REVIEW FILM: War Dogs (2016)

by - Januari 17, 2017



Seiring kegagalan beruntun sutradara Todd Phillips (trilogi "The Hangover") beberapa tahun terakhir, Todd yang spesialis membuat film wild comedy mencoba memberi suasana baru. Mengambil latar belakang kisah nyata, Todd merangkum cerita drama berbalut kriminal tentang dua remaja penjual senjata yang mendapatkan kontrak khusus dari pemerintah AS untuk menyuplai senjata kepada tentara AS di Afghanistan. War Dogs adalah sebuah film yang mengawinkan antara film Lord of War  dengan The Wolf of Wall Street.

David Packouz (Miles Teller) adalah seorang pemuda berumur 22 tahun yang berkarir sebagai tukang pijat untuk orang kaya dan juga sales penjual seprai door-to-door. Tapi, kehidupan David mulai berubah sejak ia bertemu lagi dengan teman SMP nya, Efraim Diveroli (Jonah Hill), yang sekarang menjadi seorang pemasok dan penjual senjata bagi kalangan pemerintah AS. Karena kebutuhan ekonomi, apalagi kekasih Packouz, Iz (Ana De Armas) yang sedang mengandung seorang anak, Efraim lalu merekrut Packouz untuk bekerja sama dalam bisnisnya tersebut.

Mungkin menjadi agen penjual senjata seperti yang dilakukan Efraim dan Packouz adalah sebuah bisnis legal yang tidak haram bagi pemerintah AS maupun dunia, tapi bukan berarti apa yang mereka lakukan tidak menyentil sedikit tragedi moral globalisasi, karena senjatalah perang dan kriminalitas bisa terjadi dimana-mana. Mengangkat tema sensitif, Todd mengenalkan bagaimana sebuah bisnis penjualan senjata itu terlihat buram, antara 'bad bussiness' dan 'good bussiness'. Meskipun dilakukan untuk kepentingan pemerintah, tapi tetap saja perang adalah buntut konflik timur tengah yang terjadi hingga sekarang, entah demi mengatasi terorisme, politik atau mungkin hal lain yang tak terceritakan pada publik.

Tapi, War Dogs bukanlah film yang membawakanmu sesuatu yang 'besar', ia punya segelintir cerita klise dan hampir tidak spesial. Meski film ini punya beberapa ruang untuk menggejolakkan emosi, tension, ataupun komedi, tapi setiap adegan yang dihadirkan semuanya terasa melempem, contohnya saat Iz yang bertengkar dengan Packouz karena pekerjaannya yang tidak disukai Iz, meskipun ia sendiri menyadari dan memaklumi apa yang dilakukan suaminya hanya untuk keluarga dan juga anaknya, meski beberapa kali konflik diantara mereka terjadi karena kebohongan-kebohongan tapi sayangnya memang akting antara Miles Teller dan Ana De Armas tidak lebih baik untuk lebih memancing drama yang lebih emosional. Dan juga bagaimana elemen tensi dari ketegangan perang di timur tengah pun terasa tidak punya gelombang ketegangan yang mumpuni, meski juga dicekoki adegan dark comedy-pun terasa garing.

Bagian terbaiknya adalah akting Jonah Hill sebagai Efraim yang mampu tampil sebagai 'a dangerous man'. Penampilan gangster dengan raut wajah yang kusam, Jonah Hill berperan dengan sangat atraktif sebagai seorang pebisnis pintar, licik, gila, hedonis dan egois, sebaik ia berperan sebagai partner Leonardo di Caprio di film The Wolf of Wall Street. Apalagi saat teman-teman Packouz mengatakan padanya untuk tidak terlalu terlibat dengan Efraim. Dengan mempampang gambar Al Pacino di film "Scarface", serta poster matahari senja di kantor Efraim, kerap ingin menggambarkan sosok Toni Montana beserta ideologi bisnis yang dianutnya. Sebagai orang yang kejam, licik, dan berani terhadap tantangan besar.

Meski di film ini tindakan glamor dan pesta gila-gilaan yang dilakukan tidak segila Martin Scorsese di filmnya, Todd lebih kalem dan seolah tidak lebih berani dalam bercerita, meski drugs dan referensi seksual kerap ada dalam adegan, juga kurang berani mengangkat lebih dalam isu perang timur tengah yang berkecamuk. Tapi, film ini juga punya persentasi yang sama menariknya bagaimana upaya Efraim dan Packouz membangun usahanya hingga mereka sukses, membeli apartemen, membeli mobil porsche, mempunyai kantor dan anak buah, mendapatkan kontrak ratusan juta dari pemerintah untuk men-stock peluru senjata ke negara Afghanistan, hingga keterlibatan mereka dengan pebisnis misterius, Henry Girard (Bradley Cooper) dan berurusan dengan berbagai bisnis gelap dan ilegal yang menaungi pekerjaan mereka.

Well, War Dogs bukan sebuah film biopik yang punya sekelumit cerita besar dan hebat, tapi juga bukan cerita yang jelek dan membosankan. Bagaimana isu perang dan pemerintah yang berkaitan erat dengan tiada habisnya negara yang rela menggelontorkan miliyaran dolar hanya untuk membeli pasokan senjata, peluru, granat dan perlengkapan perang lainnya. Ya, apapun alasannya meski dengan alasan demi kepentingan negara, perang adalah sesuatu yang tetap saja buruk dan tidak ada kata tamat bagi perang, dengan tiada habisnya uang dan senjata maka perang akan terus terjadi. War Dogs adalah sebuah film tentang senjata, uang, perang, pemerintah dan bisnis yang sama-sama mengupas outside kekelaman dunia perang timur tengah.

You May Also Like

0 Comments