REVIEW FILM: Evil Dead (2013)

by - Juli 12, 2013



Mengisahkan tentang sekelompok remaja yang sedang berlibur di sebuah kabin di tengah hutan. Niat untuk bersenang-senang kemudian malah berakhir menjadi teror yang penuh darah dan kejadian supranatural saat mereka menemukan sebuah "buku kematian" dalam Kabin tersebut. Lewat buku tersebut mereka ternyata tanpa sengaja telah 'memanggil' iblis di hutan tersebut yang siap membuat nyawa mereka semua terancam.

REVIEW :
Menjadikan horor klasik dengan versi yang lebih modern tanpa menghilangkan esensi film memang sangat sulit dilakukan. Apalagi meninggalkan kesan menakutkan buat sebuah film horor yang notabene sulit dilakukan di zaman sekarang. Dengan mengedepankan socking event ataupun adegan gore berlebih yang menjadi unsur film sekarang bukanlah ketakutan yang sesungguhnya. Itu hanyalah film-film badut yang mencoba membuat penonton menjadi rese' dan jantungan. Tapi, semenjak kesuksesan Cabin In The Woods (2012) dengan kritikan dan raihan positif para penonton telah mengubah cara pandang para sineas untuk kembali ke jalur horor sesungguhnya dengan sentuhan horor klasik tetapi tetap dengan modernisasi.

Evil Dead trilogi karya Sam Raimi tempo dulu memang termasuk horor klasik yang tak terlupakan hingga sekarang. Memang tak salah jika film ini kembali di remake ulang. Fede Alvarez selaku sutradara film ini sepertinya tahu betul bagaimana cara menyajikan Evil Dead dengan tak melupakan sentuhan gore dan darah berceceran dimana-mana. Ia pun begitu setia pada pendahulunya dan tak ada penyimpangan akan unsur-unsur yang pernah dibawa Raimi. Masih dengan Naturom Demonto a.k.a Buku Kematian, remaja-remaja yang menetap di kabin tua di tengah hutan, gergaji mesin, shotgun dan segala macam item yang tak dapat dilupakan para fans-nya. Hanya saja bungkusan komedi gelap yang pernah menjadi ciri khas film ini dihilangkan oleh Fede, dengan lebih mengkentalkan sisi gelap dan ketegangannya.

Sosok iblis yang merasuki Mia (Jane Levy) pun memancarkan kengerian yang mendalam. Dengan mata melotot bersinar, wajah penuh luka dan darah, serta kulit putih pucat,  mengingatkan Saya dengan Reagan-nya William Friedkin (The Exorcist).

Tapi, sayangnya naskah cerita yang kendur dan seakan dipercepat menjadi titik lemah film ini. Beberapa karakter juga tidak begitu bersinar dan kurang menonjol perannya. David (Shiloh Fernandez) pun tak memuluskan ide Fede untuk menakuti penonton, dengan akting pas-pasannya yang tak menunjukkan ekspresi tegang dan takut. Tidak seperti Ash (Bruce Campbell) yang mampu menjadi aktor terbaik dan ikonik di film lamanya. Memang bukan karya terbaik yang bisa dibilang bagus, tapi setidaknya cukup memberikan teror bagi penonton awam. Hingga jerih payah Fede telah terbayar lunas dengan banjir darah dimana-mana dan adegan gila-gilaan yang hampir sama dengan trilogi pendahulunya.

You May Also Like

0 Comments