REVIEW FILM: Bridget Jones's Baby (2016)

by - Januari 15, 2017



Setelah genap 10 Tahun dari film terakhirnya Bridget Jones: The Edge of Reason yang menuai kegagalan, sutradara Sharon Maguire yang memberikan kesuksesan pertama pada novel karangan Helen Fielding ini kembali lagi untuk menceritakan kehidupan sang wanita lajang dengan segelintir kehidupannya yang konyol, melankolis dan romantis. Dengan tidak lagi mengadaptasi ceritanya dari novel, Fielding langsung terjun untuk membuat naskah film Bridget Jones's Baby ini, dibantu oleh dua penulis lainnya Emma Thompson dan Dan Mazer. Menjadi film yang dicintai oleh para penggemar lamanya, film ini menjadi sebuah nostalgia sekaligus pelepas kerinduan bagi orang Inggris dan bagi seluruh penggemarnya di seluruh dunia.

Di usianya yang ke-43 yang terbilang tidak lagi muda, Bridget Jones (Renée Zellweger) masih tetap menghadapi kehidupan lajangnya tanpa pasangan. Bahkan lawyer sukses, Mark Darcy (Colin Firth) yang notabene kekasih setianya dulu kini malah menikah dengan seorang wanita pilihannya sendiri, Camilla (Agni Scott). Ditambah saingannya Daniel Cleaver (Hugh Grant) telah meninggal akibat kecelakaan. Ya, meski dirundung kesepian akan seorang pria, namun Bridget tetap tegar dan acuh bersamaan dengan kesuksesan karirnya sebagai produser acara tv dan juga sahabat-sahabat setianya yang selalu memberinya support. Hingga akhirnya takdir mempertemukan Bridget dengan seorang pria asing dalam konser musik yang tentu saja menarik perhatiannya dan membuatnya menjalin hubungan dengan Jack (Patrick Dempsey). Dalam sebuah kerumitan hubungan antara Bridget, Mark dan Jack, Bridget ternyata harus menghadapi dirinya yang tengah hamil diluar nikah. Dan tentu saja dalam keadaannya yang tengah mengandung ia masih dipertanyakan dengan sosok ayah asli anaknya tersebut.

Menghadirkan kembali cinta segitiga ala british, tentu dengan melihat poster film tanpa kehadiran Hugh Grant disisi Bridget, digantikan oleh seorang Patrcik Dempsey, film ini mengalami sedikit perubahan suasana. Dengan karakter yang diperankan Renée Zellweger tidak lagi semuda dulu bahkan teman-temannya menyebut dirinya MILF, tapi Renée masih tetap menjadi wanita yang menarik, lucu dan konyol. Dan hal yang paling saya suka adalah kembalinya sutradara Sharon Maguire. Tentu saja ia bukan Beeban Kidron yang terlalu over slapstick. Sharon masih tetap membawa kisah hidup Bridget tetap menghibur, joyful dan lucu.

Ada cerita yang memang jauh lebih menarik dan lebih komplikatif dihadirkan oleh Sharon dan Fielding, salah satunya adalah konflik Mark dan Jack, mereka adalah pria yang sama-sama setia, baik, dan tentu saja menyayangi dan mencintai Bridget dengan sangat tulus. Apalagi kehadiran seorang anak dalam perut Bridget, keduanya sama-sama bahagia. Walau tidak ada lagi segmen berkelahi seperti dulu, tapi ada sebuah persaingan diantara mereka yang hadir cukup emosional. Sama-sama punya pengaruh kuat dan persepektif sama tentang diri Bridget, dan Bridget pun tampil dalam kebimbangan meski ia tidak menutupi diri bahwa ia juga bahagia dengan kehadiran seorang anak. 

Meski menjadi sajian nostalgia yang menyenangkan, tapi sayangnya pengaruh keterlambatan perilisan film ini menjadi tolak ukur negatif bagi pengembangan cerita Bridget sendiri. Sebetulnya apa yang disajikan hampir tidak berubah sepenuhnya, problematika percintaannya terlampau klise dan juga tokoh utama Bridget beserta Mark tiada perkembangan karakter sama sekali. Justru penampakan Bridget yang mature tidak merubah image-nya selama 10 tahun untuk tampil lebih dewasa, justru kerap menjadi karakter yang masih merangkap gaya hidup hedonis. Sikapnya inilah yang berseberangan dengan apa yang ditangkap oleh Saya akan ketidaksesuaian lagi karakter Bridget yang dibawakan Renée, yang sebetulnya tingkah konyol, bodoh dan memalukannya tetap memancing tawa.

Apalagi kurang tergalinya emosi tiap tokoh yang diharapkan lebih mengungkapkan sisi kehidupan dan perasaan antara Bridget, Mark dan Jack. Salah satunya, terkait hubungan asmara-rindu Bridget dan Mark yang kurang relatable dengan kondisi-kondisi mereka saat itu ditengah perceraian Mark dan kondisi hamil Bridget. Tidak ada emosional yang harusnya lebih dibangun antara dua orang yang kisah cintanya sering "putus-nyambung" ini, meskipun ada acuan kisah flashback, tapi terasa masih kurang mengungkapkan alasan kembalinya rasa ketertarikan diantara keduanya. Sehingga terlihat naskah film Helen, Emma dan Mazer ini memaksakan keterlibatan Mark dalam kompleksitas hubungan Bridget dan Jack.

Well, tentunya film Bridget Jones's Baby masih bisa menghibur para penontonnya, dikala Sharon Maguire masih bisa memberikan sebuah komedi slapstick dan atraktif yang diperankan oleh Renée Zellweger dengan sangat lucu dan bodoh. Dengan mengedepankan sosok seorang bayi yang dikandung dan kemelut hubungan cinta segitiga yang rumit. Saya tidak tahu apakah ini akan menjadi film terakhir kisah Bridget Jones atau tidak, karena untuk kelanjutan novel cerita film ini masih memiliki kelanjutan kisahnya dengan judul "Bridget Jones: Mad About the Boy", yang diterbirkan 10 Oktober 2013 lalu. Tapi, film ini tetap bisa menjadi semangat baru bagi Sharon dan Helen yang mungkin akan kembali menghadirkan cerita keempat dari novel ketiganya nanti. Kita lihat saja nanti.

You May Also Like

0 Comments