REVIEW FILM: Brimstone (2017)

by - Juli 28, 2017



Jika kamu pernah pergi menaiki kereta api yang menempuh perjalanan jauh, ada dua hal yang akan kamu lakukan saat mulai merasa bosan, pertama: tidur kedua: nikmati saja pemandangan indah disekitarmu meskipun itu hanya terdiri pepohonan dan juga rerumahan disekitar. Mungkin kiasan tersebut terlalu berlebihan untuk menggambarkan film Brimstone, tapi itulah yang paling cocok mendeskripsikan film berdurasi 2 jam 28 menit dengan siksaan dan keburukan naskah dari debut penyutradaraan Martin Koolhoven. Film ini menggunakan alur maju-mundur yang terbagi dengan empat chapter (Revelation-Exodus-Genesis-Retribution). Merembes tema soal sekte penyesatan dan penyelewangan alkitab dan ayat-ayat suci Tuhan. Brimstone adalah sebentuk penodaan dalam ajaran, mungkin ambil contoh tv series "Orphan Black", kurang lebih didalamnya terdapat ajaran yang sama.


Tapi, bukan itu tujuan film ini dibuat, Brimstone adalah jiwa Koolhoven dalam melukiskan teror tradisional yang mengambil latar western. Kuda, koboi dan prostitusi adalah muatan Koolhoven menciptakan nuansa liar dan gila, tapi didalamnya juga muncul teror yang lebih gila bernama The Reverend (Guy Pearce). Di chapter 1 (Revelation), menceritakan gadis muda bisu bernama Liz (Dakota Fanning), bersama suaminya Eli (William Houston), dan kedua anaknya Sam (Ivy George) dan Matthew (Jack Hollington). kemunculan The Reverend sendiri penuh misteri, dari nasihat-nasihat rohaniah dan juga nubuatnya tentang nabi palsu ia menebar teror dan ancaman kepada Liz. Chapter 2 (Exodus), menceritakan pula gadis muda lainnya bernama Joanna (Emilia Jones), ia gadis asing yang tiba-tiba tinggal di sebuah rumah bordir milik Frank (Paul Anderson) untuk dijadikan seorang pelacur. Terakhir Chapter 3 dan 4 adalah jawaban dari kedua cerita tadi.


Menghubungkan korelasi cerita film inilah yang membuat saya bingung, meski telah dijawab dengan akhir yang bertubi-tubi hanya saja saya tetap tidak nyambung dengan maksud Koolhoven menceritakan kisahnya dengan acak, kecuali menstimulasi otak saya mempertanyai setiap hal yang terjadi, meski efektif mengejutkan tapi lemah menarasikan. Lemahnya narasi diikuti motif terselubung The Reverend dan buruknya akting Guy Pearce. Mungkin di Revelation act, The Reverend begitu mempesona atas kemunculannya yang pro-kontra, tapi begitu saya menyelesaikan tahap demi tahap cerita, saya menemukan tumpukkan rasa jijik melihat antagonis ini. Terlebih ketika tahu bahwa ia adalah pria pengecut, maniak, dan incest yang senang menganiaya wanita dan anak kecil dengan cambuknya, berbuat asusila dengan darah dagingnya, menusuk dari belakang, dan membunuh anak kecil tak bersalah. Apa yang membuat saya tertarik dengan tokoh yang dominan memberi atmosfer di film ini menjadi suram, kecuali membuat saya malah bersimpati dengan pria psikopat lainnya semacam Joker ataupun Dr. Hannibal yang jauh lebih berwibawa.


Dan hal itupun disempurnakan dengan betapa buruknya akting Guy Pearce di depan kamera, oh inikah yang membuatnya jarang mendapatkan peran di film besar setelah film "Memento". Membuat sakit mata melihat perilakunya yang menyimpang, terlebih melihat tingkahnya dengan jenggot mirip Abraham Lincoln dan luka wajah mirip Scarface yang terus menguntit Joanna dan Liz, ditengah kerumunan gadis-gadis prostitusi cantik yang bisa ia sewa. Ah, mungkin karena dia masih memegang teguh ajarannya yang menyimpang. Dan ini masih menjadi malapetaka saat melihat Samuel (Kit Harington) yang tampak mampu menjadi pahlawan kesiangan tapi kemudian berakhir menjadi tokoh meh. Anna (Carice van Houten) yang sama-sama menjadi duet Game of Thrones dengan Kit pun acapkali menjadi tokoh ketiga wanita kesepian yang menjadi teman seperjuangan Liz dan Joanna dalam menempuh penderitaan.

Well, ini adalah sebuah film horror rasa western dengan antagonis paling menjijikkan dan akting paling gagal meraih simpati bagi saya. Mengikuti narasi yang juga sama gagalnya, sisi baiknya Dakota Fanning adalah penyelamat di tengah kehancuran film ini, dengan akting tanpa dialog verbal, gadis muda ini lebih banyak meraih atensi dengan kecakapannya dalam berakting penuh rasa. Hal yang sama saya rasakan dengan akting adiknya, Elle Fanning di film "The Neon Demon." Dan film ini pun saya nobatkan tidak perlu ditonton karena hanya menghabiskan waktumu selama hampir 2 jam lebih, bahkan endingnya pun adalah sebentuk keabsurdan Koolhoven dalam bercerita.

You May Also Like

0 Comments