The Shape of Water (2017) Movie Review

by - Juni 24, 2018



Kadangkala seorang filmaker/sutradara membuat film bertujuan untuk menyelipkan pesan atau isu penting yang mampu ditangkap dengan mudah oleh penontonnya. Dan yang paling krusial pesan tersebut harus mampu direspon baik melalui emosi dan logika penontonnya. Terutama apakah film tersebut mampu ditangkap secara visual melalui akal sehat. Bisa dibilang Guillermo del Toro yang selalu akrab dengan film visionernya yang unik dan selalu meleburkan inovasi dan imajinasinya melewati batas-batas sinematis tertentu. Tapi, sejujurnya ini bukan lagi kisah dark fantasy konvensional seperti karya-karya del Toro sebelumnya seperti The Devil's Backbone dan Pan's Labyrinth, melainkan sebuah langkah berani dan menantang tentang konsep mustahil tentang cinta seorang manusia, tapi del Toro menciptakannya.

Elisa Esposito (Sally Hawkins) adalah wanita penyendiri dan kesepian. Ia bekerja sebagai janitor di sebuah fasilitas penelitian rahasia milik pemerintah. Setting film ini diambil sekitar tahun 1962, saat perang dingin antara Amerika dan Rusia sedang berkecamuk. Elisa sendiri adalah seorang tunawicara, ia tidak bisa berbicara semenjak lahir. Dia memiliki dua teman dekat, pertama tetangganya, Giles (Richard Jenkins) pria tua (yang saya kira bapaknya) yang bekerja sebagai freelance artist yang juga hidup kesepian dan Zelda Fuller (Octavia Spencer) teman kerja Elisa yang sama-sama seorang janitor. Suatu hari Elisa dan Zelda mendapati seorang seekor monster amfibi "Amphibian Man" (Doug Jones) misterius yang baru dibawa oleh Richard Strickland (Michael Shannon) sebagai bahan eksperimen. Tapi, monster yang tampak seram dan berbahaya tersebut ternyata memiliki kemiripan layaknya manusia, dan membuat Elisa merasa tertarik dan jatuh cinta padanya.


Ada yang menyebutnya sebagai kisah fairy tale "Beauty and the Beast", tapi saya rasa konsepnya tidak sesederhana dan semanis itu, tapi jauh lebih dewasa dan kompleks yang sejalan dengan arti, "Siapapun berhak mendapatkan cinta". Dan bagian terdalamnya, cinta bukan soal fisik, tapi tentang respon emosional yang mungkin akan terdengar complicated, tapi del Toro menyampaikannya secara lugas dan cermat tentang apa itu cinta dan dibalik itu terdapat pesan isu orientasi seksual. Apalagi konsep soal impossibility's no matter of love in the world semakin terasa kuat bagaimana del Toro bermain soal cinta tanpa penggunaan bahasa verbal sedikitpun, selain dunia antara Elisa dan Amphibian Man yang jelas kontras berbeda, di dunia tanpa kata-kata hubungan mereka bagai terhubung oleh jembatan tak kasat mata.

Mungkin terasa sangat ganjil dan aneh, apa yang dibawa oleh del Toro dengan ambisinya yang absurd nan gila. Bahkan pesan moral soal cinta yang menghampiri Elisa, bukan serta merta dibuat berdasarkan rasa empati semata, justru dibuat dengan ikatan seksual. Mengingatkan saya dengan salah satu karya Aaron Moorhead dan Justin Benson, "Spring". Tapi, dalam film Spring atau Beauty and the Beast, keduanya masih memiliki bentuk/wujud manusia yang membuat kita masih bisa menerima konsekuensi atas emosi tersebut, lain halnya dengan Amphibian Man yang hanya mengambil sedikit sekali identitas/wujud manusia, tidak sama bahasa, alam dan rupa.


The Shape of Water buat saya bukanlah sebuah ke-absurdan, sebaliknya del Toro bersama Vanessa Taylor yang bergandengan menuliskan naskah justru memiliki cerita puitis dan jujur. Ada adegan ketika Elisa membayangkan dirinya bisa berbicara dan mengungkapkan perasaannya pada Amphibian Man sambil menari diatas panggung, mirip adegan di film "The Artist". Dibalik cerita yang gelap dan sentimentil yang kerap menciptakan suasana horror, ada aura keluguan dan kekakuan terpancar dari karakter Elisa yang diperankan dengan sangat luar biasa oleh Sally Hawkins, selain harus berakting bisu, ditambah adegan frontal dan berani ia lakoni tanpa sehelai benang-pun. Elisa adalah wanita pemberani di balik sifatnya yang lazim sekaligus unik, berbanding terbalik dengan Zelda, yang terbilang cerewet tapi caring. Richard Jenkins yang perannya pun cukup dominan, bermain peran dengan Sally terasa memiliki chemistry yang kuat, seolah mereka berdua tampak seperti ayah-anak karena memiliki sifat yang cenderung sama. Dan salah satu aktor favorit saya, Michael Shannon, sayang aktingnya kurang memikat di film ini, meski saya suka kemampuan Shannon betukar peran baik sebagai protagonis maupun antagonis di beberapa film sebelumnya. Entah kenapa, mungkin karena pendalaman tokoh Strickland yang stereotipikal, seharusnya pengenalan sampai kerumah tangganya bisa menjadi suntikan moral yang lebih dalam.


Tapi, diantara itu semua adalah kekuatan sinematis yang dibuat oleh Dan Laustsen, yang membawa The Shape of Water menjadi salah satu pemenang Oscar dalam Best Motion Picture of the Year, juga mengantongi 3 kategori lainnya. Melalui ciri khas del Toro, tone gelap dengan dominasi siluet, green dan teal, dan tak jarang membaurkan sedikit palet warna merah, tiap bingkai adegan dibuat begitu indah dan membekas, bahkan warna tersebut kerap menjadi simbolisasi yang mampu berbicara banyak yang kadang dijelaskan melalui dialog. del Toro menjelaskan bahwa film ini awalnya akan dibuat hitam-putih, tapi kemudian diputuskan untuk membuat film berwarna, warna hijau dominan mewakilkan soal masa depan (baca ini atau ini). Selain dari daya tarik visual hingga desain produksi yang memukau, gubahan musik dan scoring film ini pun mampu memberikan nuansa klasik dan elegan yang kadang pas dengan setiap adegan yang ada, sehingga The Shape of Water tidak saja menembus batas-batas imajinasi, daya pikatnya pun terhantar begitu dalam menghipnotis hampir ke seluruh indera.

You May Also Like

0 Comments