REVIEW FILM: La La Land (2016)

by - Januari 10, 2017



Setiap orang pasti mempunyai mimpi dan setiap orang pasti ingin mewujudkan mimpi tersebut. Tapi, bukankah dalam perjalanan mewujudkan mimpi itu juga harus disertai dengan kegagalan berkali-kali dan juga konsekuensi adanya sebuah pengorbanan? Bahkan dibalik gemerlapan kota Los Angeles dan Hollywood tersimpan begitu banyak impian-impian yang kadangkala tidak berakhir sebaik yang diharapkan. Ya, Damien Chazelle "Whiplash" kembali lagi menghadirkan sebuah drama musikal yang masih kuat dengan temanya tentang ambisi dan mimpi. Tapi, kali ini dengan latar belakang kisah yang lebih sederhana, lebih melow, lebih riang dan lebih romantis, La La Land akan mencoba merangkulmu akan sebuah makna tersirat dibalik para pengejar mimpi-mimpi di sebuah kota besar yang dijuluki City of Angels, juga tentang surat cinta kepada musik jazz yang dulu pernah memeriahkan kota tersebut sebagai pusat kota hiburan di dunia.

Mia (Emma Stone) seorang pramutama sebuah cafe di pinggiran kota L.A. yang bermimpi menembus dunia hiburan sebagai seorang artis. Mimpi tersebut Mia kejar dengan mengikuti beberapa kontes dan audisi, meskipun ia harus jatuh bangun disertai kegagalan dalam mencapai keinginannya tersebut. Dan, Sebastian (Ryan Gosling) seorang pianis yang sangat mencintai musik jazz, yang memiliki impian untuk membangun sebuah bar miliknya sendiri, meskipun ia juga dilanda kesulitan serupa untuk berjuang mengumpulkan uang dan dana. Sampai akhirnya pertemuan demi pertemuan tak disengaja antara mereka terbangun komunikasi lebih jauh dan membuat mereka menjadi sepasang kekasih, yang tidak hanya mengejar mimpi mereka masing-masing tapi sekaligus saling mendorong dan mensupport mimpi-mimpi mereka untuk tidak berhenti mengejarnya.

Mungkin sudah banyak yang tahu, La La Land bukanlah film pertama yang mempertemukan Ryan Gosling dan Emma Stone sebagai sepasang kekasih. Keduanya sudah pernah berperan dalam dua film, "Crazy, Stupid Love" dan "Gangster Squad". Ya, mungkin memang sudah tidak sulit lagi menemukan chemistry dan kecocokkan diantara keduanya, apalagi tidak seperti kedua filmnya, di La La Land akan jauh lebih memfokuskan hubungan mereka berdua, diantaranya bagaimana mereka bisa saling berkenalan dalam sebuah takdir, dari awal pertemuan yang tidak saling menyukai menjadi saling tertarik. Tapi, sungguh jangan tertipu, bahwa mungkin seperti kelihatannya aroma cinta dalam film ini begitu kental, justru sebaliknya cinta menjadi sebuah bumbu-bumbu dimana letaknya dibawah mimpi-mimpi dan tujuan para tokoh utama. Justru hubungan cinta diantara Mia dan Sebastian adalah sepasang kekasih yang saling mendukung dan mendorong mimpi mereka satu sama lain, ketika diantara mereka dilanda keputusasaan, kekecewaan dan kegagalan.

La La Land adalah sebuah film melankolis, tentu dengan dukungan sinematografi dan juga warna palette biru dilangit-langit Los Angeles dikala malam dan senja, ada metafora tersendiri dibalik warna-warna redup ketika Damien menggambarkan bentuk impian. Sungguh pas cara Damien menggambarkan semuanya, apalagi permainan lampu sorot ciri drama panggung musikal, entah ketika Sebastian memainkan piano yang kadang spontan bikin tersenyum tapi juga bisa menghanyutkan, yang kadang menimbulkan sisi lucu dan haru pada dirinya. Ataupun saat Mia menyanyikan lagu 'Audition (The Fools Who Dream)', irama yang sempurna tentang bodohnya para pengejar mimpi yang terus berusaha mengejarnya walaupun dirinya sendiri terjengkal berkali-kali. Tentu, sebetulnya masih banyak sekali perpaduan-perpaduan yang di ilustrasikan secara artistik, antara alunan musik menggetarkan, koreografi dance ceria, dan juga latar panggung yang kadang tampak seperti magic yang sangat membekas.

Kisah yang diantarkan Damien sebetulnya sederhana, tapi semua komposisi yang dia berikan sangat solid dan seirama. Baik bagaimana Damien membangun drama romantis yang tidak berlebihan, kemudian selipan komedi yang tepat guna dan lucu. Dan juga letupan emosi yang sebetulnya hadir sedikit, tapi penonton mampu menggapai rasa haru luar biasa dan ketika penonton menemukan sebuah arti pengorbanan dari menggapai mimpi-mimpi tersebut semakin membuat mata berkaca-kaca. Selain itu juga, ada terselip kisah musik jazz yang semenjak dulu mewarnai sudut kota Los Angeles dengan keterpurukan dan perubahan warna musik yang tidak lagi orisinil, membuat Sebastian sendiri mencoba mempertahankan warisan tersebut, apalagi ada nama musisi terkenal seperti John Legend sebagai Keith yang juga mampu tampil membantu penceritaan Sebastian. Ya, membicarakan kota Los Angeles, Damien menghantarkan kota Los Angeles pada penonton yang sewarna dengan tempo dulu, dengan mobil-mobil klasik, musik jazz dan koreografi musikal. Tapi melihat gadget seperti iphone, laptop, dan mobil-mobil modern, seketika ada sebuah timeline yang kabur. Tapi, mungkin ini yang ingin disampaikan Damien tentang dunia yang ingin diciptakan di kota Los Angeles.

Well, saya sanggup bertaruh bahwa Damien Chazelle akan kembali mengantongi piala Oscar tahun ini, entah acting department, pictures & art decoration department, ataupun music department. Karena semua yang La La Land berikan hadir dalam komposisi yang sempurna. Ada Ryan Gosling dan Emma Stone yang tampil sangat mempesona, lucu, dan juga mengharukan, menjadikan keduanya sebagai salah satu pasangan terbaik tahun ini (baca: dalam film). Sebagaimana sinematografi, desain dan dekorasi warna-warni yang berhamparan secara artistik, elegant dan magical mengenai impian-impian di kota besar dan hiburan. Sebuah surat cinta bagi musik jazz, bagi kota Los Angeles dan juga bagi para pengejar mimpi besar di kota itu.

You May Also Like

0 Comments