The Age of Shadows (2016) Movie Review

by - Agustus 19, 2017



Berbicara tentang Korea Selatan, negara ini punya ambisi serius dalam menghasilkan beragam genre film yang dicap mampu bersaing dengan blockbuster Hollywood. Ketika film teranyar mereka "Train to Busan" kerap dianggap lebih baik dari versi Amerikanya "World War Z". Lain pula "The Handmaiden" menjadi film pertama yang berani menyinggung isu LGBT secara kontroversi pun mampu meraih beragam pujian dimata kritikus luar. Korea Selatan memang punya segudang akal untuk tidak menyia-nyiakan ide film mereka menjadi sajian yang tidak setengah hati. The Age of Shadows pun berusaha membuktikan kepada Studio besar Warner Bros bahwa negeri ginseng tidak akan berakhir mengecewakan, bahkan buat saya film ini cukup pantas menjadi daftar nominator Oscar Tahun 2017 lalu.

The Age of Shadows atau sebelumnya diberi judul Secret Agent, bukan lagi film bergenre horror psychic seperti "The Tale of Two Sister" atau juga asian western "The Good The Bad The Weird". Kim Jee-woon mengajak kita kembali masa ke tahun 1920-an saat negara Korea tengah dalam kondisi pendudukan kekuasaan Jepang. Film ini adalah cerita fiksi yang mentengahkan perjuangan para pemberontak Korea yang dipimpin oleh Jung Chae-San (Lee Byung-hun) dan kaki tangannya Kim Woo-Jin (Gong Yoo) berencana membawa bahan peledak dari Shanghai ke Seoul tempat fasilitas pusat pemerintahan Jepang berada. Tapi rencana tersebut terhalang oleh kepala polisi berdarah "Hyeong" (Sebutan orang Jepang kepada Korea) Lee Jung-Chool (Song Kang-ho) yang berpihak pada Jepang mengendus rencana tersebut.


Saya sebetulnya paham betul bahwa film-film Korea selalu mengedepankan esensi thrilling dan acapkali menstimulasi adegan yang cenderung brutal dan bloody. Sama seperti "I Saw the Devil", film yang mirip dengan "The Departed" ini dipenuhi kejar-mengejar, sumput-menyumput hingga intrik saling tipu-menipu dua kubu yang saling berseteru. Dibalik Jung-Chool sebagai tokoh sentris turut bimbang dengan identitas kala menjadi agen ganda seringkali disebut sebagai pengkhianat negara. Patriotisme, spionase, pemberontakan dan pengkhianatan turut menghampiri film berdurasi lebih dari 2 jam ini. Terlebih di bagian klimaks tanpa syarat menjadi agenda mengerikan saat melihat kebengisan orang Jepang menginterogerasi para pemberontak Korea secara kejam. Hal inilah kemudian menjadi indikator bahwa kolonialisme Jepang terutama Higashi (Shingo Tsurumi) secara keras dan tidak peduli jenis kelamin menyiksa mereka tanpa rasa iba menjadi sebentuk kebencian yang ditanam pada penontonnya lewat mimik ekspresi yang mengesalkan.

Film yang ditulis oleh Lee Ji-Min, Park Jong-Dae dan Kim Jee-Woon cukup menarik, cerita konsisten mengikat saya dengan atmosfer yang dibentuk melalui gelapnya suasana hingga berkali-kali moment aksi mencuri atensi, baik diawal saat serbuan para polisi yang mengejar salah satu pemberontak yang sedang bernegosiasi menjual barang antik, sequence tembak-menembak yang tidak sedikit menyembur darah dari kepala. Hingga kejutan berantai dari aksi brutal dan kekacauan di dalam gerbong hingga stasion kereta mirip adegan Quentin Tarantino, terpintas perjuangan para pemberontak ini terlihat jauh dari kata mudah, bahkan lebih eksplisit pengorbanan dan siksaan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan hasil yang mereka terima. Tiada sedikitpun hela nafas coba diredam Jee-Won kala cerita pun meningkat lebih intens turut serta mempertanyakan nasib tiap karakter di film ini.


Film berbudget $8,620,000 ini memang terbilang bukan ambisi omong kosong semata, terlihat dari set dekorasi yang elegan dan old-fashion terasa artistik, juga landscape dari bangunan, mobil antik hingga busana fashionable yang dipakai para aktor dan artis memang membuat film ini kental akan kemewahan dan vintage. Akting para aktor dan artis high-class Korea pun tampil solid dan luar biasa, terutama Gong Yoo perjuangannya dalam mengambil setiap tindakan heroik dan Song Kang-ho yang lebih banyak tampil bermain ekspresi banyak diposisikan sebagai pengambil simpati. Dan Lee Byung-hun muncul minimalis tapi penuh karismatik pemimpin yang bijaksana.

Sebetulnya The Age of Shadows adalah karya yang luar biasa, kombinasi cerita yang terbilang kuat dan intens, tidak saja terbangun dengan berbagai rasa nasionalisme dari perjuangan, keteguhan hati dan pendirian tekad para pemberontak. Hingga misteri suspense mengantarkan berbagai pengkhianatan dan ancaman saat pemberontak bermain kucing-kucingan dengan antek Jepang. Tapi buat saya film ini sedikit termakan ambisi, diantaranya kesan yang terlalu gloomy pada mood film walau Lee Ji-Min tetap kokoh merangkai durasi film yang begitu panjang. But anyway, film ini tetap menjadi action thriller milik Korea yang perlu direkomendasikan untuk ditonton.

You May Also Like

0 Comments