REVIEW FILM: The BFG (2016)

by - Desember 17, 2016



Steven Spielberg adalah sutradara pertama yang paling saya kenal sebelum mengenal lebih banyak nama-nama sutradara besar lainnya dan merupakan salah satu terfavorit saya hingga sekarang. Tentu jika kamu mengenal beberapa buah karya tangannya yang menjadi legenda film dan sinematografi klasik, semisal Jaws, Indiana Jones, Saving Private Ryan, Schindler's List dan Jurassic Park. Mungkin terdengar begitu lawas, tapi dari sanalah awal cerita saya mengenal sutradara yang telah meraih 3 buah Oscar yang telah membukukan namanya sebagai sutradara terbaik di Hollywood. Hingga sekarang karya terbaiknya tetap mengalir deras tanpa membuatnya pudar dan menghilang, bahkan film terakhirnya yang lebih kental dengan political theme, Lincoln dan Bridge of Spies, tetap membuatnya diakui sebagai sutradara berkelas.

Dan kali ini Steven Spielberg sepertinya ingin kembali lagi merambah dunia penuh petualangan serunya dengan mengusung tema, family oriented. Itu bisa dilihat dari kembalinya kolaborasi Spielberg dengan penulis naskah sekaligus sahabat lamanya Melissa Mathison, yang telah membawa film ikonik besar di era 80-an, E.T. The Extra-Terrestrial. Tentu dengan teknik visual dan sinematografi cantik hasil debut kerjasama Spielberg bersama studio besar Walt Disney Pictures, ia kembali menghadirkan kisah hangat tentang arti sebuah persahabatan. The BFG (Big Friendly Giant) merupakan film yang diadaptasi dari salah satu buku novel karangan Roald Dahl (Charlie and the Chocolate Factory, Fantastic Mr. Fox, Matilda).

Suatu malam, Sophie (Ruby Barnhill) salah seorang anak perempuan yang tinggal di sebuah panti asuhan terjaga dari tidurnya dan sedang berkeliling dalam rumah pantinya. Malam itu tanpa sengaja ia melihat bayangan aneh bergerak dibalik kota sepi London, dari balik tirai jendela ia terkejut karena melihat sesosok makhluk raksasa memakai kerudung sedang berkeliaran di kota itu. Lalu tanpa sebab, makhluk raksasa itu menculik Sophie dan membawanya jauh dari kota, ketempat persembunyian makhluk raksasa tersebut tinggal. Disana tentu saja kecemasan Sophie muncul bahwa mungkin saja ia diculik untuk menjadi santapan makhluk raksasa tersebut.

Tapi, ternyata pria yang nantinya diberi nama BFG (Mark Rylance) adalah pria tua raksasa yang ramah dan baik hati. Ia mengatakan bahwa ia bukanlah seorang kanibal yang suka memangsa manusia, ia terpaksa menculik Sophie untuk tinggal bersama seumur hidupnya, agar Sophie tidak menyebarkan rahasia dirinya ke dunia manusia. Tentu mendengar hal tersebut tetap tak merubah niat Sophie untuk mencoba kabur dari sana. Tapi sayangnya rencana tersebut tidak berjalan semudah itu, karena disana juga ditinggali beberapa makhluk raksasa yang bahkan jauh lebih besar dari BFG, bahkan mereka lebih kejam, lebih jahat dan suka memakan manusia.

Tentu hal yang amat menjanjikan bahwa film yang digawangi sutradara brilliant sekaliber Oscar dan juga studio animasi Walt Disney, membuat The BFG layak untuk disejajarkan dalam film fantasi spektakular. Tapi enggan untuk berspekulasi tentang sesuatu yang tampaknya hebat, dengan semua kehebohan itu ternyata apa yang disajikan oleh The BFG hanya sebuah kesenangan yang hampir tampak kosong. The BFG memang punya sequence cerita yang menarik dan tak terduga. Apalagi disokong animasi warna cahaya berkelap-kelip dengan latar malam yang gelap yang menawan hati. Tentu kamu tak perlu ragu untuk setiap olahan animasi dari studio semacam Disney. Sayangnya setelah film ini berakhir ada sesuatu yang terasa hilang dan ketika saya bertanya pada diri saya soal film ini, "Apa yang membuat film ini menjadi istimewa?"

Tentunya aspek cerita tentang persahabatan antara anak kecil dan makhluk besar (atau anggaplah monster) dengan hubungannya yang begitu hangat dan sederhana tampak tak begitu menarik. Tapi, ditangan Spielberg dan naskah gubahan Melissa Mathison, cukup berhasil dalam menyuntikkan kisah warm and full of kindness. Terdapat adanya keterikatan dan hubungan unik yang terjadi antara Sophie dan BFG, seperti kisah persahabatan yang pernah ditulis naskahnya oleh Melissa (E.T. dan Ponyo). Apalagi terdapat sebuah intimiadasi dan bully dari karakter sebesar BFG oleh makhluk yang lebih besar dan lebih jahat. Dan itu memunculkan sebuah rasa iba dan simpatik bahwa ia pun harus merasakan penderitaan dan rasa takut, meski dia sendiri ditakuti oleh sosok manusia. Ada sebuah pesan moral bahwa yang baik selalu ditindas yang jahat, tapi kebaikan yang lain datang untuk melindungi kebaikan lainnya.

Kemudian kita pun tidak hanya disuguhi sebuah kisah tentang persahabatan dan petualangan. Tapi juga, dunia tak kasat mata dari sesuatu yang bukan benda yaitu, a dream. Mimpi digambarkan dalam bentuk sebuah bola cahaya yang terbang layaknya seekor kunang-kunang. Tapi, disinilah masalah timbul dari penceritaan yang tak mampu berjalan beriringan. Tumpukan sequence cerita BFG terasa kurang kuat dan pondasi yang ia bangun seiring film berjalan semakin tumpul. Meski kita akan dihamparkan begitu banyak visualisasi menjanjikan dari dunia sederhana milik BFG, tapi tak satupun yang ditampilkan terasa memorable dan berkesan.

Tapi, saya suka bagaimana nantinya perjalanan cerita di second sequence untuk mengakhiri kisah the BFG menjadi bagian penceritaan yang paling kuat dan menarik. Meski saya merasa bagian ini terlalu Spielberg paksa ikut ditempel dalam plot cerita tanpa membuat sebuah perpaduan warna cerita yang seimbang. Tapi kelihatannya konklusi ini cukup efektif mengubah alur cerita yang sedarinya tampak membosankan menjadi sedikit menghibur.

Well, The BFG akhirnya hanya sebuah film fantasi yang cukup menghibur untuk ditonton bersama keluarga dengan visualisasinya yang cantik dan memikat. Mungkin bukan sebuah karya besar dari Steven Spielberg dan Walt Disney. Tapi, tetap memberikan sebuah sentuhan moral yang mengandung kisah manis dan hangat tentang arti sebuah kebaikan persahabatan yang tak kenal batas. Film sederhana dan menghibur yang cocok sekali ditonton untuk segala usia.

You May Also Like

0 Comments