai jalinan cerita penuh melankolis tentang arti sebuah keluarga. Dunia sihir dalam film kadang bisa direfleksikan tanpa batas dan tanpa aturan tertentu. Dan dalam sekian banyak imajinasi tentang sihir selalu tentang bagaimana dunia sihir itu dapat menjadi sebuah kekaguman dan secara visual akan terasa fantastis. Yap, tak tertutup juga pada film dengan latar belakang sebuah era kuno jepang dan segala suntikan-suntikan imajinasi sihir liarnya. Kubo and the Two Strings adalah sebuah cara pandang berbeda dunia sihir yang selama ini kita pikir hanya sapu terbang, tongkat sihir, dan semua elemen mainstream lainnya. Nah, film ini menjadi sebuah wadah elemenisasi dunia sihir dengan kultur budaya timur.

Kubo and the Two Strings bercerita tentang pelarian seorang ibu bersama anaknya, Kubo (Art Parkinson) dari tangan kakeknya yang seorang raja bulan, Moon King (Ralph Fiennes) dan juga saudari ibunya yang jahat, The Sisters (Rooney Mara). Terlepas dari itu Kubo telah kehilangan sebelah matanya yang telah direbut kakeknya. Untuk itulah, ibunya berusaha untuk melindungi Kubo yang memiliki sebuah kekuatan yang ingin direbut oleh kakeknya. Nantinya Kubo akan berpetualang bersama Monkey (Charlize Theron) dan Beetle (Matthew McConaughey) dalam misi pentingnya dalam mencari tiga benda pusaka milik ayahnya Hanzo seorang legenda pejuang samurai, untuk mengalahkan kakeknya sendiri, Moon King.

Inti film Kubo sendiri memang untuk mengikuti kisah dan sepak terjang petualangan supranatural dengan segmen-segmen cerita magis dalam pencarian pusaka Hanzo. Sejak awal kita sudah di suguhi visual fantastis ketika ibu Kubo membelah lautan hanya dengan petikan senar shamisen (sejenis alat musik petik jepang berjumlah tiga senar) miliknya. Tidak hanya itu, sepertinya shamisen itu pun memiliki kekuatan magis lain ketika kubo mampu melipat kertas origami dan menggerakkannya layaknya benda hidup hanya dengan memainkan shamisen tersebut. Memang sangat fantastis bahwa apa yang nantinya disajikan dalam film Kubo ini tidak sampai disitu.

Kita juga dikenalkan dengan dunia gelap dan misterius yang nantinya akan dihadapi Kubo dalam perjalanannya. Tentu hal paling membuat saya terbelalak dan cukup merasa tercekam, merasa unik, sekaligus merasa lucu adalah nuansa gelap animasi ini. Dari manusia tengkorak dengan puluhan pedang tertancap di kepala, bola-bola mata misterius raksasa penghuni bawah laut, serta berbagai elemen dunia sihir yang buat saya cukup punya visual yang teramat sangat fantastis.

Segmentasi cerita ini juga penuh dengan lika-liku dengan cerita yang begitu gelap dan kelam. Itu bisa terlihat dari apa yang memang studio Laika buat tentang dunia-dunia animasi mereka terdahulu (Coraline, Boxtrolls dan ParaNorman). Dan memang film-film tersebut meski punya desain karakter yang bisa dikatakan tak ada lucu dan imutnya tapi ia senantiasa punya muatan cerita yang cukup berisi dan sedikit menyinggung tentang berbagai kompleksitas karakternya sendiri, ketimbang ia terlalu banyak menyuguhkan pernak-pernik visual cantiknya. Sama dengan Kubo and the Two Strings memang menyuguhkan bagaimana ia secara tidak langsung dengan berbagai bahasa puitisnya sama-sama punya point of view dan pengembangan karakternya sendiri.

Tapi, sayangnya film debutan sutradara Travis Knight, yang telah memproduseri film Boxtrolls dan ParaNorman ini dengan fantasi membahana malah terlalu lurus dan terlalu sederhana. Kubo terlihat seperti sebuah cerita dongeng. Meski ditengahnya nanti kita akan menemukan sebuah cerita tak terduga tapi sayangnya kisah Kubo terlalu banyak ambiguitas dan terkesan minor bahasan dan gaya bahasa ala dongeng pengantar tidur. Untuk ceritanya sendiri okelah, ia memang terasa begitu 'dalem' dalam pengembangan setiap karakternya. Tapi, sayang untuk memahami film ini lewat apa yang ingin disampaikan oleh Kubo lewat permainan origaminya pada penduduk desa cukup lama dan hal tersebut baru dapat saya pahami ketika saya sudah separuh jalan menonton film ini. Memang sederhana tapi bukan berarti Kubo secara nyaman mampu memberi sebuah sajian yang terasa kontemporer.

Bahkan klimaks dan ending film ini, OMG! ga banget buat saya yang semakin lama seperti sebuah dongeng jaman jebot era jepang dan dunia yang ingin disampaikan oleh penulis naskah dan cerita Marc Haimes dan Chris Butler malah semakin absurd dan semakin tak saya sukai. Apakah saya yang tak nyambung atau memang filmnya yang terlalu luntang-lantung. Mungkin juga karena penulis naskah yang sebelumnya memproduseri film gagal (A thousand words, The Legend of Zorro) dikombinasikan dengan  penggarap film ParaNorman mungkin mereka berdua tidak terjadi kesinambungan. Setiap segmen film Kubo ini menyuguhi elemen fantasi yang baru lagi dan kemudian disumpeli fantasi baru lagi, memang bagus tapi jalinan ceritanya terlihat begitu-begitu saja.

Tapi buat saya, the special one! untuk desain karakter dan juga pengisi suara film ini cukup jempolan dan membuat saya cukup jatuh hati dan suka melihat bagaimana voice karakter seperti Rooney Mara, Charlize Theron, Ralph Fiennes, dan Matthew McConaughey. Juga desain karakter yang mengimbangi suara mereka seperti Kubo, Ibu Kubo, Monkey, Beetle, The Sisters (cukup ikonik dan mengingatkan saya pada beberapa karakter animasi jepang lainnya, if you know what i mean..), tapi untuk kakeknya, Moon King adalah sebuah pengecualian. Jangan tanya kenapa saya tak suka dengan yang satu ini.

Saya tak begitu terpengaruh dengan besarnya rating film ini di IMDB, Rottentomatoes, bahkan Metacritic. Ketika filmnya tidak sesuai selera saya, berarti film ini tidak sebaik yang dibayangkan. Mungkin karena visual, desain karakter, dan dunia dalam film ini yang membuat rating film ini besar. Dan mungkin juga ceritanya bak dongeng-dongeng nenek moyang. Tapi, mungkin abaikanlah ketika saya begitu banyak mengkritik film ini, karena itulah yang saya rasakan. Tentu, baik visual yang memang tidak murahan dan memang terlihat bahwa Laika dan Travis Knight membuat film ini terasa masterpiece dan berhasil dengan bumbu ceritanya yang melankolis, sederhana, namun menyedihkan.

You May Also Like

0 Comments