My Life as a Zucchini (2016) Movie Review

by - Agustus 18, 2017



My Life as a Zucchini adalah sebuah contoh kasus dilema yang menyoroti kehidupan masa kelam anak-anak karena masalah orang tua yang terbilang pelik dan memilukan menyentil moral kala mereka kehilangan sosok orang tua yang diharapkan mampu mendampingi dan melindungi mereka semasa kecil. Film dengan judul dalam bahasa Prancis-nya Ma vie de Courgette adalah debut sutradara Claude Barras yang diadaptasi dari novel Autobiographie d'une Courgette karya Gilles Paris tahun 2002 lalu. Film ini juga meraih penghargaan nominasi Academy Awards tahun 2017 untuk kategori Best Animated Feature Film of the Year.

Seorang anak kecil berumur 9 Tahun Courgette (Gaspard Schlatter) hidup bersama ibunya seorang pecandu alkohol saat ayahnya kabur dari rumah. Namun karena kecelakaan tak disengaja ibunya meninggal dan memaksa Courgette menjadi yatim piatu dan hidup sendirian. Seorang petugas polisi baik hati yang peduli akan nasib Courgette, Raymond (Michel Vuillermoz) kemudian sudi mengantarkannya ke sebuah panti asuhan bernama "The Fountains" tempat keberadaan anak-anak yatim seusia dan senasib dengannya dirawat. Hingga suatu hari datanglah Camille (Sixtine Murat) seorang gadis yang membuat Courgette jatuh hati padanya dan mencoba untuk mendekatinya sebagai sahabat.


Film ini sebetulnya hanya berdurasi pendek 66 menit, tapi cukup banyak menyoroti kehidupan yang tidak enak untuk dicicipi seorang anak di kehidupan nyata. Dan hanya karena film ini dibuat dengan animasi stop-motion yang penuh warna-warni dan fruitable dengan kepala berbentuk labu yang lucu, menurut saya film ini hanya mampu dicerna oleh penonton dewasa. Dari kata-kata subtle tentang seks, referensi alkohol, pembunuhan, dan narkoba ini memang bukan film yang cukup layak disajikan bagi penonton berusia muda, meski standar PG-13 tercantum di rating MPAA.


My Life as a Zucchini bukan film yang sentimen menyinggung orang dewasa yang kadangkala menghakimi anak tentang cara berpikir mereka yang masih minim informasi, melainkan dimaknai soal kecenderungan mereka yang mampu menganalisa dan memahami apa-apa yang orang dewasa lakukan. Dengan tingkah polos dan wajah tanpa dosa, salah satunya Simon (Paulin Jaccoud) anak yang terbilang nakal diantara lainnya kemudian membicarakan soal hubungan antara wanita dan pria, hingga kemudian "keringat" dan "meledak" cukup memberikan kita evaluasi diri akan kenaifan dan ketabuan dewasa saat menyinggung isu pendidikan moral kepada anak-anak. Apalagi saat mereka telah tenggelam dalam perilaku buruk orang tua yang menyeret anak-anak mengenal kata-kata dan melihat perilaku yang tidak lagi pantas untuk diajarkan.

Film yang ditulis oleh Céline Sciamma dan para kontributornya Germano Zullo, Claude Barras dan Morgan Navarro memang cukup jeli merangkai cerita, kisahnya memang tentang wajah-wajah kehilangan dan kesepian. Tapi, narasinya tetap anggun mewarnai kelas usaha mereka untuk menyajikan cerita yang ceria saat kebersamaan, kekeluargaan, rasa cinta dan persahabatan mewarnai kehidupan Zucchini, Cammile dan anak-anak lainnya. Dan lagi bumbu komedi dan tingkah jenaka yang kadang memancing kehangatan dan kelucuan menjadi simbolisasi kejenakaan mereka meski disamping turut juga dihantui bayang-bayang masa lalu orang tuanya.


My Life as a Zucchini memang bukan kisah cerita tentang pesan moral orang tua kepada anak, melainkan cara Barras menjadikan subtle parenting untuk orang tua agar mampu memahami pesan dan ungkapan anak-anak bahwa mereka membutuhkan kehadiran orang tua sebagai contoh teladan yang baik bagi kehidupan. Diungkapkan pula melalui Courgette yang tetap tidak mampu menghilangkan memori kedua orang tuanya kala layang-layang dan kaleng bir, hingga nama panggilan pun (nama asli Courgette adalah Icare) menjadi kenangan terbesar yang tidak ingin ia lupakan selamanya, Barras memang menyentil empati, tapi juga caranya menyikapi nilai luhur disampaikan secara dalam dan luar biasa. Hingga konklusi akhir cukup tersaji begitu indah, tulus dan hangat sebagai tahap seimbang antara awal yang memilukan menjadi secercah harapan di kehidupan yang baru bagi anak-anak, meski sejujurnya saya berharap durasi film ini sedikit dipanjangkan oleh Barras, karena biasanya film normal berdurasi lebih lama dari ini, rasanya kisah yang semanis dan sejujur ini terlalu singkat untuk diselesaikan.

You May Also Like

0 Comments