REVIEW FILM: The Lost City of Z (2017)

by - Juli 20, 2017



Atlantis mungkin bukan satu-satunya kota hilang yang tak pernah ditemukan dan masih dianggap sebagai mitos belaka sampai saat ini, salah satunya adalah kota hilang yang diberi nama dari alfabet terakhir, 'Z' yang dicari oleh para eksplorer dan para peneliti arkeolog apakah kota yang dianggap memiliki peradaban paling maju ini benar-benar bersembunyi di pedalaman hutan terbesar ke-2 di dunia yaitu Amazon, Brazil. Dan orang pertama yang berusaha membuktikan hal tersebut adalah perwira tinggi berpangkat Major, Percy Fawcett (Charlie Hunnam). Awalnya Major Fawcett ditugaskan untuk melakukan pemetaan sebuah lokasi tak terjamah di hutan Amazon, karena terjadinya sengketa lahan hutan yang kaya akan sumber karet antara negara Bolivia dan Brazil. Tapi, tidak disangka diluar ekspedisinya tersebut ia secara tidak sengaja menemukan sebuah artefak kuno berupa pecahan pot serta ukiran wajah manusia yang diklaim dirinya sebagai peninggalan kota yang konon didengarnya melalui pribumi suku Indian yang disebutnya sebagai The Lost City of Z.


The Lost City of Z diambil dari buku berjudul sama yang ditulis oleh David Grann yang khusus menuliskan biografi kehidupan dan juga petualangan Percy Fawcett dalam menemukan hal yang hampir mustahil baik buat orang lain maupun bagi dirinya sendiri. Lewat bukunya sutradara James Gray mengungkapkan segelintir kisah hidup dari latar belakangnya bersama istrinya Nina Fawcett (Sienna Miller), hingga lika-liku dirinya tidak hanya dalam sepak terjangnya menelusuri hutan yang dianggap neraka bagi sebagian rekan-rekan Fawcett yang ikut membantunya melakukan ekspedisi, tapi juga masalah yang dihadapi saat ia harus meyakinkan sebagian orang di kotanya bahwa The Lost City of Z itu benar-benar nyata meski segelintir orang menertawakan dan mengejeknya lantaran apa yang diklaimnya sebagai peninggalan budaya kota hilang tersebut hanyalah akal-akalannya dan obsesinya hanya sebuah kesintingan yang tak masuk akal.


Mungkin apa yang dilakukan oleh Percy Fawcett menjadi sebuah kontradiksi, banyak orang berpendapat bahwa yang dilakukannya adalah perbuatan sia-sia. Tapi, ini mungkin adalah cerita yang bisa menjadi kisah inspiratif dan memotivasi sebagian orang apalagi bagi para peneliti maupun calon arkeolog. Kisah ini memang jauh lebih mendukung apa yang dilakukan oleh Fawcett ketimbang menjadikannya sebagai orang gila yang menyia-nyiakan hidup dengan sesuatu yang tidak jelas rimbanya. Di film ini pun menceritakan segelintir orang yaitu asistennya Henry Costin (Robert Pattinson) termasuk Nina sangat mendukung tindakkan yang dilakukan Percy meski saya sendiri agak kurang mengerti motif khusus Fawcett sampai-sampai rela menelantarkan anak bahkan istrinya yang bahkan sedang hamil demi menantang maut mencari kota tersebut, perihal latar belakang Fawcett sendiri bukanlah seorang arkeolog ataupun adventurer. Tapi, satu-satunya hal yang saya pahami adalah obsesi dan ambisi besarnya sebagai seorang Conquistador (penakluk) hutan Amazon, hingga sampai suatu adegan bagaimana seorang peramal mengatakan akan masa depan Fawcett lantaran sesungguhnya ia akan ditakdirkan untuk menjadi orang pertama yang menemukan kota hilang tersebut menjadi salah satu bagian yang menguatkan keinginan Fawcett sebagai landasan motif terbesarnya, meskipun hal tersebut bukan sesuatu yang mutlak dipercaya.


Disinilah letak pengorbanan besar dari seorang Percy Fawcett, ini bukan tentang hasil yang ia capai melainkan proses pencariannya yang penuh rintangan dan hambatan besar didepannya, hingga menimbulkan sebuah kompleksitas kecil yang hinggap dalam petualangan gilanya. Hal pertama dan terbesar tentu saja perjalanannya yang tidak sedikit waktu dihabiskan didalam hutan dan diikuti penderitaan dan taruhan nyawa, seperti serangan dari suku indian, piranha, hewan-hewan liar, rasa lapar maupun wabah penyakit. Tapi, sayangnya eksplorasi Fawcett terbagi dalam 3 acts yang justru memecah keseruan dan ketegangan Fawcett didalam hutan, yang terseparasi kehidupan selepas Fawcett yang tiba-tiba selamat dan pulang ke kotanya lantaran James Gray ingin mencoba memporsir drama dan hubungannya bersama keluarga serta konflik permasalahan dan pengaruh dirinya dalam pencariannya itu. Saya suka dengan momentum yang terjadi dalam permasalahan rumit yang mengintai Percy, salah satunya Jack Fawcett (Tom Holland) anak Percy paling sulung yang telah dewasa begitu menentang dan membenci impian ayahnya, hingga masalah miring lain seperti kurangnya dukungan, dana dan sukarelawan yang membuat dirinya putus asa hingga menganggap bahwa impiannya tersebut memang sia-sia.


The Lost City of Z mungkin punya plot yang bagus, hanya saja setiap pertukaran moment dari keberingasan hutan Amazon yang mematikan yang digambarkan betapa beratnya perjuangan Percy Fawcett dkk dalam menempuh hutan dan sungai hingga harus berhadapan dengan hal-hal tak terduga sekaligus dengan sinematografi apik yang mampu menangkap keindahan landscape hutan hujan tropis, dengan perpindahan repetisi kepulangan tiba-tiba Fawcett dengan sehat dan selamat dari Amazon. Seketika menghilangkan tendensi rasa putus asa dan ketegangan yang sebetulnya sudah muncul di awal. Seolah James Gray kesulitan menerjemahkan dengan benar setiap tulisan buku tersebut yang notabene dalam bukunya sendiri justru lebih banyak menggambarkan suasana mencekam diliputi rasa takut Fawcett dkk dalam menghadapi rintangan dalam hutan, menjadi lebih banyak menyajikan sajian biopik cerita yang generik dan melelahkan dengan durasinya yang melebihi 2 jam sehingga menghilangkan sense of adventure didalamnya.

You May Also Like

0 Comments