REVIEW FILM: The Edge of Seventeen (2016)

by - Februari 27, 2017



Saya pernah membaca beberapa teori tentang remaja menurut pakar psikologis, G. Stanley Hall, bahwa “adolescence is a time of “storm and stress“. Yang artinya fase remaja adalah proses pembentukan kepribadian alias proses pencarian jati diri yang berdampak pada perubahan bentuk karakteristik manusia baik secara fisik, intelektual, dan emosional yang kadang cenderung mudah depresi, bimbang dan sedih. Fase itulah saat-saat remaja mengalami kondisi mental yang dapat mudah dipengaruhi oleh kondisi sosial dan lingkungan, tapi juga tidak sedikit mereka pun sulit untuk beradaptasi dengan baik dengan kondisi sekitarnya.

Mungkin inilah yang ingin disampaikan oleh sutradara debutan Kelly Fremon Craig tentang problematika yang dialami para remaja belasan tahun yang digambarkan oleh seorang gadis sekolahan bernama Nadine (Hailee Steinfeld). Nadine adalah gadis yang tumbuh bersama dengan saudara kandungnya yang lebih tua Darian (Blake Jenner). Sejak kecil hingga mereka telah berusia remaja, Nadine sangat membenci (cemburu) akan sosok Darian, karena sang kakak adalah pria popular, keren dan tampan. Sedangkan Nadine sendiri, bahkan tidak memiliki satupun teman bahkan dirinya sering di bully dan diledek oleh teman-teman sekitarnya. Apalagi sikap cuek dan tidak peduli Darian pada Nadine menambah hubungan buruk diantara mereka. Kecuali Krista (Haley Lu Richardson), satu-satunya sahabat Nadine sejak kecil yang mau berbagi keluh kesah dan waktu yang sangat berharga bagi dirinya. Hingga hari terburuk bagi Nadine pun terjadi, saat Nadine tanpa sengaja mempergoki saudaranya yang paling ia benci dan teman terbaiknya, Krista dan Darian sedang bercumbu di kamar.

The Edge of Seventeen adalah sebuah coming-of-age tentang studi karakter sekaligus sindiran tajam yang mengetengahkan sosok remaja dalam pencarian jati dirinya. Kita mengenal sosok Nadine adalah tipikal remaja yang memiliki emosi dan mental yang labil. Mudah marah dan emosi, moody, sering bimbang, berbicara blak-blakan, dan juga sering mengambil tindakan dan inisiatif secara impulsif dan terburu-buru tanpa dilandasi pikiran dan akal sehat terlebih dahulu. Apalagi Nadine adalah sosok yang selalu melawan dan memberontak, sulit menerima keadaan dan kenyataan hingga akhirnya meyakinkan dirinya untuk merusak dirinya sendiri, seperti yang kita lihat pada scene pertama, Nadine yang menemui guru di sekolahnya, Mr. Bruner (Woody Harrelson) yang mengatakan padanya bahwa ia berniat untuk bunuh diri.

Jika kita melihat kasus dan problematika yang dialami oleh Nadine ini memang cukup kuat. Hadir dalam sebuah perjalanan seorang remaja dalam mencari arti hidup, dari mulai persahabatan, masalah keluarga, masalah cinta, seksual, hingga masalah lingkungan dan sosial. Film ini memang begitu banyak menceritakan sekelumit masalah yang dialami oleh remaja pada umumnya, tapi mungkin jika kita menilik apa yang kita lihat pada karakteristik yang digambarkan Kelly melalui ceritanya adalah studi karakter remaja yang bukan tergolong dalam isu kenakalan remaja, melainkan remaja-remaja yang cenderung penyendiri dan disfungsi-sosial. Apalagi permasalahan remaja semacam ini justru lebih sulit dipahami dan sulit dimengerti, seperti yang terjadi pada hubungan Nadine dan ibunya Mona (Kyra Sedgwick), yang berkali-kali ibunya mencoba memahami permasalahan sang anak, tapi turut kesulitan untuk menghadapi tingkahnya yang unpredictable.

Menjadi sebuah cerita remaja yang diperankan sangat baik dan menggelitik oleh Hailee Steinfeld, Kelly juga mencoba mendekatkan studi karakter dengan mengenal kepribadian dan tingkah laku karakter Nadine, dengan caranya menghadapi permasalahannya dan juga bagaimana ia merespon setiap hal yang ada dalam lingkungannya.  Dan hebatnya Kelly benar-benar tahu dan mengerti betul caranya mengolah cerita dengan benar-benar tajam dan sentimentil. Kita dihadapkan pada remaja pathetic, emotional, dan as*hole, yang kadang selalu membuat kita kesal melihatnya, tapi kadang sesekali dapat menarik simpati penonton dan mengerti atas permasalahan yang terjadi dalam dirinya, apalagi kita mengetahui bahwa Nadine hanyalah seorang remaja yang sesungguhnya ingin dianggap ada dan dimengerti oleh orang-orang disekitarnya.

Tidak hanya itu, tidak lantas menjudge sembarangan melainkan kita melihat bagaimana proses Nadine yang tidak hanya tentang perilakunya yang distressful dan kekanak-kanakkan, tapi juga bagaimana ia memproses dirinya menjadi lebih kuat, dewasa, menerima dan memahami dengan caranya melihat dan belajar. Ya, apa yang kita lihat pada karakter Nadine sepenuhnya karakter yang pintar dan eksklusif, ia pintar berbicara, memandang dunia secara berbeda, melihat dirinya seakan spesial dan tahu segalanya, dan memandang orang-orang disekitarnya hanyalah pengganggu dan tidak berguna bagi dirinya. Tapi, seakan ia belajar dan belajar dari setiap hal yang ia dapatkan dalam hidupnya, apalagi saat ia bertemu dengan Mr. Burney yang terlihat tidak begitu peduli dengan permasalahan Nadine tapi ternyata dirinyalah yang lebih tahu cara menangani dan lebih dekat dengan anak muridnya tersebut, yang secara tak langsung mengajarkan Nadine akan suatu hal yang membuatnya berubah.

Meskipun cerita yang dihadirkan oleh Kelly termasuk ringan dan dibumbui dengan comedy-drama coming-of-age yang witty, namun sindirian permasalahan yang terjadi dalam kehidupan remaja pathetic dan dilematis dikemas dengan sangat menawan, tepat dan tajam, apalagi saya melihat apa yang dihadirkan oleh Kelly terasa jujur dan opened dalam bercerita. Menjadi sebuah sajian studi karakter yang menarik tentang aspek kehidupan remaja yang sebenarnya menjadi sindiran kuat yang tidak boleh sedikitpun diabaikan oleh siapapun baik terangkum dalam aspek lingkungan sosial, keluarga, dan pendidikan.

You May Also Like

0 Comments