REVIEW FILM: The Handmaiden (2016)

by - November 06, 2016



Berlatar lokasi di Korea tahun 1930, Sook-hee (Tae-ri Kim) adalah seorang gadis yatim piatu dari keluarga miskin dan merupakan seorang pencopet. Ia menerima pekerjaan kotor dari seorang penipu bernama Count Fujiwara (Ha Jung-woo) yang berkedok sebagai seorang bangsawan. Fujiwara berencana untuk menipu dan menguras habis harta bangsawan jepang kaya dengan cara menikahi ahli warisnya, Lady Hideko (Min-hee Kim), yang tinggal di rumah gedong bersama pamannya, Uncle Kouzuki (Cho Jin-Woong). Agar rencananya berjalan mulus ia membutuhkan Sook-hee untuk bekerja sebagai pelayan di rumah Lady Hideko, lalu mendekati dan menghasut dirinya agar mencintai Fujiwara. Namun, siapa sangka Sook-hee yang berencana untuk membujuknya malah berbalik mencintai targetnya sendiri.

Mungkin itu sedikit gambaran dari film berjudul The Handmaiden aka Ah-ga-ssi, yang disutradrai oleh Chan-Wook Park yang terkenal akan karyanya yang menghipnotis (Oldboy, Thirst, dan Stoker) dan dibantu Seo-Kyung Chung, Chung Seo-Kyung sebagai penulis naskah cerita. Saya sendiri tidak mau mengambil resiko mengumbar cerita film ini dengan panjang lebar walau satu paragraf sinopsis di atas masih belum bisa menggambarkan kompleksitas cerita secara detil dan Saya tak mau mengambil lebih banyak kesenangan penonton untuk tetap menikmati dan bereksperimen sendiri soal film yang diadaptasikan dari original novel Inggris berjudul Fingersmith, karya Sarah Waters.

Kisah asmara sesama jenis mungkin bagi orang awam akan terdengar aneh dan menjijikkan. Ya, karena homoseksual adalah sesuatu yang dianggap tabu bagi kebanyakan orang apalagi di Indonesia. Tapi, mungkin beda ceritanya jika ia di olah sedemikian rupa dalam sebuah film. Tengok saja salah satu film yang dibintangi oleh Cate Blanchett-Rooney Mara (Carol). Bahkan sangking indahnya sinematografi, akting, bahkan naskah cerita yang dibuat Todd Haynes, membuat Saya lupa bahwa mereka berdua sedang memerankan cinta sesama jenis. Dan kali inipun Chan-Wook Park punya taste yang kurang lebih sama dalam mengandalkan ketiga elemen tadi. Cinematography, acting, and Plot Story. Hanya bedanya ia lebih mencampur adukkan unsur misteri dan sensualitas yang lebih kental dan lebih terang-terangan.

Seperti halnya Stoker, yang sama-sama mengangkat hubungan terselubung dari setiap karakternya. Film ini punya motif yang lebih rumit. Setiap karakter punya sesuatu yang mereka sembunyikan, walau bukan sebuah film bertipe puzzle, tapi klimaks cerita yang tak disangka-sangka inilah akhirnya yang berhasil mengejutkanmu dan membuat otakmu terjungkir balik. Walau tak sesakit film Oldboy, tapi tetap punya sensasi yang sama-sama kotor dan menjijikkan.

Hal yang paling mencolok pun terasa dari sinematografis yang terasa sangat artistik. Ya, tentu ditangan Chan-Wook Park, setiap scene film ini terasa bagaikan lukisan dinding dan gambar-gambar yang begitu memorable. Efek cahaya lampu yang dimaksimalkanpun terasa sangat eyecatching. Dipadukan dengan daya tarik erotisme film yang terasa kental dan terasa mencengkram, membuat sebuah sensasi ekstrim dari setiap sudut keindahaan film ini.

Scene-scene erotis dan berani pun ditampilkan oleh Min-hee Kim (Right Now, Wrong Then) dan Tae-ri Kim. Min-hee Kim memancarkan sosok penuh aura kecantikkan namun dibalik itu ia menyimpan sebuah kerapuhan dalam hatinya untuk mendapatkan kebebasan. Tae-ri Kim, walau film ini sebagai debut pertamanya, tapi aktingnya bukan main, aktingnya sebagai wanita penuh gairah antara nafsu dan cintanya terhadap sesama wanita tergambar dengan hubungan yang kian nakal dari ciuman, pikiran mesum hingga hubungan seks mereka berdua. Ha Jung-woo yang tampil ditengah kedua wanita ini pun tampil solid, memperlihatkan sosok pria serakah dan jahat namun diam-diam ia juga menyembunyikan sesuatu dibalik wajah menyebalkannya. Dan terakhir Cho Jin-Woong yang berakting sebagai paman Lady Hideko, meski filmnya sendiri tak benar-benar memasukkannya pada konflik cerita, tapi setiap kemunculannya memunculkan sosok aneh, ambigu, dan misterius.

Pada awalnya menonton film The Handmaiden ini harus penuh konsentrasi, ia punya penceritaan yang terlampau rumit, kadang berbelit-belit, kadang lompat kesana-kemari, bahkan sekali kehilangan moment maka akan sulit untuk mengikuti alur ceritanya sampai akhir. Yang perlu di garis bawahi adalah permainan gambar sinematografi di film ini benar-benar mewah untuk sebuah film yang menjual sensualitas dan erotisme tentang cinta LGBT. Dibalik cerita yang rumit, film ini bahkan masih punya banyak kejutan, yang bisa dibilang cerdas namun juga bisa dibilang lebih konspiratif dari yang diduga. Buat Saya film ini adalah paket lengkap sinematografi, akting, dan plot cerita yang sangat kaya dan mewah tentang cerita cinta sesama jenis. Gelap, sensual, dan misterius.

You May Also Like

0 Comments