REVIEW FILM: Fences (2016)

by - Juli 29, 2017



Fences (pagar) memang judul yang paling cocok untuk menggambarkan sekelumit kisah yang ada di film ini, kiasan ini mengibaratkan sebuah pagar rumah yang mungkin alat yang bisa melindungimu dari luar tapi juga bisa mengekangmu dari dalam. Dimulai dengan sebuah truk sampah yang sedang melaju keluar dari gerbang, turut dibelakangnya dua orang tukang sampah sedang asyik melakukan obrolan demi obrolan sepanjang jalan. Mereka berdua adalah Troy (Denzel Washington) and Bono (Stephen Henderson), dari sekedar obrolan tentang semangka hingga seorang wanita. Tanpa sadar film ini terus berlanjut dengan berbagai kisah dan jenis obrolan asyik lainnya, sampai tibalah mereka berdua dirumah Troy. Dan keasyikkan obrolan mereka tidak berhenti sampai disitu, di taman belakang rumah mereka, Rose (Viola Davis) istri dari Troy menambah lagi panjang percakapan cerita mereka dari sekedar masa lalu Troy yang dulunya seorang atlit futbol profesional hingga sindiran Rose tentang kematian yang pernah hampir menjemput suaminya.


Fences adalah film ketiga Denzel Washington sebagai sutradara sekaligus aktor dalam filmnya sendiri. Fences sendiri adalah gambaran dari realita dari sebuah keluarga kulit hitam yang miskin di pinggiran kota Pittsburg, tahun 1950. Terdiri dari serangkaian obrolan tanpa henti selama hampir satu jam terlontar verbal, saya menyangka film ini adalah sebuah film berisikan gab, dengan materi cerita 1 malam seperti Before Sunset, Before Sunrise dan Before Midnight. Tapi tidak sepenuhnya benar, kembali mengkilas balikkan bagaimana film ini digulirkan pertama kali dari drama panggung terkenal yang dimainkan August Wilson, sukses memenangkan penghargaan Tony Awards tahun 1987 yang lalu, melalui arahan sineas Denzel Washington film ini pun di adaptasi ulang.

Bersinggungan dengan mengangkat tema keluarga dalam set kehidupan penuh kemiskinan orang Amerika-Afrika di Pittsburg, film ini melontarkan berbagai macam permasalahan yang sentimentil, khususnya mengangkat isu ras meski dalam film ini pun area tersebut diangkat secara subtil. Fences adalah sebuah film berisikan sebuah materi yang bersifat gab, tapi bukan dialog asal lontar yang terasa hambar. Percakapan panjang tersebut menjadi materi penting untuk menghidupkan sifat dan latar belakang tiap orang. Karena dalam deskripsinya sendiri film ini bersifat statis, ia tidak akan mengajakmu keluar dari area rumah Troy (kecuali beberapa segment), tapi Fences terus mengajakmu mendengar isi permasalahan dan eksplorasi yang cukup banyak hadir memenuhi tanggung jawab Troy sebagai suami dan juga ayah.


First act berjalan harmonis, masih dalam gab dan tetek bengek Troy bercerita panjang lebar tentang kehidupannya yang indah juga kelam. Tapi, disisi lain dialog-dialog panjang itu berisikan sindiran-sindiran tepat guna dan pun tak jauh dari sentimentil kehidupan, uang, tanggung jawab dan kerasnya hidup. Baik saat Troy melontarkan nada sinis saat anak tertuanya Lyons (Russell Hornsby) meminta pinjaman uang $10 kepadanya untuk mendukung hobi bermusiknya, maupun saat Cory (Jovan Adepo) yang meminta dibelikan tv pun dijawab dengan tegas dan tanpa mampu memberi sangkalan kepadanya. Berkali-kali rentetan dialog sensitif berhasil mengilustrasikan kehidupan sulit Troy dan keluarga, menjaganya tetap utuh dibawah satu atap yang sama. Meski berkali-kali tersandung dalam segelintir masalah kecil, hingga Gabe (Mykelti Williamson) adik Troy yang autis pun menyebabkan tugas dan tanggung jawab yang lebih dari sekedar kepala keluarga.


second act cerita bergulir jauh lebih sensitif dan emosional, beban dan kejenuhan selama 18 tahun Troy sebagai kepala rumah tangga pun mulai memicu konflik dan keretakkan hubungan keluarga. Mungkin tragedi inilah yang menjadi sindiran dan momok menakutkan dari segelintir problem keluarga yang sering terjadi dimanapun, kerikil-kerikil kecil kehidupan Troy diawal dan segelintir masalah dengan anak-anaknya pun mulai pada titik panas. Hingga disinipun saya cukup sulit menerangkan bagaimana hubungan keluarga ini menjadi begitu riot dan penuh emosional.

Well, Fences adalah kemasan tentang makna tanggung jawab dan kerasnya beban hidup yang tak pernah bisa membohongi hati dan pikiran. Satu Oscar untuk Viola Davis untuk "Best Performance by an Actress in a Supporting Role" adalah tanpa arti jika duet Denzel dan Davis adalah sebuah power terkuat Fences yang terpancar begitu natural dan emosional, meski telah terpasang pagar agar iblis, malaikat maut dan godaan hidup tidak lancang merusak keharmonisan. Rasa sedih dan ketegaran hidup, memahaminya dan mengasihinya meski itu pahit dan menyakitkan, inilah yang berhasil diciptakan melalui kesuksesan Denzel mengadaptasi Fences tentang apa itu distorsi kehidupan.

You May Also Like

0 Comments