REVIEW FILM: The Fate of the Furious (2017)

by - Juli 31, 2017



Apa cuma saya yang merasa kalau instalment ke-8 dari The Fate of the Furious ini terasa kurang semenjak kepergian aktor Paul Walker? Apalagi di sekuel terbarunya ini ceritanya soal pengkhianatan dari pemimpin yang menyebut kelompok mereka sebagai 'family' yaitu Dom (Vin Diesel). Mengikuti sepak terjang tokoh protagonis sentris Optimus Prime di "Transformers: The Last Knight" yang juga sama-sama berkhianat, seharusnya film yang lagi-lagi berganti sutradara menjadi F. Gary Gray, "The Italian Job" dan "Straight Outta Compton" ini menjadi sekuel paling emosional dan menegangkan, tapi apalah daya, meski franchise ini sudah berusaha bertransformasi bagus menjadi heist movie sejak film ke-5 nya ternyata film ini hanya sebuah repetesi latah pada film-film FF sebelumnya.

Kedatangan villain baru seorang hacker bernama Chiper (Charlize Theron) yang sanggup merekrut dan membuat Dom membelot dari kelompoknya, memang tampak menjanjikan bahwa kali ini musuh yang dihadapi lebih manipulatif dan lebih berbahaya dari biasanya. Yups, semenjak Charlize Theron berhasil memukau aksinya lewat di "Mad Max: Fury Road", sebagai villain utama wanita pertama, The Fate of the Furious serasa dipenuhi aksi menegangkan dan cerita yang lebih kompleks dari biasanya. Apalagi Hobbs (Dwayne Johnson) juga harus bernasib na'as saat ia harus dijebloskan ke penjara gara-gara pengkhianatan Dom, menyisakan Letty (Michelle Rodriguez), Roman (Tyrese Gibson), Tej Parker (Ludacris) dan Ramsey (Nathalie Emmanuel) tanpa leader, menyadari bahwa sedari awal memungkinkan misi mereka semakin mustahil untuk dilakukan.


Namun sepertinya jangan terlalu berharap lebih banyak dari film ini, teaser dalam trailer film ini pun hanya sekedar memperpanjang antrian bioskop. Premis tentang pengkhianatan Dom pun hanya sekedarnya saja, Chris Morgan sebagai penulis naskah film ini pun terlampau dangkal dalam menghadirkan konflik dan permasalahan yang justru dijejali begitu banyak plot cerita yang terlampau terpaksa. Sebetulnya tidak masalah toh ini memang bukan tipikal film yang mengedepankan esensi cerita namun berusaha memenuhinya dengan aksi penuh ledakan, adrenalin, kebut-kebutan mobil di jalan raya, maskulinitas, dan steroid. Tapi, jika saja Gray dan Morgan mau berusaha tidak mengungkapkan twist hingga akhir cerita dan sedikit mau menawarkan hal baru dengan sebuah aksi yang bercampur suspense, mungkin agaknya film ini sedikit berbeda. Tapi, keduanya tentu saja menyepelekan berbagai aspek terutama masalah cerita yang tak masuk akal, mengada-ada, dan tidak berbobot-bobot.


Ditambah saya lebih prefer dengan duo beradik Deckard Shaw (Jason Statham) dan Owen Shaw (Luke Evans)  sebagai villain ketimbang Chiper. Musuh macam apa yang memiliki gerak terbatas, berpingit ria didalam ruangan dan lebih banyak mengancam musuh di balik layar komputer tanpa banyak melakukan aksinya secara langsung. Jujur saja Chiper tidaklah sehebat yang saya bayangkan, mungkin inilah faktor kenapa ia ingin merekrut Dom dalam timnya, motifnya klise, ditambah kehebatan dirinya hanyalah sebatas nama besarnya sebagai hacker dan selebihnya tidak ada. Dan bodohnya, meski tampak sebagai villain yang manipulatif dan licik, percayalah Chiper jauh dibawah rata-rata dan lebih mudah diperdaya musuhnya sendiri ketimbang ia lebih cerdik mendominasi alur cerita.


Di satu sisi, sayapun tidak menyukai kehadiran Deckard yang kemudian bersekutu dengan Hobbs, Letty dkk. Ada rasa canggung antara keterlibatan dirinya yang sama-sama berada tergabung untuk menangkap Chiper, terlebih pemaksaan motif Deckard yang punya dendam pribadi pada Chiper pun terkesan diada-adakan, membuat saya berpikir tidak peduli lagi kenapa ia mesti ada di film ini kecuali menambah jumlah orang botak dan juga kontribusinya dalam maksimalitas adu mulutnya bersama Hobbs, meski parahnya tokoh Deckard pun tidak ditampilkan secara maksimal dan justru hanya jadi bulan-bulanan di film ini yang semestinya diperlakukan jauh lebih baik dan sehebat dia di film sebelumnya. Dan beberapa konflik cerita, argh! entah saya betul-betul muak dengan berbagai inkonsistensi dan dangkalnya cerita membuat saya sedikit capek menuturkan deretan buruknya materi naskah di film ini.


Tapi, karena tujuan saya menonton film ini hanya sekedar hiburan tanpa menuntut cerita yang lebih kompleks, The Fate of the Furious memang banyak menghadirkan keriuhan dan aksi yang memborbardir dari segelintir efek CGI dan modal menghancurkan puluhan mobil. Dari sekedar gimmick sequence yang terinspirasi dari film "World War Z" versi mobil di kota New York atau juga klimaks inovatif dari kejar-kejaran mobil di atas lantai es dan submarine, ini memang terasa sedikit seru dan asyik. Terlebih beberapa dialog dan lontaran adu mulut yang selebihnya banyak ditonjolkan dari Tyrese Gybson yang konyol hingga perubahan drastis sosok Deckard yang lebih banyak beraksi secara lucu. Well, entah jika film ke-9 dengan judul yang mungkin bisa jadi Fire of the Furious, Fury of the Furious, Fantastic of the Furious, atau Final of the Furious akan kembali berlanjut (dan sepertinya pasti), saya berharap suatu saat franchise ini segera diakhiri karena buat saya tanpa hadirnya Paul Walker ada moment yang terasa hilang bersamaan hilangnya dramatisasi cerita yang lebih memupuk soal 'family' yang lebih emosional pada franchise ini, meski di dalam film kehadiran Paul akan tetap dibuat selalu ada dan hidup sebagai Brian O'Conner sampai kapan pun, mungkin suatu saat karakter ini akan kembali di inkarnasikan dengan sosok aktor lainnya, maybe? we'll see soon...

You May Also Like

0 Comments