REVIEW FILM: Eye in the Sky (2016)

by - November 05, 2016



Sepertinya Eye in the Sky menjadi film yang wajib harus kamu tonton. Bagaimana ia akan mempermainkan perasaanmu pada sebuah konsekuensi besar tentang pilihan yang sama-sama mengorbankan hati nuranimu. Ya, film yang dibesut oleh Gavin Hood ini akan memainkan sebuah drama militer dengan plot cerita yang sempit tapi mampu mengeksplorasi emosimu dengan skala yang lebih besar.

Film berdurasi 102 menit ini akan menyoroti konsekuensi teknologi modern yang dimiliki sebuah militer negara maju. Dimana sebuah operasi militer rahasia yang dipimpin oleh Kolonel Katherine Powell (Helen Mirren). Dengan menggunakan fasilitas drone, sambil melakukan pemantauan dan pelacakan dari jauh ia bersama pilot Amerika, Steve Watts (Aaron Paul) dan co-pilotnya Carrie Gershon (Phoebe Fox) akan melakukan penangkapan pelaku teroris yang telah lama menjadi target buronan di Nairobi, Kenya. Mengetahui kondisi yang tak terduga dan waktu yang begitu sempit, Kolonel Kath mengubah rencana yang sebelumnya hanya melakukan operasi penangkapan berubah menjadi operasi pembunuhan.

Namun rencana tersebut tidak berjalan semudah itu, karena para beberapa dewan petinggi di Amerika salah satunya Lt. Gen. Frank Benson (Alan Rickman) memperdebatkan masalah legalitas dan hukum dari konsekuensi peluncuran misil di tengah permukiman penduduk. Terlebih rencana pembunuhan tersebut dapat berakibat pada korban seorang gadis kecil di dekat target.

Memang tak bisa disangkal, ini sebuah lompatan tinggi tak terduga yang dilakukan oleh Gavin Hood. Padahal dua filmnya yang terlihat kepayahan (X-Men Origins dan Ender's Game) bukan sebuah awal yang bagus untuk melihat kemampuannya menggubah naskah Guy Hibbert menjadi brilliant. Tapi, film berbudget $13,000,000 ini tak disangka menjadi sebuah film yang benar-benar memberikanmu sentuhan nurani sedemikian rupa tentang arti sebuah nyawa.

Gavin Hood membagi scene cerita sekitar empat buah latar tempat yang berbeda. Pertama, markas militer London sebagai tempat penyidikan rahasia teroris. Kedua, Nairobi Kenya sebagai lokasi target teroris. Ketiga, pusat komando teknologi drone di pangkalan udara militer Amerika Serikat. Keempat, Kantor Pusat Pemerintahan Inggris. Meski scene film ini yang terlihat melebar dan komplikatif, malah sama sekali tidak berfokus pada konflik antara pemerintahan dan teroris.

Justru terasa lebih mengkerucut kepada konflik internal yang dialami pemerintah dan lembaga militer itu sendiri. Dan sepanjang film kita hanya dicekoki masalah pertentangan dan beda pendapat soal penembakan misil ke lokasi target yang harus dihadapkan pada gadis kecil yang berdiri didekat area ledakan. Tapi, hebatnya Gavin mampu memberikan begitu banyak isu soal moralitas, hukum dan politik. Tidak hanya itu, banyak konflik cerdas dan perdebatan panas-dingin, dimana setiap orang saling memikirkan hal yang dianggapnya benar namun kenyataannya semua punya resiko besar untuk diambil.

Apapun tindakan yang mereka ambil akan beresiko pada satu nyawa gadis kecil ini. Pertaruhan demi pertaruhan pun dilakukan pemerintah dan anggota militer. Bahkan dari sisi manapun membunuh gadis kecil tak berdosa adalah hal yang kejam dan sadis, bukan? Tapi, dibalik itu ada ribuan nyawa anak-anak lain yang bisa diselamatkan. Ya, terlihat sentimentil dan tajam. Menyodok keras hati nurani bagi pemerintahan dan orang-orang terlibat didalamnya. Ia memberikan sebuah emosi kuat yang akan mempengaruhi batinmu. Bahkan peran eksekutor yang biasanya terlihat sebagai robot yang selalu patuh difilm-film lainpun, sang Aaron Paul dan Phoebe Fox dibalik ruang kontrol drone turut mendapatkan sebuah goncangan batin.

Salah satu kekuatan film ini juga tidak lain dan tidak bukan karena kualitas dari para cast-nya yang solid. Salah satunya pun datang dari artis yang pernah meraih Oscar dalam aktingnya sebagai ratu inggris, Helen Mirren (The Queen, Trumbo). Dibalik panggung yang biasa di isi laki-laki, meski seorang wanita namun karismanya sebagai pemimpin operasi militer ini malah diluar dugaan. Bahkan, tak ada pikiran sedikitpun bahwa ia adalah ibu-ibu paruh baya dengan karakter feminim dan lembut. Sebaliknya ialah satu-satunya karakter yang punya karakter paling keras dan tegas dibanding karakter pria yang ada di film ini. Dan, film juga ini menandakan akhir karir Alan Rickman (Harry Potter) di dunia perfilman akibat kabar kematiannya yang mengejutkan, meski perannya tidak terlalu menghipnotis seperti Helen Mirren, tapi ia tetap tampil bagus memainkan peran sebagai Letnan Jenderal. Dan selain mereka ada juga Iain Glen dan Barkhad Abdi, yang populer karena aktingnya di film Captain Phillips (2013) yang mengisi beberapa adegan yang penting di film ini.

Situasi yang terlihat simple ini memang memberikan sebuah kasus yang cukup komplikatif dan super sensitif. Ia menggiringimu pada sebuah kasus yang lebih dari sekedar pembunuhan dan pengorbanan. Bahkan secara tidak sengaja memberikan renyuhan emosional dan dramatisasi luar biasa yang sanggup membuat hati nuranimu tersentuh dan terkoyak hatinya. Drone yang begitu canggih, bahkan dari ukuran sebesar pesawat sampai ke ukuran sekecil kumbang. Mungkin banyak desas-desus tentang teknologi militer Amerika Serikat yang terlihat sangat licik dan berbahaya bagi privasi negara lain. Walau kenyataannya juga teknologi ini banyak memberikan sisi positif. Dan kebenaran akan teknologi ini juga secara umum masih belum diketahui di mata masyarakat. Tapi, pada akhirnya film ini ingin menyentil sisi gelap teknologi militerisasi dan otoritas pemerintahan di zaman modern.

You May Also Like

0 Comments