Tomb Raider (2018) Movie Review

by - Juni 10, 2018



Mengadaptasi sebuah game kedalam film memang bukan perkara gampang. Berulang kali menciptakan film yang sesukses atau setidaknya mendekati keberhasilan versi game-nya nyatanya tidak sebaik yang diharapkan, bahkan gagal meski mencoba berupaya tetap konsisten menyuntikkan berbagai hal ikonik dan otentik dari set piece background cerita, desain karakter, hingga stunning aksi yang hampir menyerupai standard game aslinya, seperti Assassin Creed dan Warcraft. Upaya menjaga orisinalitas agar tetap dapat dinikmati para fans bahkan memperkenalkan kepada non-gamers sekalipun ternyata tetap tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, bahkan untuk big franchise bernama Tomb Raider ini hanya sekedar daur ulang materi dalam game dengan segala cerita dan aksi yang sangat minim dan tidak sebombastis yang dibayangkan.

Karena saya sudah pernah menikmati game Tomb Raider dan Rise of the Tomb Raider hingga tamat. Mungkin lebih afdol jika saya sedikit membandingkan antara versi game (yang juga reboot) dengan versi live action-nya, jadi saya tidak akan mencoba membandingkan dengan versi milik Angelina Jolie, karena diantara versi Alicia Vikander yang berperan sebagai new Lara Croft ini dibangun dengan image yang berbeda. Setelah 17 tahun berselang new Tomb Raider ini memaksa kita mengenal lebih awal Lara Croft yang sungguh masih sangat hijau dan minim pengalaman. Sebagaimana Lara yang kita kenal pun masih bekerja sebagai kurir, bahkan Lara samasekali tidak memiliki kematangan sebagai petualang, sebagaimana hal ini baru ia dapat ketika ia mencoba mencari ayahnya Richard Croft (Dominic West) yang hilang selama 7 Tahun disebuah pulau misterius bernama Yamatai. Sebuah pulau yang menyimpan misteri legenda makam kuno Jepang, sang ratu Himiko yang konon dikenal sebagai cenayang yang memiliki kekuatan sihir yang besar. Dan Lara harus terseret kedalam bahaya tersebut.


Saya sebenarnya tidak begitu peduli dengan berbagai komentar sinis tentang pemilihan Alicia Vikander sebagai Lara. Sedangkan yang lain membandingkannya dengan Angelina Jolie yang memang tampak lebih sensual. Hei! ini bukan film semi-porn yang hanya menjual sensualitas belaka, kenyataannya ini adalah film garapan serius yang menampilkan adegan aksi penuh kekerasan, bukan film yang sedikit-sedikit mencoba mengumbar payudara dan bokong besar, jadi karena saya tidak begitu sentimen dengan fan service yang terlampau sexist, saya sebagai penikmat franchise ini pun menganggap Alicia memiliki cukup eyecandy yang memikat dengan caranya sendiri meski tampil penuh lumpur, luka dan darah disekujur tubuhnya. Ya, menarik tidak selalu tentang fisik bukan?

Sebagaimana franchise besar, dibawah naungan sang pemilik lisensi game, Square Enix dan sutradara Roar Uthaug. Keinginan untuk memberikan pengalaman sinematis intens sebagaimana keseruan dalam game didapat pula dalam LA-nya ternyata tampil begitu corny. Semua maksimalitas di hampir setiap adegan ikonik dan familiar dipastikan diketahui oleh fans (bagi yang pernah memainkan game-nya) hanya sekedar mengenalkan semua itu kepada khalayak awam yang baru mengenal Tomb Raider reboot, tanpa sedikitpun berpengaruh pada apakah semua itu bisa lebih seru dan menegangkan seperti dalam game? Mencoba lebih tegang dari sejak pertemuannya dengan Lu Ren (Daniel Wu) hingga bertemu dengan sindikat organisasi besar yaitu Trinity yang dipimpin oleh psikopat berdarah panas Mathias Vogel (Walton Goggins), potensi untuk meraih ketegangan itu memang terasa namun gagal mengikat hingga akhir, sebagai satu-satunya perempuan yang bertualang atau lebih dari sekedar life survival movie seorang diri ditengah dominasi kaum pria memang terasa menakjubkan melihat Lara seorang yang cerdik, berani dan tangguh. Tapi sayang, melemparkan rantaian adegan stunning action di dalam hutan hingga makam kuno, ternyata hanyalah terapi visual penuh kebetulan dan terlampau dipaksa, dimana nyawa Lara yang tampak berkali-kali seharusnya meregang nyawa tapi bak kucing 9 nyawa hanya karena hal-hal diluar dugaan dirinya terselamatkan begitu saja, seolah hidup berpihak padanya.


Tapi, hal tersebut sebenarnya masih bisa saya maklumi, karena masalah terbesar dari film ini adalah plot yang terlampau sederhana. Dramatisasi hubungan ayah-anak antara Lara dan Richard mungkin cukup emosional mengundang empati, namun karena ini adalah kisah Lara Croft yang terkenal mengandung teka-teki dan kunci arkeologis bak film Indiana Jones atau Treasure Hunter, hampir sepanjang film samasekali tidak menantang penonton ikut tertarik dan penasaran dengan plot yang sungguh predictable selain otot Lara yang justru jauh lebih memikat ketimbang puzzle itu sendiri. Semua pecahan puzzle yang dituntaskan hanya sekedar puzzle biasa tanpa membuat penonton ikut memutar otak, semua puzzle diselesaikan tanpa ada hal menarik didalamnya, seperti anak kecil yang mencoba membuka toples selai dan mengambil isinya tanpa harus bersusah payah membukanya, semua sudah diberi clue dan semua sudah diberi petunjuk, dengan sedikit akal dan otot Lara bisa melakukan semuanya begitu mudah. Cerita Tomb Raider hanya soal petualangan linear yang teramat biasa dan kerap kali terasa membosankan.

You May Also Like

0 Comments